Arabika Coffee Gayo

Arabika Coffee Gayo
Barista Gayo

Senin, 14 Mei 2012

Putri Kopi Gayo Shooting Bersama TVRI

Putri Kopi Gayo Shooting Program TVRI “Aroma Kopi Dunia”
PUTERI Kopi Gayo 2012, Dewinta Heriza yang baru terpilih di ajang pemilihan Puteri Kopi Gayo 2012 untuk 3 kabupaten di wilayah tengah Aceh pada malam grand final 9 Mei 2012 lalu mulai disibukkan oleh sejumlah kegiatan yang berkaitan dengan ststus barunya tersebut. Sehari setelah terpilih, Kamis (10/5) Dewinta Heriza dan 2 rekannya Puteri Kopi Gayo urutan 2 Mutia Zahara dan urutan 3 Aida Fitri Isaq mengikuti pertemuan dengan para pemateri sekaligus dewan juri di ajang tersebut dengan tujuan pemantapan atas materi-materi yang telah diberikan sebelumnya serta merencanakan sejumlah upaya agar siap mengikuti ajang pemilihan untuk tingkat Provinsi Aceh, 19 Mei mendatang di Banda Aceh. Lalu dihari keempat, Dewinta Heriza yang tercatat sebagai siswa kelas 2 di SMAN 1 Takengon diminta untuk menjadi salah seorang pengisi acara TVRI Pusat Jakarta melalui TVRI Banda Aceh dengan tajuk acara Pesona Desa dengan tema “Aroma Kopi Dunia”. Iza. (Kha A Zaghlul | Lintas Gayo) Hasil shooting ini, dipastikan akan diikutkan di ajang perlombaan Gatra Kencana 2012 sebagai salah satu karya unggulan dari para kru TVRI Banda Aceh, Demikian keterangan dari Natanil, kameramen senior TVRI Banda Aceh yang hadir ke Takengon, Sabtu 12 Mei 2012. “Dewinta Heriza kita minta untuk turut berperan di program ini, dan hari ini kita sudah ambil rekaman gambar dan suaranya tentang kopi Gayo, baik Arabika, Robusta termasuk Luwak,” kata Natanil kepada Lintas Gayo dilokasi shooting di Ujung Karang Kebayakan Aceh Tengah. Dan setelah shooting di tempat ketinggian dengan panorama kota Takengon dan Danau Lut Tawar tersebut, sang Puteri Kopi Gayo ini kembali diminta menerangkan kopi Gayo di Batas Kota Cafe yang dikenal luas sebagai salah satu cafe dengan menu khas Gayo termasuk kopi yang diracik Barista handal, Win Ruhdi Bathin. “Wah, repot juga ya pak jadi Puteri Kopi Gayo, namun saya senang dan bangga pak, bisa berperan lebih menduniakan Kopi Gayo,” kata Iza, panggilan akrab Dewinta Heriza yang kerap terlihat berolahraga sepeda ini. Beberapa saat Iza tampak berbincang serius dengan Win Ruhdi Bathin, ya tentu seputar kopi Gayo. Iza tampak mudah akrab dengan siapa saja yang mengajaknya bicara. Dia memesan segelas espresso dan terlihat sangat menikmati kopi racikan Win Ruhdi Bathin sambil terus berdiskusi hangat. Iza dan Win Ruhdi Bathin. (Kha A Zaghlul | Lintas Gayo) Sesaat kemudian, salah seorang tamu di cafe tersebut, Joe Samalanga menyodorkan undangan buat Iza. Dia diminta menjadi salah seorang tamu kehormatan di acara musik di Wapres Cafe Takengon. Ivan Wy, seniman kawakan dibidang tarik suara dan olah musik dan lagu Gayo akan tampil dengan lagu-lagu andalannya. Di acara tersebut turut tampil Fotografer gaek, Firdaus Chalid dan praktisi hukum Amna Zalifa. “Banyak hal positif yang sudah saya dapatkan sejak audisi dan beberapa hari setelah terpilih sebagai Puteri Kopi Gayo 2012. Saya bersyukur sekali. Namun pelajaran sekolah tetap yang utama bagi saya,” kata gadis berdarah asli Minang namun kelahiran Takengon ini. (Kha A Zaghlul/Red.03

Minggu, 04 Maret 2012

Aku Meroasting...

Aku Meroasting dengan Produk Buatan Indonesia OPINI | 26 February 2012 | 16:09 Dibaca: 70 Komentar: 8 1 dari 1 Kompasianer menilai inspiratif Aku Meroasting dengan Memakai Produk Buatan Indonesia 1330244103362965274 Mesin Roasting Setahun bergelut dengan kopi, aku semakin suka dengannya. Bermula dari batang kopi berakhir di mesin espresso menjadi kopi olahan. Berwarna coklat kekuningan dengan krema dibagian atasnya. Kopi tak lagi hitam. Bermula dari hilir, aku coba merangkak naik ke hulu. Bermula dari pelayan atau penyedia minuman kopi bagi peminum kopi (Barista) yang kupelajari di tempat kursus Frangky Angkawijaya di Jakarta. Aku mulai belajar menjadi Roaster. Keinginan terus merangsek masuk ke dunia kopi, sangat beralasan bagiku. Semua lahan penduduk ditempatku dilahirkan, gayo, diisi dengan batang kopi. Kawasan gayo adalah daerah perkebunan Belanda saat menjajah dahulu, seratusan tahun lebih silam. Belanda , kala itu, setelah tahun 1904, memetakan berbagai lokasi di Takengon dan Redlong menjadi beberapa blok lahan kopi, Blok A di kawasan Belang Gele Kecamatan Pegasing, Blok B di kawasan Bukit hingga Bergendal di Bener Meriah serta Blok C di kawasan Blok C, seputaran Wih Pesam. Bahkan Belanda sudah mengirim kopi gayo berjenis arabika ke Erofa. Sebagai mata perdagangan colonial bersama getah pinus dan teh. Memasuki dunia perkopian bagiku boleh disebut secara tidak sengaja. Tapi memilih dunia kopi sepenuhnya berdasarkan alasan yang realistic dan ilmiah setelah melakukan berbagai kajian dan penelusuran. Termasuk berselanjar di dunia maya bersama “Awan” (Mbah) Google. Jenuh di dunia jurnalistik yang selama ini menjadi salah satu sumber ekonomiku, selain istriku yang berjualan kios dan menitipkan berbagai penganan membesar empat anakku, aku memutuskan memulai usaha kopi. Apalagi menadi jurnalis di Aceh yang masih jauh dari sejahtera dan terkadang digaji dibawah UMR dengan resiko nyawa. Ditengah desingan peluru dan masih adanya OTK. Menjadi jurnalis demikian riskan. Tapi alas an utamanya bukan resiko. Karena sebelumnya saat konplik, Darurat militer, sipil hingga gempa dan tsunami Aceh, semuanya terlewati dengan gundah gulana. Alasan utama adalah karena jurnalis tidak lagi seksi. Kenapa, salary dari jurnalis tidak mampu menutupi kebutuhan ekonomi keluargaku. Aku harus banting stir. Harus kuakui, berkecimpung di dunia kopi, memerlukan modal agak besar. Untuk mesin espresso saja yang satu grup, bernilai belasan juta. Setelah sepakat dengan istri, aku mulai menjual asset yang ada. Setelah dijual, nilainya dibawah Rp.25 juta saja. Tapi Alhamdulillah. Satu langkah sudah bisa kugerakkan. Pasti, aku menuju Jakarta, Esperto Barista Course, lantai dua Senayan Trade Center (STC). Apalagi aku sudah menghubungi Imee Hartanto, dari EBC memastikan kursus. Satu tahapan terlewati, From Beans To Cup Course, Beginner Level. Setelah kursus , aku tentu tak ingin pulang ke pedalaman Aceh sia-sia. Aku harus membawa mesin espresso, apapun bentuknya. Karena bila tidak, ilmu menjadi barista tentu tidak tepat guna atau aku harus bekerja dahulu dengan orang lain. Mesin espresso yang kulihat sebelumnya di internet, terbilang mahal. Apalagi yang dua grup dan seterusnya. Aku mulai mencari-cari mesin espresso yang terjangkau keuanganku. Satu grup adalah pilihan terbaik.1330244837180873454 Lewat sebuah situs yang menjual mesin espresso dan asesoris mesin espresso, aku bersama seorang abangku yang bermukim di Jakarta mendatangi komplek perumahan koperasi di Jakarta. Bertemu dengan Hendra. Pak Hendra, pengusaha peralatan kopi mesin ini, berbisnis hanya dengan menggunakan jaringan internet. Pesanananya dari seluruh Indonesia. Dengan sistim kepercayaan dan transfer uang lewat Bank setelah terjadi komunikasi dan deal –deal. Sebuah mesin espresso buatan Italia, BFC Junior Plus serta sebuah mesin espresso otomatis bekas, kuboyong dari Hendra. Dan akupun pulang ke gayo. Dengan sejuta harapan. … Karena memang memiliki modal terbatas, aku tak punya tempat untuk membuka warung kopi sendiri di Takengon. Konon lagi harus membuat cafĂ©. Aku akhirnya memilih bergabung dengan abang iparku yang telah memiliki sebuah Kantin yang berada di tempat strategis. Mulailah aku menjadi seorang pelayan khusus bagi peminum kopi. Dua mesin espresso yang kumiliki, mulai menjadi mesin uang. Penghasilanku dari bekerja di kantin ini lebih baik daripada menjadi jurnalis. Alhamdulillah. Hari berganti bulan, pengalamanku bertambah menggunakan dua mesin espresso otomatis dan manual. Jika bule yang minum kopi atau peminum kopi fanatic, mereka lebih suka kopi dari mesin espresso manual. Banyak kisah menarik dan lucu dari mereka yang minum kopi yang dihasilkan mesin espresso. Apalagi penduduk gayo biasa minum kopi dengan gula yang banyak. Sehingga kopi yang diminum benar-benar terasa manis. Apalagi kopi yang diminum warga gayo berbahan kopi geste (Robusta). Pernah suatu kali, seorangg bapak memesan empat gelas kopi. Kebetulan didepan kantin ada bengkel mobil diseberang jalan Takengon –Bireuen. Si bapak pemesan kopi ini, sedang menyerpis pekerja bengkel dengan minuman kopi ini. Saat membayar si bapak kaget, “Lho kopinya kok mahal amat…?”, katanya. Karena kopi yang biasa dia minum di warung seantero Aceh rata-rata dibandrol Rp.3000,-, sementara kopi yang saya jual Rp.7000 pergelas untuk Black Coffee. Belum lagi kisah lainnya, “Ini kopi apa kok pahit banget?”, kata seorang tamuku. Si tamu ini masih nyeletuk saat membayar kopi, “udah pahit mahal lagi….”, katanya sambil berlalu.. Ketergantungan pada pemilik mesin roasting yang menyediakan bahan kopi yang sudah disangrai atau bahasa gayonya disele (Roasted beans) membuat beberapa kali kantin bermasalah. Sebabnya, roasted bean tidak tersedia saat dibutuhkan. Abang Iparku kemudian menyiasati hal ini dengan membeli sebuah mesin roasting buatan Korea dari sebuah perusahaan di Jakarta dengan kapasitas 400 gram. Lumayan. Namun suatu kali, akibat listrik, mesin ini tidak bisa dioperasikan karena korslet. Terpaksa mesin ini dikirim lagi ke Jakarta karena masih memiliki garansi. Repot memang. Kegiatanku sebagai pelayan terus berlangsung. Seiring waktu, aku tentu saja tidak pernah puas. Sebagai manusia normal yang ingin lebih maju dan bisa seperti orang lain yang sukses berbisnis kopi, aku ingin memiliki mesin roasting sendiri. Untuk membuat kopi roasting dan lebih jauh lagi menjual bubuk kopi dari arabika gayo yang sudah terkenal. Keterkenalan kopi gayo bukan dibuat-buat. Murni karena kualitas yang baik. Seperti spesipikasi rasa dan aroma. Rasa dan aroma arabika gayo karena memang kopi ini tumbuh pada ketinggian dan suhu serta tanah yang optimal. Dataran Tinggi Gayo. Berada pada daerah khatulistiwa. Apalagi kebanyakan kopi gayo memang diolah secara organic dan special. Sehingga memenuhi syarat-syarat kopi specialty. Hampir semua koperasi atau pengusaha kopi gayo memiliki sertifikat kopi dari berbagai badan dan organisasi dunia, khusus untuk kopi. Seperti sertipikat organic, fair trade, rain forest serta ser tipikat lainnya yang diakui dunia. Paling tidak ada lima sertifikat untuk kopi gayo ini. Anehnya, kopi arabika gayo tidak terkenal di provinsi Aceh sendiri. Tapi lebih punya nama di pasar luar negeri. Apalagi kebanyakan kopi arabika gayo memang dieksport. Kopi arabika gayo juga dieksport oleh pengusaha di Medan dengan nama tidak lagi memakai nama gayo. 1330245494388658020 arabika gayo roasted bean Aku mulai mengekplore internet guna mencari mesin roasting yang mampu kubeli. Meski uang cash tidak ada.Saat melihat-lihat internet tersebutlah aku melihat produk mesin roasting buatan Wiliam Edison. “Wah ini yang kucari”, gumanku dalam hati. Wiliam Edison menampilkan mesin roastingnya di Facebook dan youtube masih kasar yang ditandai dengan masih terlihatnya sambungan yang dilas. Pun begitu, melihat cara kerjanya, mesin buatan Wiliam Edison menarik minatku. Selain soal harga yang terjangkau juga hasil yang ditunjukkan dalam demo sesaat itu. Aku langsung suka. Aku kemudian mencoba berkomunikasi dengan Wiliam. Lewat fb dan kemudian kudapat nomor hpnya. Kamipun berkomunikasi . Karena uang tak ada membeli mesin Wiliam yang sudah kutaksir itu, aku mencari-cari pinjaman. Harapanku sangat besar pada mesin buatan Wiliam yang kala itu dikasi merek W600, Mini Roaster. Karena membeli mesin buatan luar negeri jelas tak sanggup. Cuma mimpi. Untuk ukuran setengah kiloan saja, sebuah mesin buatan Korea dibandrol Rp. 30 juta keatas. Apalagi buatan Erofa atau lainnya. Untuk mesin buatan Turki saja, ukuran 5 kg sekali naik (roasting) saja harganya tak kurang dari Rp.150 juta. Wah.. Pinjaman kudapatkan dari seorang relasi. Nilainya Rp.10 juta dengan masa pengembalian 1 tahun. Jadi. Aku langsung memesan mesin W600 Wiliam Edison. Wiliam menyiapkan pesananku kurang dari satu bulan. Pesanan dibuat, setelah mentransfer uang setengahnya. Aku bangga pada diriku sendiri karena sudah mampu membeli mesin roasting yang kuimpikan. Padahal dari segi penghasilan, aku belum mampu membelinya. Kadung basah, aku sudah sangat menyukai dunia kopi ini karena aku benar-benar enjoy mengerjakan semua tahapannya. Meski aku kadang jenuh juga menjadi pelayan karena seharian berada di tempat yang sama. Namun semuanya harus kutahan dan kukalahkan. Adanya mesin roasting ini nantinya, tentu membuat waktu kerjaku bertambah. Aku akan mengerjakan seseorang membantuku di Kantin atau di roasting sekaligus transfer ilmu. Namun aku belum menemukan orang yang kupercaya. Seorang tetanggaku yang menganggur dan tamat SMA pernah kuajak bekerja denganku. Dia menolak. Aku yakin dia malu atau gengsi bekerja sebagai pelayan. 13302460412047144753 Krema kopi yang dihasilkan mesin roasting Wiliam Demikian juga seorang family jauh yang kerja serabutan pernah kuajak bekerja bersamaku. Awalnya dia mau, tapi setelah mengiyakannya, dia tak pernah datang. Seorang family lainnya mengatakan lebih parah, saat kuajak bekerja. “Selo ya mujule kupi ken jamu. Kemeldi ”, katanya. Atau dalam bahasa Indonesia, kira-kira artinya, “akh ngak mau mengantar kopi untuk tamu, malu”, …Kesuburan lahan dataran tinggi gayo ini memang membuat banyak warga gayo malas. Kesuburan lahan di gayo yang disebut juga, sekeping tanah surge yang terlempar kedunia, ditambah-tambah dengan sejuknya udara. Membuat pergerakan warganya sedikit lambat. Apalagi mungkin rasa malu atau gengsi yang besar. Di Gayo, setiap jengkal tanah memang menjanjikan hidup. Tanahnya adalah surga. Tak ada lahan kosong. Kalau tidak kopi ya pasti tanaman berjenis sayuran. Sementara untuk tanah gersang, sudah dipenuhi pinus mercusi dan hutan tropis. Pinus mercusi di gayo, dalam sebuah penelitian HPH beberapa waktu lalu menyebutkan merupakan kualitas terbaik di dunia. Itulah sebabnya, Belanda dahulu sudah menjadikan pinus sebagai tanaman esksport dengan mengambil getahnya (terpentin). Meski kini jutaan hektar pinus yang tumbuh subur belum diolah Pemda setempat dan dibiarkan begitu saja. Bahkan setiap tahun dimusim kemarau, pinus dibiarkan terbakar. Tak ada peminta-minta di gayo. Jika penduduk tak punya kerjaan. Lahan perkebunan kopi terbuka lebar untuk dikerjakan. Sambil menunggu kopi berbuah, biasanya warga menanami lahannya dengan berbagai jenis hortikultura. Umumnya cabe dan tomat.13302464181599422972 Kalupun ada peminta-minta, biasanya berasal dari luar gayo. Umumnya dari Pesisir Aceh. —— Kurang dari satu bulan, kiriman Wiliam Edison tiba. Memakai sebuah armada angkutan local, hamper tiga minggu dari Jakarta. Dikemas dalam paking dari kayu. Hanya dengan menggunakan Honda, sebutan kami untuk kenderaan roda dua. Walau mereknya bisa jadi Yamaha, Suzuki dll. Mesin ini kubawa dari stasiun bus di Kota Takengon ke rumahku yang dipinggiran Kota. Aku tak langsung membuka paking kayu berisi mesin ini. Setelah mengantar pulang, aku harus bekerja di Kantin. Barulah malam harinya mesin Wiliam kubuka. Keping demi keeping kubuka. Wiliam melepas beberapa bagian asesoris W600. Begitu terbuka, aku benar-benar senang dan bangga akan karya Wiliam. Penampilan pertama begitu mempesona. Aku langsung sms Wiliam malam itu yang berisi kekagumanku akan hasil karyanya. Menurutku, hasil karya Wiliam tak kalah dengan produk luar negeri. Mulai dari design hingga hasil akhirnya. Semua bagian mesin ini mendapat perhatian yang teliti dan sentuhan perasaan yang berseni. 1330246575587295103 Arabika Gayo Buah Muda Wiliam membalas sms pujianku yang bunyinya masih kusimpan di hpku. “Terima kasih pak win, Kata2 bpk membuat kita tambah semangat utk lebih baik lagi. Pak Win sudah coba roasting belom? Apa ada masalah?”, begitu tulis Wiliam. Menjawab rasa penasaranku akan mesin buatan Wiliam yang mungkin diadopsi dari mesin lain, Wiliam menjelaskan kepadaku lewat smsnya, “Sy melihat dr berbagai sumber di internet saja, jd tidak sepesial mengadopsi dr roaster manapun, dan ada beberapa fitur yang bisa dibilang roaster yg lain tidak punya. Utk selanjutnya akan sy kembangkan roasternya lebih prof”. Setelah terpesona beberapa saat, aku merasa harga Rp. 7 juta untuk sebuah mesin serupa ini sangat murah sehingga bisa dibeli siapa saja. Wiliam berhasil mematahkan “kesombongan’ harga sebuah mesin roasting. Aku teringat mobil Esemka yang jauh lebih murah dibandingkan mobil luar. Meski bentuk dan gayanya terbilang wah juga. Wiliam bagi saya telah berhasil membuat mimpi saya memilki mesin roaster menjadi nyata. Aku mulai bersentuhan langsung dengan sebuah roaster. Sebagai tempat kopi terbesar di Asia, aku menjadi bebas bereksperimen meroasting kopi. Kopi dengan mudah kudapatkan dari sekelilingku karena merupakan tanaman utama yang ditanam semua tetanggaku, termasuk aku. Rata-rata aku meroasting selama satu jam bahkan lebih, untuk satu kali roasting. Hasilnya, tak kalah dengan roaster manapun. Hanya saja waktu roasting yang demikian lama. Aku sempat berpikir negative terhadap Wiliam. Kok ngak sama dengan spesifikasi yang dia sebut dan cantumkan. Beberapa hasil roastinganku memakai W600, sudah coba diminta beberapa kawan. Baik bubuk atau roastingan. Apalagi aku gencar mempromosikannya di akun fbku. Masalah terlalu lamanya meroasting terjawab, setelah hal ini kutanyakan pada Wiliam yang selalu menunggu dan meminta tanggapanku terhadap hasil karyanya ini. Ternyata, regulator yang kupakai tidaksesuai kebutuhan mesin yang memerlukan tekanan gas sebagai sumber perapiannya dengan tekanan yang lebih tinggi atau besar. Regulator yang kupakai masih standar sehingga gas tidak bisa dinaikkan besar kecilnya. Setelah diberitahu Wiliam, aku langsung mengganti regulator. Hasilnya, luar biasa. Waktu roasting menjadi singkat, kurang dari 20 menit. Tabung mesin roaster dipanaskan dulu sekitar 15 menit. Suhu naik hingga 200 derajat celcius. Barulah kopi hijau atau green bean dimasukkan. Setelah biji kopi masuk, suhu turun hingga ke level 150 derajat celcius dan perlahan naik hingga kembali ke suhu awal dan kopi sudah matang. Hanya saja Wiliam belum melengkapi mesin ini dengan agitator. Sehingga setelah kopi matang di crack kedua, kopi dengan cepat dikeluarkan mengingat tingginya suhu pada kopi. Aku menempatkan kopi yang telah matang ini pada tampan atau alat penampi kemudian menggoyang-goyangkannya agar lebih cepat dingin. Dengan regulator bertekanan tinggi ini, kita dengan jelas bisa mendengar crack kopi dalam drum sehingga sangat mengasyikkan. Apalagi aroma kopi matang begitu terasa mengisi seluruh ruangan rumah kecilku yang terbuat dari bahan kayu. “Baunya terasa hingga ke jalan Ama”, kata Shafa, anak pertamaku. Jarak rumahku ke jalan sekitar lima meter. Tapi bau aroma kopi yang masak menebar jauh. Hasil roasting pertamaku dengan gas bertekanan tinggi ini sedikit gosong. Tapi saat kopi kugigit, terasa sangat garing dan mudah hancur. Sebagai pemula di roasting kopi, kematangan kopi kuukur dengan tingkat kegaringannya. Kopi-kopi yang sudah kuroasting ini dengan mudah bisa langsung kucoba dengan mesin espresso manual BFC Junior Plus. Lengkaplah sudah. Banyaknya varietas kopi arabika di Takengon membuat meroasting dan mencobanya menjadi sebuah sensasi tersendiri yang mengasyikkan sehingga waktu tak terasa demikian cepat berlalu. Selalu saja ada kopi-kopi yang dimiliki kawan-kawan petani kopi di gayo yang minta diroasting dan dicoba bersama. Meroasting, sungguh sebuah keindahan dan seni. Bukan saja tentang sebuah pekerjaan. Tapi juga seni yang menghadirkan rasa, aroma, ketelitian dan waktu-waktu yang semuanya dicatat, diingat karena bisa diwariskan.Indah sekali. Semua produk kopi khusus dan langka, bisa dicoba di Takengon karena dihasilkan dari kebun-kebun kopi petani. Seperti long beans yang biasanya didapat dari kopi tertentu seperti varietas Timtim dan Ramong. Ada kopi Tungel (lanang) yang mudah didadaptdalam jumlah banyak pada varitas Ateng super dan elephant beans serta jenis luwak yang begitu mudah didapat karena kebanyakan kebun kopi rakyat gayo selalu berbatasan dengan hutan. Ada pengalaman menarik menggunakan kopi roaster buatan Wiliam Edison, saat sedang meroasting, listrik padam. Hal itu kerap terjadi. Motor penggerak drum yang berisi kopi tentu saja mati. Sementara gas terus melakukan pengapian dimana drum sudah berhenti. Wiliam sudah mempersiapkan tuas manual yang bisa menggerakkan drum penggorengan menggunakan tangan. Pengalaman ini benar-benar berkesan karena ternyata hasilnya lebih baik dibandingkan menggunakan motor yang digerakkan listrik.. Aku berterima kasih pada Wiliam atas dedikasinya menciptakan mesin mini roaster W600 ini. Wiliam telah lebih cepat mewujudkan mimpiku memiliki mesin roasting, tiga tau empat tahun lebih cepat. Karena aku ingin lebih cepat sukses menjadi orang yang berhasil menjual kopi olahan modern. Seperti halnya para pengusaha kopi lainnya di Kampungku yang memang bermodal lebih besar. Karena mesin roasting mereka didatangkan dari luar negeri dengan harga puluhan hingga ratusan juta. Paling tidak aku bisa menstabilkan kebutuhan ekonomi keluargaku dari kopi. Interaksi dengan dunia kopi yang kulakoni setahun terakhir, membuat pengetahuanku tentang kopi komersial juga menyebar kepada kawan-kawan petani kopi serta beberapa mahasiswa. Kami mulai mengolah kopi dari hulu hingga hilir sesuai spesipikasi atau standar kopi dunia. Seperti hanya memetik buah kopi yang merah saja , proses permentasi yang kurang dari 12 jam, penjemuran diatas para-para hingga menggonseng kopi dengan mesin modern dan terakhir kemasan berbahan alumunium foil agar kopi lebih tahan lama. Keterbukaan, sharing, diskusi , tehnologi terkini tentang kopi menjadi bualan kami. Hal ini penting agar petani kopi di gayo memiliki pandangan luas dan terbuka tentang kopi modern yang merupakan komoditi terbesar nomor dua diperdagangkan di dunia setelah minyak bumi. Beberapa pengusaha kopi olahan yang ada tampaknya lebih tertutup dan tidak terbuka atas pengetahuan mereka dibidang kopi modern. Sehingga transfer pengetahuan modern tentang bisnis kopi menjadi terbatas dikalangan mereka sendiri dan ekslusif. 13302467001079991050 Joanna nikmati kopi gayo Padahal 80 persen masyarakat gayo menggantungkan hidupnya pada kopi. Maka masuklah pengusaha dari luar negeri yang langsung menginvestasikan uangnya dalam jumlah banyak dan mengeksport kopi arabika gayo ke antero dunia. Keadaan ini diperparah tidak jeli dan tidak pinternya Pemda di dua kabupaten pegunungan Aceh , Takengon dan Redlong menyiasati pasar kopi yang ditanam rakyat. SDA kopi yang melimpah dan terbesar di Asia untuk kopi arabika, lemah dibagian hilirnya. Tidak ada regulasi khusus untuk kopi rakyat. Berbeda dengan Vietnam yang menerapkan subsidi bagi petani kopi. Di Takengon dan Bener Meriah tidak ada. Bahkan produk kopi rakyat dibiarkan begitu saja tanpa campur tangan pemda. Pemda di dua kabupaten ini hanya mengambil retribusi dari kopi petani yang dibawa eksport.Tidak lebih. Masuklah perusahaan asing yang yang mengambil bagian disini. Apalagi dengan menjual kata “Kopi Organik”, atau “Fair Trad” maka fee akan mengalir pada perusahaan ini . Padahal memang petani kopi gayo sejak dahulu memang berpola organic mengingat kesuburan tanah disini. fee kopi organic yang tidak sampai ke petani menjadi kisah tersendiri yang ditelantarkan dan dibiarkan begitu saja tanpa terurus. Idealnya, Pemkab masuk dan bermain di kopi arabika gayo. Umpamanya dengan membuat BUMD sebagai penyangga bagi petani kopi. Bisa jadi BUMD yang dibuat pemda setempat tidak hanya satu, tapi banyak BUMD yang berorientasi pasar eksport. Tapi sayangnya hal ini tidak pernah terjadi. BUMD yang ada megap-megap karena tidak dikucurkan dana. Legislatif, setali tiga uang dengan eksekutif. Nuansa politik lebih dominan dari pada mengurusi ekonomi rakyat langsung. Dana aspirasi 30 anggota dewan yang bersumber dari APBK dipakai untuk fisik Karena lebih menguntungkan oknum anggota dewan. Padahal dana aspirasi payung hukumnya tidak jelas. Namun terjadi. Bahkan satu anggota DPRK Aceh Tengah tahun ini mendapat kucuran Rp. 1 milyar/orang. Ruar biasa. Konon, katanya, dewan hanya menunjuk proyek dimaksud, segala keperluan administrasi diurus Dinas PU dan atau Bappeda?. Anggota dewan dan eksekutif di Kabupaten kopi ini, tidak cukup jeli dan cerdas menciptakan visi dan misi daerah kemudian mengawalnya. Padahal Belanda, seratusan tahun lebih yang lalu, sudah menjadikan kopi tanaman eksport dan memetakan kopi sesuai iklim dan tanahnya dengan membuat blok-blok kopi. 13302468141685515714Sampai kapanpun, jika pemda di dua kabupaten kopi di Aceh ini, Takengen dan Redlong tidak mengembalikan visi dan misinya pada kopi, dapat dipastikan orang lain yang mengambil untung dengan orientasi pasar eksp ort. Karena sudah terbukti, selama berdirinya dua kabupaten, Aceh Tengah dan Bener Meriah, sector kopi rakyat paling banyak menyumbang PAD. Sayang seribu kali sayang atas kebodohan berjamaah ini. Politik dan kekuasaan lebih utama disini. Sehingga semua hal, termasuk kopi, tidak seksi secara politik dan tidak menguntungkan dijual. Sehingga hamper semua program para kandidat adalah kabur, tidak jelas, tidak menyentuh langsung ekonomi rakyat petani kopi dan cet langit. Tinggi angan-angan dan pembual. Dalam bahasa agama disebut bohong berjamaah, alias munafikun. Melihat keadaan ini , maka legislative dan eksekutif yang sedang kasmaran politik dengan nafsu syahwat politik sudah berada di ubun-ubun membayangkan telanjangnya kekuasaan, hormat dan harta serta gengsi menjadi pemimpin, maka kekuatan rakyatlah yang tersisa. Masyarakat yang sadar akan potensi dan peduli pada rendahnya kemampuan ekonomi dan keahlian bertani kopi masyarakat gayo, harus bergerak secara sendiri dan kelompok secara nyata memberi bukti. Caranya , dengan mulai menunjukkan cara panen kopi yang hanya mengambil buah merah saja hingga ke proses pengemasan menggunakan penutup kedap udara (berbahan alumunium foil) dimana harga kopi yang diolah dengan cara ini jauh lebih mahal. 13302469871200425823 Bubuk Arabika Menggunakan Mesin Roasting Wiliam Dengan berdiskusi dan tidak menggurui agar petani merasa tidak direndahkan meski hasil produksi rata-rata perhektar pertahun hanya 700-800 kg. serta sejumah cara lain, termasuk memberi penyadaran pada dewan arti dan pentingnya sector kopi bagi masyarakat. Sehingga mau mengalokasikan APBK pada sector perkebunan kopi yang selama jauh lebih rendah dibandingkan pembangunan fisik lainnya. Tidak ada yang akan sia-sia. Berbuat sekecil apapun untuk menaikkan produksi kopi rakyat akan sangat berarti di masa depan. Diperlukan konsistensi dan cara-cara yang cepat lebih memajukan sector perkopian di gayo. Masyarakat gayo dan putra daerah yang peduli dan kini memasuki dunia kopi komersial sudah mulai memproklamirkan dua kabupaten di tengah Aceh ini sebagai “Kabupaten Kopi Gayo’ dan sebutan lain seperti menjadi daerah “Surga Peminum Kopi” serta sejumlah ikon lainnya yang berkaitan dengan kopi. Bahkan kalangan fotographer di gayo sudah menggagas pameran foto kopi. Hasil jefretan fotographer gayo dengan obyek kopi gayo dari hulu hingga hilirr akan dipamerkan sebagai bagian memperkenalkan kopi arabika gayo di tingkat regional , nasional dan dunia. 13302472441603650195 Gayobika Coffee, brandku memakai mesin Wiliam Edison Siapa lagi kalau bukan kita. Kapan lagi kalau bukan sekarang……..Wallahu’alam

Aku ke Koetaradja Bawa Kopi

Aku Kembali Ke Koetaradja Bawa Kopi
Kembali ke Koetaradja. Suasana sudah menjelang magrib saat aku tiba di kota ini. Koetaradja, atau Kutereje, begitu penduduk gayo menyebut Banda Aceh. Suasana sedikit dingin karena gerimis memadamkan kesibukan kota “Seribu Warung Kopi ini”. Lengang. Aku memeriksa dengan teliti setiap bagian gambar kota yang direkam retina mataku. Otomatis memoriku bekerja membandingkan rekaman kota ini saat aku berada disini tahun 1983 hingga 1988 seolah flashback dalam satu kedipan mata. Semuanya masih terekam jelas. Tak banyak yang berubah. Kecuali bangunan batu pualam yang ditinggikan disepanjang kawasan jalan Simpang Surabaya hingga Hotel Lading, tempatku menginap. Mahasiswa tampak jelas mengisi setiap trotoar kota ini. Berjilbab,laki dan perempuan , berkenderaan roda dua, roda empat, dengan style modern. Ada burger disepanjang jalan protocol. Duduk santai dengan kursi plastic menikmati suasana yang dibeli. Gaya hidup. Kota ini menjadi lebih hidup dengan membangun malam menjadi siang, dengan lampu warna-warni. Paska tsunami, Kutereje yang mendapat dana dari MDF (Multi Donor Fund) berkesan lebih millennium. Armada L300 meluncur pelan hingga berhenti di Hotel Lading. Hotel ini sudah lebih bagus dibanding dulu.Apalagi saat tsunami, hotel ini terkena dampaknya. Meski tak rusak parah. Kini hotel ini sudah oke meski terlihat sepi.
Aku bersama Ari Enrico. Keluarga Ari bergerak dibidang kopi bubuk berbasis Robusta yang dijual di antero Aceh dengan mereka Gunung Berapi di Simpang Pinangan. Setiap bulan, tak kurang dari 20-50 kilo dijual keluar dari Takengon berupa bubuk. Murni robusta tanpa campuran dengan harga perkilogramnya dijual Rp.60 ribu. Kedatangan kami ke Banda Aceh dalam rangka pelatihan Industri Kecil Menengah (IKM) khusus kopi dari seluruh wilyah Aceh. Selepas magrib, aku dan Ari Enrico menuju pusat kota Banda Aceh, Rek, demikian tempat ini diberi nama, tempat mangkal para penikmat berbagai penganan. Malam yang dijadikan siang. Suasana Rek di Peunayong masih sepi, segelas kopi kupesan. Rasanya, berbasis robusta dengan berbagai campuran tambahan yang terasa di lidahku yang biasa mengecap arabika. Tapi jadilah, menikmati malam. Dua hari paska tsunami, aku ingat berada di lokasi yang sama tempat aku duduk minum kopi . Berbeda sekali. Dua hari setelah tsunami, aku masih bisa merekam sebuah kapal besar nelayan parkir didepan Hotel Medan. Persis dijalan hitam. Aku masih menyimpan fotonya. Akh…keluhku. Atjeh memang penuh dinamika dan pergolakan sepanjang sejarahnya. Dengan warna merah, hitam, peluru, kematian dan kehancuran ekonomi serta asap dimana rakyat Aceh mengambil disemua peran sejarah. Di semua babak torehan sejarah. Tsunami Aceh merupakan peristiwa luar biasa yang bandingannya hanya ada pada qisasunanbiya, tapi terjadi di Aceh. Sebuah bangunan peradaban dalam satu waktu yang singkat dihancurkan air laut yang menyalami daratan melebihi wilayah toleransi atau takaran normal garis pantai air laut. Kini tak ada lagi ekspatriat yang berkeliaran di Aceh yang jamak terlihat paska tsunami. Kehadiran pekerja inilah yang telah memicu naiknya berbagai harga di Banda Aceh, khususnya rumah sewa.
---- Pelatihan Teknis Mutu dan Diversifikasi Pengolahan Kopi, demikian thema acara yang digelar Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah di Hotel Lading, berlangsung dari Tanggal 28 s/d 3 Maret 2012. Dua pembicara, Eti Trisnawati dari Kementerian Perdagangan dan Agus Sudibyo dari Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor. Eti mengungkapkan bahwa 1000 lebih zat kimia terdapat dalam kopi panggang (roasting) . Separuh dari angka tersebut bersifat karsinogenik. Menurut Eti, jika produk kopi Aceh dijual di pasar local atau dalam negeri sertifikasi halal cukup dikeluarkan oleh MPU Aceh. “Jika 50 persen pasar kopi Aceh dijual ke luar negeri , barulah sertifikasi halal dikeluarkan oleh pusat”, sebut Eti. Eti juga menyarankan, agar koperasi atau perusahaan kopi di Aceh dilengkapi dengan penasehat hokum agar tidak ditipu oleh pembeli atau pemilik sertifikasi kopi. Sementara itu, Agus Sudibyo, lebih banyak mengungkap berbagai hal, seperti, Meningkatkan mutu kopi untuk pasar domestic dan Internasional. Tema lainnya yang dijelaskan Agus Sudibyo adalah pengetahuan bahan kopi, dan tehnologi pengolahan kopi serta cara membuat kopi instant. Menurut Agus Sudibyo, kadar air pada kopi untuk keamanannya harus lebih rendah dari 12 persen. “Kalau kadar air pada kopi lebih tinggi dari 12 persen, bisa berakibat adanya jamur (Aflatoxin) yang disebabkan oleh Aspergilus flavus”, papar Agus Sudibyo. Lebih jauh dijelaskan Agus, konsumsi perkapita kopi di Indonesia saat ini adalah 0.8 kilogram/tahun/ “Konsumsi perkapita bisa dinaikkan dengan cara promosi dan lain-lain. Awalnya Columbia dan Brazil rendah konsumsinya . Tapi dengan promosi bisa naik”, jelas Agus. Ditambahkannya, jika konsumsi perkapita/tahun bisa dinaikkan hingga 1.2 kilogram saja, maka pertumbuhan ekonomi masyarakat di sector kopi akan sangat baik. Yang paling menarik dari pertemuan pengusaha kopi bubuk khususnya di Aceh tersebut adalah terungkapnya betapa potensial harga tawar dari produk kopi Aceh. Kopi robusta umpamanya, bisa ditemukan di berbagai kabupaten di Aceh. Seperti Kutacane, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Pidie hingga Kota Fajar di Aceh Selatan. Sementara kopi arabika gayo, merupakan perkebunan kopi rakyat yang terbesar dan terluas di Asia. Dengan pasar di luar negeri dengan kabupaten penghasilnya hanya ada di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. “Kopi Specialty gayo, ngak ada bandingannya di dunia”, tegas Agus Sudibyo. ---- Dari pertemuan itu, jelas terlihat bagaimana sebuah produk kopi robusta dari Aceh Tenggara yang diproduksi UD Wanbi milik Hasbi Suhaibi, setiap minggunya mampu dijual sekitar 500 kilogram. Demiian halnya produk kopi robusta milik H. Rusmawan dari Bireuen yang diberi label Indaco (Indonesia Aceh Coffee) dan kopi milik Zulfikar yang diberi label Arasco. Beberapa pengusaha kopi bubuk lainnya, juga eksis dengan menjual bubuk kopi dengan bahan robusta, seperti Silawati dari Aceh Tenggara, Mariyani S dari Simpang Balik yang memproduksi kopi home industry, Mahmuddin dari Aceh Tenggara dan sejumlah pengusaha lainnya. Sementara itu, pengusaha Takengon dengan basis kopi arabika gayo, memasuki pasar yang lebih luas bahkan hingga ke luar negeri. Ikrar yang memakai merek kopi olahannya dengan merek Aman Kuba Kopi, telah menembus pasar di Cina dan Malaysia. Serta pasar local di Indonesia , termasuk menjual kopi termahal di dunia, luwak gayo. Menurut Ikrar, harga kopi olahan tidak terkontrol. “Harga jual ditentukan pribadi-pribadi pengusaha. Tidak ada plapon harga yang sama”, kata Ikrar. Menjawab soal keaslian kopi luwak yang dijual demi menjaga keasliannya , menurut Ikrar bisa dilihat secara visual dan melalui tes uji rasa kopi (cupping test). “Kopi luwak lebih soft, rasa asam minim dan sangat tidak berpengaruh terhadap kenaikan asam lambung”, rinci Ikrar. Sementara itu, tambah Ikrar lagi, membedakan keasaman kopi arabika dan robusta, bisa dengan mencicipi langsung. “arabika asamnya di langit-langit mulut. Sementara robusta di dekat leher yang bisa langsung memicu asam lambung”, sebut Ikrar. Ikrar sudah memasuki pasar Internasional dengan perlakuan kopi arabika gayo dari hulu hingga hilir ditangani secara professional karena berstandar Internasional. Tidak heran jika kemudian kopi arabika gayo dijual jauh lebih mahal. Untuk satu kilogram bubuk arabika specialty saja, harga bisa dipasarkan diatas Rp.200 ribu. Hanya saja, menurut Ikrar, produk kopi arabika masih terkendala beberapa kendala menembus pasar dunia. Seperti sertifikasi halal hingga SNI. “Saat mengurus persyaratan tersebut, dinas di daerah cenderung tidak paham dan tidak kooperatif. Seharusnya dinas terkait membantu memudahkan pengurusan berbagai syarat agar kopi arabika bisa menembus pasar Internasional. Di daerah, semua diurus sendiri dengan syarat yang terkadang sulit”, kata Ikrar. Pun begitu, Ikrar dan sejumlah pengusaha Industri Kecil Menengah (IKM) di Takengon yang kini melirik pasar nasional dan Internasional kedepan arabika gayo akan lebih mendaerah menasional karena menjual mutu dan cita rasa kopi. Seperti yang dijelaskan Konadi Simehate. Konadi optimis, seiring waktu, kopi arabika gayo lebih baik dan banyak dilirik peminum kopi karena dinilai berstandar Internasional. Hanya saja, tambah Konadi, semua usaha kopi arabika dilakukan perseorangan yang banyak menghadapi kendala. Berbagai kendala itu, menurutnya antara lain keterbatasan sarana pendukung usaha kopi arabika, antara lain, modal , peralatan dan mesin. “Jika saja Pemda mampu membaca peluang kebutuhan pengusaha IKM seperti, mesin espresso, roasting dan packing, kopi arabika gayo akan lebih cepat berkembang”, kata Konadi. Bahkan, Aceh Tengah dan Bener Meriah, tambahnya akan menjadi surge para peminum kopi dari berbagai belahan dunia yang datang menikmati kopi terbaik ini. Meski masih berskala kecil, Konadi sudah memperlakukan penanganan kopinya dari batang kopi hingga pemerosesan paking berbahan alumunium foil. Kopi arabika gayo, sebutnya, kini banyak dilirik pembeli dari luar.” Jepang yang kini sedang menjajaki pembelian kopi dari Koperasi Asowgo yang menerapkan kopi organic dan fair trade “, ungkap Konadi. Konadi menilai posisi pelaku bisnis kopi berskala IKM masih lemah dan ditelantarkan. Untuk itu Konadi menginisiasi terbentuk komunitas pelaku usaha arabika agar bisa menaikkan posisi tawar yang lebih baik. “Begitu banyak kesempatan pameran dan promosi kopi di luar daerah yang tidak bisa kami ikuti karena keterbatasan dana. Seharusnya disinilah kopi gayo diperkenalkan sehingga dikenal luas”, papar Konadi. --- Agus Sudibyo kepada peserta pelatihan IKM selama satu hari penuh juga mengajarkan bagaimana membuat kopi instant. Caranya, kopi dicampur saripati berbagai bahan tambahan, seperti jahe, ditambahkan gula . Lalu dibuat dengan pemanasan yang bersuhu dibawah 50 derjat celcius selama 5 jam diatas wajan. Jadi. Kopi instant ini menjadi kopi instant yang siap saji dalam bentuk tepung. Paduan kopi, gula dan jahe. “Kopi masuk kebijakan nasional bersama kakao”, . Koetardja kutinggalkan setelah selama seharian menelusuri jejak-jejak tsunami yang nyaris tak terlihat lagi kecuali bangunan modern dan warga Aceh yang tidak terkena tsunami yang coba menatap masa depan dengan berbagai kegiatan dagang dan pertanian serta jasa. Bendera partai local tampak dominan menghiasi jalanan dan kantor partai yang berwarna merah menyala. Aceh memang sangat dinamis dalam pergolakan. Bukan saja pergolakan senjata , tapi juga politik. Betapa tidak, paska gempa dan tsunami, Parlok hadir sebagai syarat damai. Sebuah terobosan berani yang kemudian ditiru banyak daerah di Indonesia. Spekulasi politik tensi tinggi di Aceh memang berhawa panas. Apalagi salakan senjata api yang menggantikan fungsi Izrail, masih menjadi warna politik Aceh dengan style tersendiri yang pelakunya misteri. Aroma dari kopi berbahan arabika, bisa dinikmati paling tidak di tiga tempat atau warung kopi di Koetaradja. Duduk sambil membicarakan banyak hal, dari politik kopi hingga politik Pilkada Aceh dibahas dari tempat duduk di tempat terbuka seribu warung kupi Aceh. Jika tak cukup uang untuk minum kopi, jangan kuatir. Karena kopi masih tetap bisa dinikmati dengan “Kupi Pancung”. --- Aku pulang dari Koetaradja menuju Kabupaten kopi ditengah Aceh yang merupakan dataran tinggi . Sayang memang, kopi arabika gayo yang dikenal luas di antero dunia, di ibukota Provinsi masih belum dikenal luas. Sehingga sulit mencari warung kopi berbasis arabika gayo. Karena semua kopi yang tersedia adalah robusta dengan blendingang bahan tambahan non kopi dengan cirri dan cita rasa yang khas. Selera memang berbeda. Tapi kehadiran kopi arabika di Koetaradja setidaknya menjadi alternative. Peluang begitu terbuka lebar . Seperti Belanda saat menjajah dahulu yang mengultimatum masyarakat petani kopi hanya menanam kopi robusta. Tapi Belanda mengeksport kopi arabika dari tanah jajahannya, Tanoh Gayo. Kini Sumber daya kopi arabika gayo yang merupakan terluas dan terbesar produksinya di Asia belum ditangani secara professional. Akhirnya, dibagian hilir jalur kopi gayo dari petani ke pedagang dilakoni orang lain, termasuk asing. Karena mereka begitu paham kopi gayo yang kaya rasa dan aroma. Dan merupakan komoditi nomor dua yang diperdagangkan secara luas setelah minyak di dunia. Ketika pemangku kepentingan dan kebijakan tidak memiliki visi dan misi yang jelas tentang kopi gayo, masuklah asing mengambil kuntungan terbesar dari kopi. Pemda hanya mengambil retribusi dari kopi yang dikirim ke luar negeri. Nilai retribusi ini mencapai puluhan milyar bahkan dua puluhan milyar. Kopi masih belum dianggap seksi, entah karena kebodohan atau karena lebih menyukai proyek –proyek yang bisa langsung mendapatkan feenya dari pada repot mengurus kopi rakyat. Rakyat petani kopi bagi penguasa di Aceh hanyalah alat politik dan propaganda sesaat yang suaranya diminta dengan menjual diri saat suksesi. Tapi kemudian dibiarkan menepi di kaki-kaki bukit bersimbah tanah dan dibakar matahari. Tak ada lagi yang peduli. Kopi adalah kekuatan ekonomi masa depan Aceh. Meski hanya petani kopi saja yang merasa memiliki kopi. Tidak juga milik Kabupaten atau bahkan milik provinsi. Dan aku meminum segelas espresso dengan takaran 30 ml tanpa gula sekali teguk saat menuliskan ini. Dan adrenalinkupun naik…..(Win Ruhdi Bathin)

Senin, 20 Februari 2012

Nasib Kelam Petani Kopi Gayo

“104 tahun lalu, Belanda menjadikan kopi Gayo sebagai Product for Future. Kini, menjadi penyumbang terbesar Pendapatan Asli Daerah setempat. Tapi petani kopi kian terjepit” PERCAYA atau tidak, saat ini kopi gayo telah menjadi ikon kopi berkualitas cita rasa terbaik. Semua pecandu kopi di Aceh tentunya tak akan menyangkal pernyataan itu. Tapi asal tahu saja, kemasyhuran kopi Gayo juga sudah menyebar ke dunia internasional, ditandai dengan masuknya Star Buck, produsen kopi yang telah dikenal seantero dunia. Perlu diingat, ini kopi Gayo, bukan kopi Pemerintah Daerah Gayo, karena hingga saat ini tak ada satupun kebun kopi milik pemerintah yang dikelola secara profesional dan menjadi contoh bagi rakyat. Tidak ada sama sekali. Meski tak ada perhatian dari pemerintah, bukan berarti kualitas kopi yang dihasilkan oleh para petani menurun. Awal Oktober lalu, untuk menjawab penasaran tentang kopi Gayo, atas permintaan Star Buck, telah dilakukan suatu penelitian tentang kopi Gayo, di beberapa kecamatan di Aceh Tengah. Dilakukan oleh LSM Bitra dan IFC, selama dua pekan, penelitian berusaha menjawab tentang pola bertani, hasil, jenis kopi, kontinuitas, dan sejumlah penelitian lain dalam bentuk Baseline Survei Petani Kopi 2009. Kita kecolongan Selain Star Buck, ada juga berbagai perusahaan asing yang masuk dan menggandeng koperasi lokal atau mitra lokal lainnya untuk mengeksport kopi Gayo. Kebanyakan kopi yang diekspor diberi label “Kopi Organik” Kenapa kopi gayo banyak diminati asing? Ada yang menyebutkan, rasa kopi Gayo melebihi cita rasa kopi Blue Montain asal Brazil. Mungkin, alasan inilah yang membuat sebuah perusahaan Belanda nekat mempatenkan nama Kopi Gayo di negaranya sebagai merek miliknya. Dengan dipatenkan kopi Gayo oleh perusahaan Belanda ini, kopi gayo tidak bisa lagi diekspor keluar negeri memakai merek “Kopi Gayo”. Sementara jika tidak memakai merek “Kopi Gayo”, harga jual akan lebih rendah. Dan secara geografis kopi gayo memang terletak di sepanjang wilayah Dataran Tinggi Gayo yang meliputi tiga kabupaten, Takengon, BenerMeriah dan Gayo Lues. Petani kopi kecolongan. Bagaimana bisa, kopi yang mereka usahakan selama bertahun-tahun di tengah berbagai Asosiasi Kopi Aceh dan retribusi yang selalu dipungut pemda, kini hak paten itu telah dimiliki oleh orang lain di seberang benua. Lantas apa saja kerja para pengusaha kopi, pemda, Asosiasi pengusaha daerah (Aped), atau kelompok– kelompok yang mengambil keuntungan dari menjadi asosiasi kopi tapi, sesungguhnya tidak berbuat apa–apa. Atau mereka dari seabrek nama lain yang seolah-olah berpihak pada petani kopi. Rakyat kecolongan, pengusaha, Pemda Aceh dan Indonesia patut berduka atas “musibah” ini. Saky Septiono dari Direktorat Merek Dirjen HAKI Dephum dan HAM, beberapa waktu lalu pernah menyebutkan, sebenarnya masih ada peluang untuk mendapatkannya kembali paten kopi rakyat gayo tersebut. Kopi Gayo tidak bisa didaftarkan sebagai merek dagang perusahaan tertentu seperti yang dilakukan pengusaha Belanda, karena merupakan Indikasi Geografis (IG) di Indonesia. Karena itu pemerintah Indonesia berusaha membatalkan pendaftaran merek secara internasional itu dengan mengacu pada Trade Relative Aspects of Intellectual Property. Sebenarnya bukan cuma perusahaan Belanda yang ingin memiliki merek kopi Gayo. Sejumlah warga Gayo pun banyak yang mencoba mendaftarkan merek kopi Gayo ke Dephumkan RI secara perorangan, namun tidak dipenuhi. Karena sertifikat IG hanya boleh dimiliki oleh masyarakat Gayo, bukan perseorangan, lembaga, perusahaan, atau institusi lain. Kopi bagi masyarakat Dataran Tinggi Gayo sudah seperti “nyawa dan tubuh”, tidak terpisahkan. Jika kita bertanya kepada para pejabat di Aceh Tengah dan Bener Meriah yang kini jadi penguasa dan dipercaya “mengelola” uang rakyat lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK), yang jumlahnya ratusan milyar, mereka semua pasti tahu kopi. Bahkan, para pejabat itu mungkin kuliah dengan uang yang bersumber dari hasil panen kopi orang tua mereka. Seperti kebanyakan penduduk Aceh Tengah. Maman ilang maman ijo, beta pudaha, beta besilo. Pepatah gayo tersebut tampaknya cocok dengan fakta kekinian tentang kopi. Di jaman penjajahan Belanda, perkebunan kopi jauh terkelola dengan baik dan professional dibandingkan saat ini. Betapa tidak, Belanda menjadikan kopi yang diproduksi pertama kali tahun 1905 kemudian ditanam di bagian utara Danau Laut Tawar pada tahun 1908, sebagai “Product for future” Di tahun 1924 Belanda dan investor Eropa telah memulai menjadikan lahan didominasi tanaman kopi, teh dan sayuran (John R Bowen, Sumatran Politics and Poetics, Gayo History 1900-1989, halaman76). Kemudian, pada Tahun 1933, di Takengon, 13.000 hektar lahan sudah ditanami kopi yang disebut Belanda sebagai komoditas “Product for future”. Masyarakat gayo, tulis John R Bowen, sangat cepat menerima (mengadopsi) tanaman baru dan menanaminya di lahan-lahan terbatas warga. Perkampungan baru di era tersebut, terutama di sepanjang jalan dibersihkan untuk ditanami kopi kualitas ekspor. Tahun 1920 Belanda mulai membawa tenaga kerja kontrak dari Jawa ke Gayo, untuk menjadi pekerja di perusahaan dammar (pinus mercusi). Jika 104 tahun lalu Belanda sudah mengelola kopi dengan baik hingga bisa diekspor Eropa dan dijadikan komoditas unggulan dengan sebutan “Produk Masa Depan”, kini kopi Gayo memasuki masa paling suram dari sejarahnya. Bayangkan saja, kopi di dataran tinggi Gayo kini hanya dikelola oleh masyarakat sendiri. Disebut dengan perkebunan kopi rakyat, yang belum dikelola secara baik dan benar seperti dilakukan Pemerintah Belanda di jaman penjajahan.
Zainuddin, penduduk Wih Pesam Kecamatan Silih Nara Takengon. Sebagai petani kopo ia mengaku tak pernah sekalipun mendapat penyuluhan tentang bagaimana bertanam kopi yang baik, kecuali hanya mendengar, melihat, dan langsung mempraktekkan sendiri di kopi. Sebagai ketua kelompok tani dari perusahaan asing Indocafco, Zainuddin merasa perhatian pemerintah maupun eksportir kopi terhadap petani tidak ada. Hetani hanya menjadi “sapi perahan” pemerintah dan eksportir, tapi keuntungan bagi petani tidak ada. “Setingkat pelatihan saja untuk bertani kopi yang baik saja tidak pernah diajarkan. Konon lagi ada penyuluh perkebunan”, kata zainuddin. Karena pendapatan yang didapat sebagai petani kopi tidak seberapa, ia harus mencari kerjaan tambahan lainnya, misalnya sebagai kuli tani. Kini, Zainuddin juga menjadi pembeli kopi kecil-kecilan. “Sebelum membeli kopi, anak saya yang kuliah terpaksa berhenti karena tidak ada biaya”, kata Zainuddin. Kebanyakan petani kopi Aceh Tengah sangat minim pengetahuan tentang bercocok tanam kopi, perawatan, panen, paska panen. Konon lagi untuk memanagemen penjual dan penghasilan dari menjual kopi. Pemda khususnya, Dinas Perkebunan tak ada perannya untuk memajukan petani kopi. Hanya mengambil retribusi dari pengusaha yang membawa setiap kilo kopi keluar daerah, dan inilah yang saat ini menjadi andalan PAD terbesar. Penderitaan itu diperparah toke, baik toke besar dan kecil, karena seringkali kopi warga diambil atau dibeli toke dengan diutangkan dulu. Setelah toke pulang dari Medan menjual kopinya, barulah uang kopi petani dibayarkan. Pembayaran kopi bisa jadi sebulan kemudian. Pengusaha asing yang menjual kalimat sakti “Kopi Organik’ di pasar dunia tentu akan mendapat pasar tersendiri dan mendapat fee organic dari berbagai asosiasi dunia. Tapi bagi petani yang tergabung dalam anggota petani organik dari eksportir kopi asing tersebut, ternyata tidak mendapat apa-apa, kecuali nama kelompok tani mereka dijual keluar negeri, bahwa sang eksportir punya anggota binaan. “Kami tidak menerima fee organic yang katanya dibayarkan setiap enam bulan sekali. Dulu ada diberikan eksportir kopi alat-alat pertanian, seperti alas jemur dan lain-lain. Tapi kini tidak pernah lagi. Tidak ada untungnya menjadi anggota kelompok tani organik, kecuali kekecewaan dan janji kosong saja,” kata Zainuddin, salah seorang ketua kelompok tani organik.

Kamis, 26 Januari 2012

Arabika Gayo

Roasting Arabika Gayo

Aman Shafa Ajar Dua Gadis Bule Menumbuk Kopi

Aman Shafa Ajar Dua Gadis Bule Menumbuk Kopi Aman Shafa sedang menjalaskan kepada dua gadis bule asal Polandia tentang kopi dan cara menampinya (Foto: Aman Shafa) Sensasi kopi arabika gayo memang luar biasa. Sampai-sampai dua gadis bule asal Polandia, Joanna Niedzialek dan Bogumila Jablecka terobsesi untuk belajar menumbuk kopi. Selama ini mereka sudah terlanjur “jatuh cinta” kepada aroma kopi arabika gayo. Mereka hanya mengenal nama besar kopi arabika gayo, tetapi belum kenal proses pengolahannya. 13275588421318375648 Joanna, gadis bule asal Polandia sedang menumbuk gabah kopi (Foto: Aman Shafa) Kisahnya begini, setelah saya mengantar dua wisatawan asal Polandia itu ke pondokan Aman Shafa di Desa Paya Serngi Aceh Tengah, Jumat sore (21/1) lalu, ternyata mereka tidak langsung tidur meski sudah kelihatan sangat lelah. Menurut Aman Shafa yang saya temui tadi, Kamis (26/1) di cafe cornernya, kedua gadis Polandia yang sedang mengambil program studi Bahasa Indonesia di Unkris Petra itu, ternyata minta diajarkan cara mengolah kopi. Malam itu, Aman Shafa bersama isterinya terpaksa menyediakan alu dan lesung kayu ukuran kecil, alat tampi (tampah), serta sekitar setengah kilogram gabah kopi luwak. Setelah Aman Shafa mengajarkan cara menumbuk gabah kopi, kedua gadis itu mulai mencoba pekerjaan petani kopi di Dataran Tinggi Gayo. Dengan alu pendek dan lesung kecil yang terbuat dari kayu, Joanna terus menumbuk kopi. Selesai ditumbuk oleh Joanna, Bogumila menampi kopi itu untuk memisahkan ampas kulit tanduk dari green bean. Menurut Aman Shafa, pekerjaan menumbuk kopi menggunakan lesung kayu biasanya membutuhkan waktu hanya 30 menit. Namun kedua gadis asal Polandia itu menghabiskan waktu sampai satu jam. Ketidakbiasaan menumbuk kopi menyebabkan alunya lebih sering tertumbuk ke bibir lesung sehingga kopinya bertumpahan ke lantai. “Pemandangan yang sangat lucu melihat dua gadis bule sedang memungut biji kopi dari lantai rumah,” kata Aman Shafa tertawa. 13275590371335700524 Bogumila, gadis asal Polandia sedang menampi kopi yang sudah ditumbuk (Foto: Aman Shafa) Demikian juga yang dilakukan Bogumila, saat menampi gabah kopi yang sudah ditumbuk Joanna terlihat sangat lucu. Badan Bogumila ikut bergerak seperti orang yang sedang menari mengikuti irama alat tampi. Seharusnya, saat menampi hanya kedua tangan yang bergerak. Akibat aksi dua gadis bule itu, debu ampas kopi berterbangan memenuhi ruang keluarga di pondokan Aman Shafa. Debu itu bisa menyebabkan batuk, tetapi mereka kelihatan tidak berusaha untuk menutup hidungnya. Dengan cara menampi seperti itu, tentu saja sejumlah biji kopi bertumpahan ke lantai. Namun, dengan telaten mereka mengutip kembali satu persatu kopi yang berserakan itu. Pada akhirnya, sekitar pukul 23.00 WIB, mereka dapat menyelesaikan pekerjaan menumbuk kopi secara tradisional. “Mereka kelihatan tidak capek, tetapi sangat gembira bisa menuntaskan pekerjaan yang biasanya dilakukan para petani kopi,” ungkap Aman Shafa. Kepada Aman Shafa, Joanna mengakui bahwa selama ini mereka hanya mengetahui kopi itu adalah yang sudah diroasting (sudah disangrai). Jenis itu yang sering mereka lihat di cafe-cafe Eropa. Mereka tidak pernah membayangkan, ternyata begini sulitnya para petani mengolah biji kopi, mulai dari buah chery (biji merah) diolah menjadi gabah, dijemur sampai kering, lalu ditumbuk sampai menjadi green bean, kemudian dijemur lagi. Jadi sangat wajar jika harga kopi itu mahal, kata mereka kepada Aman Shafa. Untuk melengkapi pengalaman mereka dalam bidang perkopian, besok paginya, Aman Shafa mengajak mereka meninjau kebun kopi penduduk yang berada di sekitar pondokan itu. Joanna sangat kaget saat mengetahui bahwa tinggi pohon kopi sampai 1,70 meter. Sebelumnya dia berpikir, tanaman kopi itu hanya sejenis tanaman kacang-kacangan yang tinggi batangnya sekitar 10 cm. “Mereka pikir tanaman kopi itu sejenis kacang kedelai,” kata Aman Shafa. Gadis bule Polandia ini berpikir tanaman kopi itu seperti kacang kuning, rupanya tinggi batang kopi mencapai 1,7 meter setelah mereka lihat kebun kopi warga (Foto: Aman Shafa) Sebelum melanjutkan perjalanannya ke Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Aceh Tenggara, mereka berjanji kepada Aman Shafa akan kembali lagi ke Takengon pada musim liburan mendatang. Obsesinya sederhana, mereka ingin memetik kopi bersama petani. Aman Shafa sampai geleng-geleng kepala melihat tekad mereka yang begitu perhatian terhadap kopi arabika gayo. “Sebelumnya mereka memang sudah dapat informasi bahwa kopi arabika gayo sebagai salah satu kopi terbaik di dunia, malah Joanna termasuk pengopi berat” jelas Aman Shafa.

Minggu, 22 Januari 2012

Belajar Tampi Kopi Gayo

Belajar menampi Kopi--seorang bule Polandia sedang belajar menampi kopi gayo di Takengon.Joanna Niedzialek

Sabtu, 21 Januari 2012

Bule Polandia Belajar Munampi

Dua Bule Itu Kuajari Munapi Dua bule dari Polandia tiba di Takengon. Meski dari Polandia, kedua bule yang masih masih belia ini, mahasiswi di sebuah Universitas swasta di Surabaya. Jurusan Bahasa Indonesia. Kedatangan kedua bule ini untuk berwisata, mengisi liburan kuliah. Khusus ke Sumatera. Joanna Niedzialek (21) dan Bogumila Jablecka . Melalui situs jejaring social wisata dunia, Joanna menulis seperti ini, “I kow that is kinda last minute request. Me and my friend (we are two girls) are travelling around Sumatre and spontanuously decided to visit Takengon. We trying to learn Bahasa Indonesia so it is great value to meet and stay with local people. I would like to ask if we could stay over your place and if you would have some time to share experiences about Sumatra and Indonesia;) Greetings Joanna”
Sayang, saat Joanna menulis surat elektronik ini, jaringan internet dari speedy yang di wirelesskan di tempatku bekerja sebagai pelayan tamu yang minum kopi di Kantin Batas Kota Takengon sedang ngadat. “Pihak Telkom sedang memperbaiki jaringan di Jalan Lebe Kader.”, kata Dadong, temanku dari D net yang memiliki hamper semua nomor petugas Telkom Aceh Tengah. Petugas Telkom yang kuhubungi lewat pesan singkat , tidak merespon smsku yang berisi keluhan tentang jaringan. Apalagi perbaikan yang dilakukan Telkom tanpa pemberitahuan kepada pelanggan. Padahal kita terlambat membayar rekening Telkom, secara sepihak Telkom akan memutuskan akses jaringan. Tidak fair.Sayang belum ada organisasi di Takengon yang membela hak konsumen yang dirugikan. Joanna bersama Bogumila datang ke tempatku bekerja Jum’at sore (20/1) ditemani Ria, wartawan LG yang juga anggota komunitas berwisata dunia. “Mereka sudah sehari bersama saya. Karena saya Jum’at malam harus ke Medan, mereka akan tinggal bersama abang”, kata Ria. Ria tampaknya mulai menyukai alam bebas. Ria bersama komunitas Bacpacker akan naik gunung di Medan. Ria tak ingin melewatkan momen ini setelah merasakan nikmatnya bersahabat dengan alam yang dulu tidak pernah ditekuninya. Sehari sebelumnya, Ria sudah sms, memberitahukan kehadiran Joanna dan temannya. Menjawabnya, aku tentu saja harus bertanya dulu pada istriku. Ijin istriku tentu saja sangat berarti karena istrikulah yang mengurus dan mengatur rumah yang merupakan istananya. Aku ini apalah kalau sudah dirumah. Kuasa penuh istriku. Menyiapkan kebutuhan rumah tangga dari A-Z. “Ara roa bule ari Polandia male nome isien, kune menurut Ine”, tanyaku pada istriku. “Kurasa gere mukunah, cume lagu ini we area”, kata Istriku. Berarti istriku setuju. Setelah persetujuan itu, tentu istriku sangat paham menerima kehadiran kedua tamu asing yang berbeda warna kulit, bahasa, ras dan agama itu. Dengan segala konsekwensinya.— Setelah berkenalan, kami duduk sambil minum kopi. Bogumila tak minum kopi, hanya teh. Selepas magrib, Ria pulang karena harus ke Medan. Beruntung, Pak Syukri bersedia mengantar kami kerumah, di sebuah Dusun dipinggiran Kota . Sebuah Dusun yang bernuansa tradisional . Dimana masyarakatnya hidup dari bertani, abang becak, buruh bangunan dan sebagian kecil menjadi pegawai pemerintah. Aku memberitahu kedua tamu ini tentang perbedaan rumah yang akan mereka tinggali. Tapi Joanna menyatakan tidak ada masalah dengan semua itu. Aku sedikit lega. Karena aku tak ingin mereka membayangkan hal yang muluk. Sampai dirumah keluarga bersalaman dengan tamu asing yang tidak asing bagi keluargaku karena mereka terbiasa dengan tamu asing, meski anak bungsuku, Alifah Timami, 2.8 tahun, tetap saja malu-malu bertatap muka dengan tamu asing ini. Sambil menyembunyikan wajahnya di pelukan inenya. Tak lama tiba, kami makan malam. Menunya, jantar lumu, ikan jaher masam jing dan sambal. Meski tetap saja lucu melihat bule ini makan menggunakan tangan, tapi mereka PD saja, meski masih agak kaku. “Tidak ada masalah dengan perubahan menu makan selama berada di Indonesia. Meski sebelumnya di tempat saya, mustahil menggunakan tangan untuk makan”, kata Joanna. Selepas makan malam, rehat sejenak . Aku menunjukkan foto-foto tsunami yang kurekam lewat kamera manual dua hari setelah tsunami di Banda Aceh. Semuanya menunjukkan tentang kematian dan hancurnya bangunan di antero Aceh kala itu. Hancurnya sebuah peradaban. “MoU di Aceh, salah satu alasannya adalah tsunami”, kataku pada kedua tamuku. Mereka hanya manggut-manggut dan berdecak ngeri melihat tumpukan mayat manusia dibawah jembatan Peunayong. Joanna juga bertanya tentang hokum syariat Islam di Aceh. Aku hanya mampu mengatakan setelah hokum syariat dibuat, pemerintah dan DPRA tidak serius melanjutkannya. Buktinya setelah seseorang ditangkap , tidak ada qanun yang menjadi payung hokum menjadikan seorang tersangka yang tertangkap tangan dipenjara polisi. Seperti kasus oknum hakim pengadilan negeri Takengon yang tertangkap tangan oleh polisi berjudi sabung ayam di komplek rumah dinas Non perumnas Kebayakan. Oknum hakim yang tak terpuji dan paham hokum positif ini kemudian dilepas begitu saja. Tapi sebelumnya, untuk rakyat biasa, hokum syariat dijalankan di Takengon dan Bener Meriah yang ditandai dengan uqubat cambuk di Musara Alun, halaman Setdakab dan di Lapangan Simpang Tige.Akh. Agar bule ini memiliki kesan saat berada di Takengon, aku kemudian menceritakan kepada mereka bagaimana sebuah proses arabika gayo dimulai. Dari kebun petani hingga ke cangkir-cangkir kopi di gerai ternama seperti Star Buck. Kebetulan dirumah ada bahan baku gabah kopi luwak yang kubeli dari Malio Adnan, seorang warga Arul Relem Silih Nara yang berhasil memberikan kursi perdamaian, kursi budaya dan lain –lain untuk Gubernur Aceh, Wagub Nazar dan hingga Presiden SBY. Gabah kopi luwak sudah kering. Kadar airnya sekitar 14 persen. Menggunakan lusung kecil, gabah kopi luwak arabika gayo tersebut kumasukkan kedalam lusung untuk ditumbuk agar memisahkan kulit tanduknya dan bijinya. Bogumila tampak senang dengan kegiatan ini. Setelah kuajarkan cara menumbuknya, perempuan bergelar master antropologi ini mulai menumbuk kopi. Kaku dan hati-hati. Setelah agak lama, barulah tamppak sedikit lancar. Tak mau kalah dengan Bogumila, Joanna juga meminta mengerjakan hal yang sama. Jadilah kedua bule ini menjadi pegawai dadakan pengolah kopi. Setelah biji kopi terpisah dengan kulit tanduknya, aku kembali mengajarkan kedua bule ini munampi. Munampi adalah proses pemisahan biji dan kulit menggunakan tampi. Alat tradisional ini juga dipakai untuk memisahkan beras dari sampahnya bahkan juga dipakai menyimpan bumbu dapur hingga alat jemur kopi. Saat Joanna menampi, aku dan keluarga terbahak-bahak melihatnya. Betapa tidak, seluruh tubuhnya bergerak mengikuti gerakan tampi. Dan hal itu terlihat sangat lucu. Aku kembali mengajarkan bule ini menampi. Aku terbiasa menampi sejak terjun di dunia pengolahan kopi. Ala bisa karena biasa.Serius , telaten dan sering bertanya membuat kedua bule ini cakap dalam sekejap. “Kami sudah memulai, kami juga harus mengakhirinya”, kata Joanna. Aku salut pada kedisiplinan kedua bule ini. Meski belum pernah mengerjakan hal baru, tapi mereka begitu tekun. Inilah mungkin yang membuat mereka unggul soal ilmu dan penerapannya. Konsisten dan disiplin. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 Wib, Jum’at malam, barulah keduan bule ini tidur. Setelah pekerjaan yang kuberikan diselesaikannya dengan sempurna. Termasuk mensortir terase green bean luwak. Perfect. Mereka tidur dengan bahagia karena diberi kepercayaan mengerjakan sebuah hal baru. Aku sempat bertanya, apakah mereka sebelumnya pernah melihat pohon kopi. Mereka menjawab tidak. Mereka hanya tahu kopi olahan tanpa pernah tahu bentuk batang kopinya. Pagi Sabtu (21/1) Aku menyelesaikan PRku yang kujanjikan pada kedua bule ini. Menunjukkan batang kopi. Karena kami tinggal dilingkungan perkebunan kopi, tak sulit mencari pohon kopi. Beberapa langkah dari rumah, langsung kebun kopi. “Saya membayangkan pohon kopi itu pendek dan kerdil”, kata Bogumila. Beberapa kilatan cahaya kamera digital mengarah ke batang dan buah kopi. Selesai, kami pulang dan berpamitan ke istriku. Kedua bule ini akan melanjutkan wisatanya ke Ketambe. Kami berjalan dari Paser ke Batas Kota berjalan kaki. Kedua bule ini menggendong tas besarnya. “Tidak berat?”, tanyaku pada Joanna. “Sekitar 15-20 Kg. Kami sudah terbiasa membawa beban ini”, kata Joanna. Tiba di BK, aku tak sempat menyuguhkan kopi terbaik di Sumatera ini, Arabika Gayo. Karena mobil jemputan mereka sudah datang menuju Ketambe. Kami bersalaman dan berpisah. Sebelum pulang, Joanna memberiku sebuah kartu pos. “Kartu pos ini bermotif khas Polandia”, kata Joanna. Dibalik kartu pos itu, Joanna dan Bogumila menulis beberapa kata dalam bahasa Polandia dan Inggris.Dziekujemy!. Dear Win, Thank You Very Much for being our host and teaching us so much about your culture!. We hope one day we will have on opportunity to do the same for you! Rilka Joanne. (Aman Shafa)

Kamis, 12 Januari 2012

Maja Sontag Suka Cappucino

Maja Sontag, turis asal Polandia yang doyan Cappucino dengan kopi arabika gayo
Roasting Kopi arabika gayo

Buah Merah Arabika Gayo

Buah kopi merah arabika gayo yang telah disortir untuk dijadikan kopi olahan, seperti bubuk, kopi roasting dan berbagai menu kopi lainnya seperti, espresso, black coffee, cappucino, late, americano, ice coffee, mochcino...

Senin, 09 Januari 2012

Your Slideshow Title Slideshow

Your Slideshow Title Slideshow: TripAdvisor™ TripWow ★ Your Slideshow Title Slideshow ★ to Costa Rica. Stunning free travel slideshows on TripAdvisor