Salah satu di antara berbagai penyeduhan kopi yang kita kenal sejauh ini, satu di antaranya adalah metode purba, yakni turkish coffee. Jika kita tengok secara historis, sebenarnya kata "turkish coffee" merupakan penyebutan outsider, bukan insider, dan tentu saja secara sosiologis nomenklatur turkish coffee muncul ketika teknis dan alat penyeduhan kopi semakin kompleks perkembangannya. Di Turki sendiri, serta di negeri Jazirah Arab lainnya, pada awalnya kopi yang sekarang disebut sebagai turkish coffee itu dikenal atau disebut dengan kopi saja, dalam hal ini tentu menggunakan bahasa lokal masyarakat tempatan, seperti kahve dan al-qahwah. Dengan kata lain, Turkish Coffee bisa dikatakan sebagai nama generik untuk kopi standard masyarakat Jazirah Arab.
Itu sebenarnya sama dengan masyarakat kita secara umum pada beberapa dekade sebelumnya: ketika kita menyebut kopi, itu merujuk pada kopi tubruk, paling tidak di daerah Pulau Jawa, mengingat di Pulau Sumatra selain kopi tubruk mengenal Kopi Tarik. Perujukan kopi kepada kopi tubruk di awal merupakan hal lumrah lantaran banyak orang hanya mengenal kopi tubruk. Tapi, begitu teknis dan alat penyeduhan kopi mulai dikenal, maka mau tak mau kata kopi tidak serta merta merujuk pada kopi tubruk. Sekarang, paling tidak di masyarakat urban, kata kopi memiliki makna yang tidak tunggal. Kata kopi itu bisa berarti tubruk, espresso, french press, syphon, dll. Nah, untuk kemudahan tentu saja biasanya ada kata sifat yang disandangkan pada kopi. Misalnya, jika kita menyebutkan kata kopi tubruk, tentu kopi yang dimaksud adalah kopi yang dibuat dengan cara tubruk, bukan pour over.
Nah, jika Anda tertarik menyeduh kopi yang bisa dibilang eksotik sekaligus hendak mengenal bagaimana pada masa awal kopi itu dinikmati, penyeduhan kopi menggunakan Ibrik sangat direkomendasikan. Untuk mendapatkan sensasi sebagaimana kopi ini dinikmati di Jazirah Arab, kita bisa menambahkan kapulaga, adas, dan gula pasir. Tapi, kita boleh juga tidak menambahkan apa pun selain bubuk kopi sebagaimana yang kami lakukan untuk keperluan tulisan ini. Sebenarnya sih tidak punya kapulaga, adas, dan gula pasir saja :D
Yang menarik, meski kami tidak menggunakan gula, kopi Sumatran Gourmet Macehat Coffee dengan skala sangrai medium yang kami seduh hasilnya manis sekali, salah satu kopi termanis tanpa gula yang pernah kami coba. Selain itu, hasilnya aroma semerbak dan kaya rasa. Silakan dicoba sendiri di rumah masing-masing mengingat pengalaman untuk mendapatkan pengayaan ruhaniah dalam mencapai ekstase kopi.
Cara minum kopi ala Turki ini mirip dengan cara minum kopi di Gayo. Di gayo, biasanya petani atau penggembala kerbau, biasanya terlebih dahulu memanaskan air dengan perapian dari kayu.
Caranya, air dicampur bubuk kopi lalu dipanaskan hingga mendidih dengan suhu sekitar 100 derajat celcius. Setelah kopi dan air mendidih, baru dituangkan dalam gelas dan diberi gula. Atau dengan gula kertov dari gula aren.
Minum dengan gula kertov, jamaknya dilakukan dengan cara mengunyah gula aren terlebih dahulu kemudian menyeruput kopi (Win Ruhdi Bathin--Sumber :philocoffeeproject | Juli 25, 2011 pada 10:32 pm | URL: http://wp.me/p1ov5Y-8B )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar