Arabika Coffee Gayo

Arabika Coffee Gayo
Barista Gayo

Kamis, 26 Januari 2012

Aman Shafa Ajar Dua Gadis Bule Menumbuk Kopi

Aman Shafa Ajar Dua Gadis Bule Menumbuk Kopi Aman Shafa sedang menjalaskan kepada dua gadis bule asal Polandia tentang kopi dan cara menampinya (Foto: Aman Shafa) Sensasi kopi arabika gayo memang luar biasa. Sampai-sampai dua gadis bule asal Polandia, Joanna Niedzialek dan Bogumila Jablecka terobsesi untuk belajar menumbuk kopi. Selama ini mereka sudah terlanjur “jatuh cinta” kepada aroma kopi arabika gayo. Mereka hanya mengenal nama besar kopi arabika gayo, tetapi belum kenal proses pengolahannya. 13275588421318375648 Joanna, gadis bule asal Polandia sedang menumbuk gabah kopi (Foto: Aman Shafa) Kisahnya begini, setelah saya mengantar dua wisatawan asal Polandia itu ke pondokan Aman Shafa di Desa Paya Serngi Aceh Tengah, Jumat sore (21/1) lalu, ternyata mereka tidak langsung tidur meski sudah kelihatan sangat lelah. Menurut Aman Shafa yang saya temui tadi, Kamis (26/1) di cafe cornernya, kedua gadis Polandia yang sedang mengambil program studi Bahasa Indonesia di Unkris Petra itu, ternyata minta diajarkan cara mengolah kopi. Malam itu, Aman Shafa bersama isterinya terpaksa menyediakan alu dan lesung kayu ukuran kecil, alat tampi (tampah), serta sekitar setengah kilogram gabah kopi luwak. Setelah Aman Shafa mengajarkan cara menumbuk gabah kopi, kedua gadis itu mulai mencoba pekerjaan petani kopi di Dataran Tinggi Gayo. Dengan alu pendek dan lesung kecil yang terbuat dari kayu, Joanna terus menumbuk kopi. Selesai ditumbuk oleh Joanna, Bogumila menampi kopi itu untuk memisahkan ampas kulit tanduk dari green bean. Menurut Aman Shafa, pekerjaan menumbuk kopi menggunakan lesung kayu biasanya membutuhkan waktu hanya 30 menit. Namun kedua gadis asal Polandia itu menghabiskan waktu sampai satu jam. Ketidakbiasaan menumbuk kopi menyebabkan alunya lebih sering tertumbuk ke bibir lesung sehingga kopinya bertumpahan ke lantai. “Pemandangan yang sangat lucu melihat dua gadis bule sedang memungut biji kopi dari lantai rumah,” kata Aman Shafa tertawa. 13275590371335700524 Bogumila, gadis asal Polandia sedang menampi kopi yang sudah ditumbuk (Foto: Aman Shafa) Demikian juga yang dilakukan Bogumila, saat menampi gabah kopi yang sudah ditumbuk Joanna terlihat sangat lucu. Badan Bogumila ikut bergerak seperti orang yang sedang menari mengikuti irama alat tampi. Seharusnya, saat menampi hanya kedua tangan yang bergerak. Akibat aksi dua gadis bule itu, debu ampas kopi berterbangan memenuhi ruang keluarga di pondokan Aman Shafa. Debu itu bisa menyebabkan batuk, tetapi mereka kelihatan tidak berusaha untuk menutup hidungnya. Dengan cara menampi seperti itu, tentu saja sejumlah biji kopi bertumpahan ke lantai. Namun, dengan telaten mereka mengutip kembali satu persatu kopi yang berserakan itu. Pada akhirnya, sekitar pukul 23.00 WIB, mereka dapat menyelesaikan pekerjaan menumbuk kopi secara tradisional. “Mereka kelihatan tidak capek, tetapi sangat gembira bisa menuntaskan pekerjaan yang biasanya dilakukan para petani kopi,” ungkap Aman Shafa. Kepada Aman Shafa, Joanna mengakui bahwa selama ini mereka hanya mengetahui kopi itu adalah yang sudah diroasting (sudah disangrai). Jenis itu yang sering mereka lihat di cafe-cafe Eropa. Mereka tidak pernah membayangkan, ternyata begini sulitnya para petani mengolah biji kopi, mulai dari buah chery (biji merah) diolah menjadi gabah, dijemur sampai kering, lalu ditumbuk sampai menjadi green bean, kemudian dijemur lagi. Jadi sangat wajar jika harga kopi itu mahal, kata mereka kepada Aman Shafa. Untuk melengkapi pengalaman mereka dalam bidang perkopian, besok paginya, Aman Shafa mengajak mereka meninjau kebun kopi penduduk yang berada di sekitar pondokan itu. Joanna sangat kaget saat mengetahui bahwa tinggi pohon kopi sampai 1,70 meter. Sebelumnya dia berpikir, tanaman kopi itu hanya sejenis tanaman kacang-kacangan yang tinggi batangnya sekitar 10 cm. “Mereka pikir tanaman kopi itu sejenis kacang kedelai,” kata Aman Shafa. Gadis bule Polandia ini berpikir tanaman kopi itu seperti kacang kuning, rupanya tinggi batang kopi mencapai 1,7 meter setelah mereka lihat kebun kopi warga (Foto: Aman Shafa) Sebelum melanjutkan perjalanannya ke Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Aceh Tenggara, mereka berjanji kepada Aman Shafa akan kembali lagi ke Takengon pada musim liburan mendatang. Obsesinya sederhana, mereka ingin memetik kopi bersama petani. Aman Shafa sampai geleng-geleng kepala melihat tekad mereka yang begitu perhatian terhadap kopi arabika gayo. “Sebelumnya mereka memang sudah dapat informasi bahwa kopi arabika gayo sebagai salah satu kopi terbaik di dunia, malah Joanna termasuk pengopi berat” jelas Aman Shafa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar