Jual Produk Kopi Khas Gayo .Berbagai Jenis produk, arabika green beans, robusta greenbeans dan Kopi Musang atau Luwak.Kami juga menjual mesin espresso, manual dan matic.
Arabika Coffee Gayo
Minggu, 04 Maret 2012
Aku ke Koetaradja Bawa Kopi
Aku Kembali Ke Koetaradja Bawa Kopi
Kembali ke Koetaradja. Suasana sudah menjelang magrib saat aku tiba di kota ini. Koetaradja, atau Kutereje, begitu penduduk gayo menyebut Banda Aceh. Suasana sedikit dingin karena gerimis memadamkan kesibukan kota “Seribu Warung Kopi ini”.
Lengang. Aku memeriksa dengan teliti setiap bagian gambar kota yang direkam retina mataku. Otomatis memoriku bekerja membandingkan rekaman kota ini saat aku berada disini tahun 1983 hingga 1988 seolah flashback dalam satu kedipan mata. Semuanya masih terekam jelas.
Tak banyak yang berubah. Kecuali bangunan batu pualam yang ditinggikan disepanjang kawasan jalan Simpang Surabaya hingga Hotel Lading, tempatku menginap. Mahasiswa tampak jelas mengisi setiap trotoar kota ini.
Berjilbab,laki dan perempuan , berkenderaan roda dua, roda empat, dengan style modern. Ada burger disepanjang jalan protocol. Duduk santai dengan kursi plastic menikmati suasana yang dibeli. Gaya hidup.
Kota ini menjadi lebih hidup dengan membangun malam menjadi siang, dengan lampu warna-warni. Paska tsunami, Kutereje yang mendapat dana dari MDF (Multi Donor Fund) berkesan lebih millennium.
Armada L300 meluncur pelan hingga berhenti di Hotel Lading. Hotel ini sudah lebih bagus dibanding dulu.Apalagi saat tsunami, hotel ini terkena dampaknya. Meski tak rusak parah. Kini hotel ini sudah oke meski terlihat sepi.
Aku bersama Ari Enrico. Keluarga Ari bergerak dibidang kopi bubuk berbasis Robusta yang dijual di antero Aceh dengan mereka Gunung Berapi di Simpang Pinangan. Setiap bulan, tak kurang dari 20-50 kilo dijual keluar dari Takengon berupa bubuk. Murni robusta tanpa campuran dengan harga perkilogramnya dijual Rp.60 ribu.
Kedatangan kami ke Banda Aceh dalam rangka pelatihan Industri Kecil Menengah (IKM) khusus kopi dari seluruh wilyah Aceh. Selepas magrib, aku dan Ari Enrico menuju pusat kota Banda Aceh, Rek, demikian tempat ini diberi nama, tempat mangkal para penikmat berbagai penganan.
Malam yang dijadikan siang. Suasana Rek di Peunayong masih sepi, segelas kopi kupesan. Rasanya, berbasis robusta dengan berbagai campuran tambahan yang terasa di lidahku yang biasa mengecap arabika. Tapi jadilah, menikmati malam.
Dua hari paska tsunami, aku ingat berada di lokasi yang sama tempat aku duduk minum kopi . Berbeda sekali. Dua hari setelah tsunami, aku masih bisa merekam sebuah kapal besar nelayan parkir didepan Hotel Medan. Persis dijalan hitam. Aku masih menyimpan fotonya.
Akh…keluhku. Atjeh memang penuh dinamika dan pergolakan sepanjang sejarahnya. Dengan warna merah, hitam, peluru, kematian dan kehancuran ekonomi serta asap dimana rakyat Aceh mengambil disemua peran sejarah. Di semua babak torehan sejarah.
Tsunami Aceh merupakan peristiwa luar biasa yang bandingannya hanya ada pada qisasunanbiya, tapi terjadi di Aceh. Sebuah bangunan peradaban dalam satu waktu yang singkat dihancurkan air laut yang menyalami daratan melebihi wilayah toleransi atau takaran normal garis pantai air laut.
Kini tak ada lagi ekspatriat yang berkeliaran di Aceh yang jamak terlihat paska tsunami. Kehadiran pekerja inilah yang telah memicu naiknya berbagai harga di Banda Aceh, khususnya rumah sewa.
----
Pelatihan Teknis Mutu dan Diversifikasi Pengolahan Kopi, demikian thema acara yang digelar Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah di Hotel Lading, berlangsung dari Tanggal 28 s/d 3 Maret 2012.
Dua pembicara, Eti Trisnawati dari Kementerian Perdagangan dan Agus Sudibyo dari Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor. Eti mengungkapkan bahwa 1000 lebih zat kimia terdapat dalam kopi panggang (roasting) . Separuh dari angka tersebut bersifat karsinogenik.
Menurut Eti, jika produk kopi Aceh dijual di pasar local atau dalam negeri sertifikasi halal cukup dikeluarkan oleh MPU Aceh. “Jika 50 persen pasar kopi Aceh dijual ke luar negeri , barulah sertifikasi halal dikeluarkan oleh pusat”, sebut Eti.
Eti juga menyarankan, agar koperasi atau perusahaan kopi di Aceh dilengkapi dengan penasehat hokum agar tidak ditipu oleh pembeli atau pemilik sertifikasi kopi. Sementara itu, Agus Sudibyo, lebih banyak mengungkap berbagai hal, seperti, Meningkatkan mutu kopi untuk pasar domestic dan Internasional.
Tema lainnya yang dijelaskan Agus Sudibyo adalah pengetahuan bahan kopi, dan tehnologi pengolahan kopi serta cara membuat kopi instant. Menurut Agus Sudibyo, kadar air pada kopi untuk keamanannya harus lebih rendah dari 12 persen.
“Kalau kadar air pada kopi lebih tinggi dari 12 persen, bisa berakibat adanya jamur (Aflatoxin) yang disebabkan oleh Aspergilus flavus”, papar Agus Sudibyo. Lebih jauh dijelaskan Agus, konsumsi perkapita kopi di Indonesia saat ini adalah 0.8 kilogram/tahun/
“Konsumsi perkapita bisa dinaikkan dengan cara promosi dan lain-lain. Awalnya Columbia dan Brazil rendah konsumsinya . Tapi dengan promosi bisa naik”, jelas Agus. Ditambahkannya, jika konsumsi perkapita/tahun bisa dinaikkan hingga 1.2 kilogram saja, maka pertumbuhan ekonomi masyarakat di sector kopi akan sangat baik.
Yang paling menarik dari pertemuan pengusaha kopi bubuk khususnya di Aceh tersebut adalah terungkapnya betapa potensial harga tawar dari produk kopi Aceh. Kopi robusta umpamanya, bisa ditemukan di berbagai kabupaten di Aceh.
Seperti Kutacane, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Pidie hingga Kota Fajar di Aceh Selatan. Sementara kopi arabika gayo, merupakan perkebunan kopi rakyat yang terbesar dan terluas di Asia. Dengan pasar di luar negeri dengan kabupaten penghasilnya hanya ada di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues.
“Kopi Specialty gayo, ngak ada bandingannya di dunia”, tegas Agus Sudibyo.
----
Dari pertemuan itu, jelas terlihat bagaimana sebuah produk kopi robusta dari Aceh Tenggara yang diproduksi UD Wanbi milik Hasbi Suhaibi, setiap minggunya mampu dijual sekitar 500 kilogram. Demiian halnya produk kopi robusta milik H. Rusmawan dari Bireuen yang diberi label Indaco (Indonesia Aceh Coffee) dan kopi milik Zulfikar yang diberi label Arasco.
Beberapa pengusaha kopi bubuk lainnya, juga eksis dengan menjual bubuk kopi dengan bahan robusta, seperti Silawati dari Aceh Tenggara, Mariyani S dari Simpang Balik yang memproduksi kopi home industry, Mahmuddin dari Aceh Tenggara dan sejumlah pengusaha lainnya.
Sementara itu, pengusaha Takengon dengan basis kopi arabika gayo, memasuki pasar yang lebih luas bahkan hingga ke luar negeri. Ikrar yang memakai merek kopi olahannya dengan merek Aman Kuba Kopi, telah menembus pasar di Cina dan Malaysia. Serta pasar local di Indonesia , termasuk menjual kopi termahal di dunia, luwak gayo.
Menurut Ikrar, harga kopi olahan tidak terkontrol. “Harga jual ditentukan pribadi-pribadi pengusaha. Tidak ada plapon harga yang sama”, kata Ikrar. Menjawab soal keaslian kopi luwak yang dijual demi menjaga keasliannya , menurut Ikrar bisa dilihat secara visual dan melalui tes uji rasa kopi (cupping test).
“Kopi luwak lebih soft, rasa asam minim dan sangat tidak berpengaruh terhadap kenaikan asam lambung”, rinci Ikrar. Sementara itu, tambah Ikrar lagi, membedakan keasaman kopi arabika dan robusta, bisa dengan mencicipi langsung.
“arabika asamnya di langit-langit mulut. Sementara robusta di dekat leher yang bisa langsung memicu asam lambung”, sebut Ikrar. Ikrar sudah memasuki pasar Internasional dengan perlakuan kopi arabika gayo dari hulu hingga hilir ditangani secara professional karena berstandar Internasional.
Tidak heran jika kemudian kopi arabika gayo dijual jauh lebih mahal. Untuk satu kilogram bubuk arabika specialty saja, harga bisa dipasarkan diatas Rp.200 ribu. Hanya saja, menurut Ikrar, produk kopi arabika masih terkendala beberapa kendala menembus pasar dunia.
Seperti sertifikasi halal hingga SNI. “Saat mengurus persyaratan tersebut, dinas di daerah cenderung tidak paham dan tidak kooperatif. Seharusnya dinas terkait membantu memudahkan pengurusan berbagai syarat agar kopi arabika bisa menembus pasar Internasional. Di daerah, semua diurus sendiri dengan syarat yang terkadang sulit”, kata Ikrar.
Pun begitu, Ikrar dan sejumlah pengusaha Industri Kecil Menengah (IKM) di Takengon yang kini melirik pasar nasional dan Internasional kedepan arabika gayo akan lebih mendaerah menasional karena menjual mutu dan cita rasa kopi.
Seperti yang dijelaskan Konadi Simehate. Konadi optimis, seiring waktu, kopi arabika gayo lebih baik dan banyak dilirik peminum kopi karena dinilai berstandar Internasional. Hanya saja, tambah Konadi, semua usaha kopi arabika dilakukan perseorangan yang banyak menghadapi kendala.
Berbagai kendala itu, menurutnya antara lain keterbatasan sarana pendukung usaha kopi arabika, antara lain, modal , peralatan dan mesin. “Jika saja Pemda mampu membaca peluang kebutuhan pengusaha IKM seperti, mesin espresso, roasting dan packing, kopi arabika gayo akan lebih cepat berkembang”, kata Konadi.
Bahkan, Aceh Tengah dan Bener Meriah, tambahnya akan menjadi surge para peminum kopi dari berbagai belahan dunia yang datang menikmati kopi terbaik ini. Meski masih berskala kecil, Konadi sudah memperlakukan penanganan kopinya dari batang kopi hingga pemerosesan paking berbahan alumunium foil.
Kopi arabika gayo, sebutnya, kini banyak dilirik pembeli dari luar.” Jepang yang kini sedang menjajaki pembelian kopi dari Koperasi Asowgo yang menerapkan kopi organic dan fair trade “, ungkap Konadi.
Konadi menilai posisi pelaku bisnis kopi berskala IKM masih lemah dan ditelantarkan. Untuk itu Konadi menginisiasi terbentuk komunitas pelaku usaha arabika agar bisa menaikkan posisi tawar yang lebih baik.
“Begitu banyak kesempatan pameran dan promosi kopi di luar daerah yang tidak bisa kami ikuti karena keterbatasan dana. Seharusnya disinilah kopi gayo diperkenalkan sehingga dikenal luas”, papar Konadi.
---
Agus Sudibyo kepada peserta pelatihan IKM selama satu hari penuh juga mengajarkan bagaimana membuat kopi instant. Caranya, kopi dicampur saripati berbagai bahan tambahan, seperti jahe, ditambahkan gula . Lalu dibuat dengan pemanasan yang bersuhu dibawah 50 derjat celcius selama 5 jam diatas wajan. Jadi.
Kopi instant ini menjadi kopi instant yang siap saji dalam bentuk tepung. Paduan kopi, gula dan jahe. “Kopi masuk kebijakan nasional bersama kakao”, .
Koetardja kutinggalkan setelah selama seharian menelusuri jejak-jejak tsunami yang nyaris tak terlihat lagi kecuali bangunan modern dan warga Aceh yang tidak terkena tsunami yang coba menatap masa depan dengan berbagai kegiatan dagang dan pertanian serta jasa.
Bendera partai local tampak dominan menghiasi jalanan dan kantor partai yang berwarna merah menyala. Aceh memang sangat dinamis dalam pergolakan. Bukan saja pergolakan senjata , tapi juga politik.
Betapa tidak, paska gempa dan tsunami, Parlok hadir sebagai syarat damai. Sebuah terobosan berani yang kemudian ditiru banyak daerah di Indonesia. Spekulasi politik tensi tinggi di Aceh memang berhawa panas. Apalagi salakan senjata api yang menggantikan fungsi Izrail, masih menjadi warna politik Aceh dengan style tersendiri yang pelakunya misteri.
Aroma dari kopi berbahan arabika, bisa dinikmati paling tidak di tiga tempat atau warung kopi di Koetaradja. Duduk sambil membicarakan banyak hal, dari politik kopi hingga politik Pilkada Aceh dibahas dari tempat duduk di tempat terbuka seribu warung kupi Aceh.
Jika tak cukup uang untuk minum kopi, jangan kuatir. Karena kopi masih tetap bisa dinikmati dengan “Kupi Pancung”.
---
Aku pulang dari Koetaradja menuju Kabupaten kopi ditengah Aceh yang merupakan dataran tinggi . Sayang memang, kopi arabika gayo yang dikenal luas di antero dunia, di ibukota Provinsi masih belum dikenal luas.
Sehingga sulit mencari warung kopi berbasis arabika gayo. Karena semua kopi yang tersedia adalah robusta dengan blendingang bahan tambahan non kopi dengan cirri dan cita rasa yang khas. Selera memang berbeda.
Tapi kehadiran kopi arabika di Koetaradja setidaknya menjadi alternative. Peluang begitu terbuka lebar . Seperti Belanda saat menjajah dahulu yang mengultimatum masyarakat petani kopi hanya menanam kopi robusta. Tapi Belanda mengeksport kopi arabika dari tanah jajahannya, Tanoh Gayo.
Kini Sumber daya kopi arabika gayo yang merupakan terluas dan terbesar produksinya di Asia belum ditangani secara professional. Akhirnya, dibagian hilir jalur kopi gayo dari petani ke pedagang dilakoni orang lain, termasuk asing.
Karena mereka begitu paham kopi gayo yang kaya rasa dan aroma. Dan merupakan komoditi nomor dua yang diperdagangkan secara luas setelah minyak di dunia. Ketika pemangku kepentingan dan kebijakan tidak memiliki visi dan misi yang jelas tentang kopi gayo, masuklah asing mengambil kuntungan terbesar dari kopi.
Pemda hanya mengambil retribusi dari kopi yang dikirim ke luar negeri. Nilai retribusi ini mencapai puluhan milyar bahkan dua puluhan milyar. Kopi masih belum dianggap seksi, entah karena kebodohan atau karena lebih menyukai proyek –proyek yang bisa langsung mendapatkan feenya dari pada repot mengurus kopi rakyat.
Rakyat petani kopi bagi penguasa di Aceh hanyalah alat politik dan propaganda sesaat yang suaranya diminta dengan menjual diri saat suksesi. Tapi kemudian dibiarkan menepi di kaki-kaki bukit bersimbah tanah dan dibakar matahari.
Tak ada lagi yang peduli. Kopi adalah kekuatan ekonomi masa depan Aceh. Meski hanya petani kopi saja yang merasa memiliki kopi. Tidak juga milik Kabupaten atau bahkan milik provinsi. Dan aku meminum segelas espresso dengan takaran 30 ml tanpa gula sekali teguk saat menuliskan ini. Dan adrenalinkupun naik…..(Win Ruhdi Bathin)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar