Arabika Coffee Gayo

Arabika Coffee Gayo
Barista Gayo

Minggu, 04 Maret 2012

Aku Meroasting...

Aku Meroasting dengan Produk Buatan Indonesia OPINI | 26 February 2012 | 16:09 Dibaca: 70 Komentar: 8 1 dari 1 Kompasianer menilai inspiratif Aku Meroasting dengan Memakai Produk Buatan Indonesia 1330244103362965274 Mesin Roasting Setahun bergelut dengan kopi, aku semakin suka dengannya. Bermula dari batang kopi berakhir di mesin espresso menjadi kopi olahan. Berwarna coklat kekuningan dengan krema dibagian atasnya. Kopi tak lagi hitam. Bermula dari hilir, aku coba merangkak naik ke hulu. Bermula dari pelayan atau penyedia minuman kopi bagi peminum kopi (Barista) yang kupelajari di tempat kursus Frangky Angkawijaya di Jakarta. Aku mulai belajar menjadi Roaster. Keinginan terus merangsek masuk ke dunia kopi, sangat beralasan bagiku. Semua lahan penduduk ditempatku dilahirkan, gayo, diisi dengan batang kopi. Kawasan gayo adalah daerah perkebunan Belanda saat menjajah dahulu, seratusan tahun lebih silam. Belanda , kala itu, setelah tahun 1904, memetakan berbagai lokasi di Takengon dan Redlong menjadi beberapa blok lahan kopi, Blok A di kawasan Belang Gele Kecamatan Pegasing, Blok B di kawasan Bukit hingga Bergendal di Bener Meriah serta Blok C di kawasan Blok C, seputaran Wih Pesam. Bahkan Belanda sudah mengirim kopi gayo berjenis arabika ke Erofa. Sebagai mata perdagangan colonial bersama getah pinus dan teh. Memasuki dunia perkopian bagiku boleh disebut secara tidak sengaja. Tapi memilih dunia kopi sepenuhnya berdasarkan alasan yang realistic dan ilmiah setelah melakukan berbagai kajian dan penelusuran. Termasuk berselanjar di dunia maya bersama “Awan” (Mbah) Google. Jenuh di dunia jurnalistik yang selama ini menjadi salah satu sumber ekonomiku, selain istriku yang berjualan kios dan menitipkan berbagai penganan membesar empat anakku, aku memutuskan memulai usaha kopi. Apalagi menadi jurnalis di Aceh yang masih jauh dari sejahtera dan terkadang digaji dibawah UMR dengan resiko nyawa. Ditengah desingan peluru dan masih adanya OTK. Menjadi jurnalis demikian riskan. Tapi alas an utamanya bukan resiko. Karena sebelumnya saat konplik, Darurat militer, sipil hingga gempa dan tsunami Aceh, semuanya terlewati dengan gundah gulana. Alasan utama adalah karena jurnalis tidak lagi seksi. Kenapa, salary dari jurnalis tidak mampu menutupi kebutuhan ekonomi keluargaku. Aku harus banting stir. Harus kuakui, berkecimpung di dunia kopi, memerlukan modal agak besar. Untuk mesin espresso saja yang satu grup, bernilai belasan juta. Setelah sepakat dengan istri, aku mulai menjual asset yang ada. Setelah dijual, nilainya dibawah Rp.25 juta saja. Tapi Alhamdulillah. Satu langkah sudah bisa kugerakkan. Pasti, aku menuju Jakarta, Esperto Barista Course, lantai dua Senayan Trade Center (STC). Apalagi aku sudah menghubungi Imee Hartanto, dari EBC memastikan kursus. Satu tahapan terlewati, From Beans To Cup Course, Beginner Level. Setelah kursus , aku tentu tak ingin pulang ke pedalaman Aceh sia-sia. Aku harus membawa mesin espresso, apapun bentuknya. Karena bila tidak, ilmu menjadi barista tentu tidak tepat guna atau aku harus bekerja dahulu dengan orang lain. Mesin espresso yang kulihat sebelumnya di internet, terbilang mahal. Apalagi yang dua grup dan seterusnya. Aku mulai mencari-cari mesin espresso yang terjangkau keuanganku. Satu grup adalah pilihan terbaik.1330244837180873454 Lewat sebuah situs yang menjual mesin espresso dan asesoris mesin espresso, aku bersama seorang abangku yang bermukim di Jakarta mendatangi komplek perumahan koperasi di Jakarta. Bertemu dengan Hendra. Pak Hendra, pengusaha peralatan kopi mesin ini, berbisnis hanya dengan menggunakan jaringan internet. Pesanananya dari seluruh Indonesia. Dengan sistim kepercayaan dan transfer uang lewat Bank setelah terjadi komunikasi dan deal –deal. Sebuah mesin espresso buatan Italia, BFC Junior Plus serta sebuah mesin espresso otomatis bekas, kuboyong dari Hendra. Dan akupun pulang ke gayo. Dengan sejuta harapan. … Karena memang memiliki modal terbatas, aku tak punya tempat untuk membuka warung kopi sendiri di Takengon. Konon lagi harus membuat cafĂ©. Aku akhirnya memilih bergabung dengan abang iparku yang telah memiliki sebuah Kantin yang berada di tempat strategis. Mulailah aku menjadi seorang pelayan khusus bagi peminum kopi. Dua mesin espresso yang kumiliki, mulai menjadi mesin uang. Penghasilanku dari bekerja di kantin ini lebih baik daripada menjadi jurnalis. Alhamdulillah. Hari berganti bulan, pengalamanku bertambah menggunakan dua mesin espresso otomatis dan manual. Jika bule yang minum kopi atau peminum kopi fanatic, mereka lebih suka kopi dari mesin espresso manual. Banyak kisah menarik dan lucu dari mereka yang minum kopi yang dihasilkan mesin espresso. Apalagi penduduk gayo biasa minum kopi dengan gula yang banyak. Sehingga kopi yang diminum benar-benar terasa manis. Apalagi kopi yang diminum warga gayo berbahan kopi geste (Robusta). Pernah suatu kali, seorangg bapak memesan empat gelas kopi. Kebetulan didepan kantin ada bengkel mobil diseberang jalan Takengon –Bireuen. Si bapak pemesan kopi ini, sedang menyerpis pekerja bengkel dengan minuman kopi ini. Saat membayar si bapak kaget, “Lho kopinya kok mahal amat…?”, katanya. Karena kopi yang biasa dia minum di warung seantero Aceh rata-rata dibandrol Rp.3000,-, sementara kopi yang saya jual Rp.7000 pergelas untuk Black Coffee. Belum lagi kisah lainnya, “Ini kopi apa kok pahit banget?”, kata seorang tamuku. Si tamu ini masih nyeletuk saat membayar kopi, “udah pahit mahal lagi….”, katanya sambil berlalu.. Ketergantungan pada pemilik mesin roasting yang menyediakan bahan kopi yang sudah disangrai atau bahasa gayonya disele (Roasted beans) membuat beberapa kali kantin bermasalah. Sebabnya, roasted bean tidak tersedia saat dibutuhkan. Abang Iparku kemudian menyiasati hal ini dengan membeli sebuah mesin roasting buatan Korea dari sebuah perusahaan di Jakarta dengan kapasitas 400 gram. Lumayan. Namun suatu kali, akibat listrik, mesin ini tidak bisa dioperasikan karena korslet. Terpaksa mesin ini dikirim lagi ke Jakarta karena masih memiliki garansi. Repot memang. Kegiatanku sebagai pelayan terus berlangsung. Seiring waktu, aku tentu saja tidak pernah puas. Sebagai manusia normal yang ingin lebih maju dan bisa seperti orang lain yang sukses berbisnis kopi, aku ingin memiliki mesin roasting sendiri. Untuk membuat kopi roasting dan lebih jauh lagi menjual bubuk kopi dari arabika gayo yang sudah terkenal. Keterkenalan kopi gayo bukan dibuat-buat. Murni karena kualitas yang baik. Seperti spesipikasi rasa dan aroma. Rasa dan aroma arabika gayo karena memang kopi ini tumbuh pada ketinggian dan suhu serta tanah yang optimal. Dataran Tinggi Gayo. Berada pada daerah khatulistiwa. Apalagi kebanyakan kopi gayo memang diolah secara organic dan special. Sehingga memenuhi syarat-syarat kopi specialty. Hampir semua koperasi atau pengusaha kopi gayo memiliki sertifikat kopi dari berbagai badan dan organisasi dunia, khusus untuk kopi. Seperti sertipikat organic, fair trade, rain forest serta ser tipikat lainnya yang diakui dunia. Paling tidak ada lima sertifikat untuk kopi gayo ini. Anehnya, kopi arabika gayo tidak terkenal di provinsi Aceh sendiri. Tapi lebih punya nama di pasar luar negeri. Apalagi kebanyakan kopi arabika gayo memang dieksport. Kopi arabika gayo juga dieksport oleh pengusaha di Medan dengan nama tidak lagi memakai nama gayo. 1330245494388658020 arabika gayo roasted bean Aku mulai mengekplore internet guna mencari mesin roasting yang mampu kubeli. Meski uang cash tidak ada.Saat melihat-lihat internet tersebutlah aku melihat produk mesin roasting buatan Wiliam Edison. “Wah ini yang kucari”, gumanku dalam hati. Wiliam Edison menampilkan mesin roastingnya di Facebook dan youtube masih kasar yang ditandai dengan masih terlihatnya sambungan yang dilas. Pun begitu, melihat cara kerjanya, mesin buatan Wiliam Edison menarik minatku. Selain soal harga yang terjangkau juga hasil yang ditunjukkan dalam demo sesaat itu. Aku langsung suka. Aku kemudian mencoba berkomunikasi dengan Wiliam. Lewat fb dan kemudian kudapat nomor hpnya. Kamipun berkomunikasi . Karena uang tak ada membeli mesin Wiliam yang sudah kutaksir itu, aku mencari-cari pinjaman. Harapanku sangat besar pada mesin buatan Wiliam yang kala itu dikasi merek W600, Mini Roaster. Karena membeli mesin buatan luar negeri jelas tak sanggup. Cuma mimpi. Untuk ukuran setengah kiloan saja, sebuah mesin buatan Korea dibandrol Rp. 30 juta keatas. Apalagi buatan Erofa atau lainnya. Untuk mesin buatan Turki saja, ukuran 5 kg sekali naik (roasting) saja harganya tak kurang dari Rp.150 juta. Wah.. Pinjaman kudapatkan dari seorang relasi. Nilainya Rp.10 juta dengan masa pengembalian 1 tahun. Jadi. Aku langsung memesan mesin W600 Wiliam Edison. Wiliam menyiapkan pesananku kurang dari satu bulan. Pesanan dibuat, setelah mentransfer uang setengahnya. Aku bangga pada diriku sendiri karena sudah mampu membeli mesin roasting yang kuimpikan. Padahal dari segi penghasilan, aku belum mampu membelinya. Kadung basah, aku sudah sangat menyukai dunia kopi ini karena aku benar-benar enjoy mengerjakan semua tahapannya. Meski aku kadang jenuh juga menjadi pelayan karena seharian berada di tempat yang sama. Namun semuanya harus kutahan dan kukalahkan. Adanya mesin roasting ini nantinya, tentu membuat waktu kerjaku bertambah. Aku akan mengerjakan seseorang membantuku di Kantin atau di roasting sekaligus transfer ilmu. Namun aku belum menemukan orang yang kupercaya. Seorang tetanggaku yang menganggur dan tamat SMA pernah kuajak bekerja denganku. Dia menolak. Aku yakin dia malu atau gengsi bekerja sebagai pelayan. 13302460412047144753 Krema kopi yang dihasilkan mesin roasting Wiliam Demikian juga seorang family jauh yang kerja serabutan pernah kuajak bekerja bersamaku. Awalnya dia mau, tapi setelah mengiyakannya, dia tak pernah datang. Seorang family lainnya mengatakan lebih parah, saat kuajak bekerja. “Selo ya mujule kupi ken jamu. Kemeldi ”, katanya. Atau dalam bahasa Indonesia, kira-kira artinya, “akh ngak mau mengantar kopi untuk tamu, malu”, …Kesuburan lahan dataran tinggi gayo ini memang membuat banyak warga gayo malas. Kesuburan lahan di gayo yang disebut juga, sekeping tanah surge yang terlempar kedunia, ditambah-tambah dengan sejuknya udara. Membuat pergerakan warganya sedikit lambat. Apalagi mungkin rasa malu atau gengsi yang besar. Di Gayo, setiap jengkal tanah memang menjanjikan hidup. Tanahnya adalah surga. Tak ada lahan kosong. Kalau tidak kopi ya pasti tanaman berjenis sayuran. Sementara untuk tanah gersang, sudah dipenuhi pinus mercusi dan hutan tropis. Pinus mercusi di gayo, dalam sebuah penelitian HPH beberapa waktu lalu menyebutkan merupakan kualitas terbaik di dunia. Itulah sebabnya, Belanda dahulu sudah menjadikan pinus sebagai tanaman esksport dengan mengambil getahnya (terpentin). Meski kini jutaan hektar pinus yang tumbuh subur belum diolah Pemda setempat dan dibiarkan begitu saja. Bahkan setiap tahun dimusim kemarau, pinus dibiarkan terbakar. Tak ada peminta-minta di gayo. Jika penduduk tak punya kerjaan. Lahan perkebunan kopi terbuka lebar untuk dikerjakan. Sambil menunggu kopi berbuah, biasanya warga menanami lahannya dengan berbagai jenis hortikultura. Umumnya cabe dan tomat.13302464181599422972 Kalupun ada peminta-minta, biasanya berasal dari luar gayo. Umumnya dari Pesisir Aceh. —— Kurang dari satu bulan, kiriman Wiliam Edison tiba. Memakai sebuah armada angkutan local, hamper tiga minggu dari Jakarta. Dikemas dalam paking dari kayu. Hanya dengan menggunakan Honda, sebutan kami untuk kenderaan roda dua. Walau mereknya bisa jadi Yamaha, Suzuki dll. Mesin ini kubawa dari stasiun bus di Kota Takengon ke rumahku yang dipinggiran Kota. Aku tak langsung membuka paking kayu berisi mesin ini. Setelah mengantar pulang, aku harus bekerja di Kantin. Barulah malam harinya mesin Wiliam kubuka. Keping demi keeping kubuka. Wiliam melepas beberapa bagian asesoris W600. Begitu terbuka, aku benar-benar senang dan bangga akan karya Wiliam. Penampilan pertama begitu mempesona. Aku langsung sms Wiliam malam itu yang berisi kekagumanku akan hasil karyanya. Menurutku, hasil karya Wiliam tak kalah dengan produk luar negeri. Mulai dari design hingga hasil akhirnya. Semua bagian mesin ini mendapat perhatian yang teliti dan sentuhan perasaan yang berseni. 1330246575587295103 Arabika Gayo Buah Muda Wiliam membalas sms pujianku yang bunyinya masih kusimpan di hpku. “Terima kasih pak win, Kata2 bpk membuat kita tambah semangat utk lebih baik lagi. Pak Win sudah coba roasting belom? Apa ada masalah?”, begitu tulis Wiliam. Menjawab rasa penasaranku akan mesin buatan Wiliam yang mungkin diadopsi dari mesin lain, Wiliam menjelaskan kepadaku lewat smsnya, “Sy melihat dr berbagai sumber di internet saja, jd tidak sepesial mengadopsi dr roaster manapun, dan ada beberapa fitur yang bisa dibilang roaster yg lain tidak punya. Utk selanjutnya akan sy kembangkan roasternya lebih prof”. Setelah terpesona beberapa saat, aku merasa harga Rp. 7 juta untuk sebuah mesin serupa ini sangat murah sehingga bisa dibeli siapa saja. Wiliam berhasil mematahkan “kesombongan’ harga sebuah mesin roasting. Aku teringat mobil Esemka yang jauh lebih murah dibandingkan mobil luar. Meski bentuk dan gayanya terbilang wah juga. Wiliam bagi saya telah berhasil membuat mimpi saya memilki mesin roaster menjadi nyata. Aku mulai bersentuhan langsung dengan sebuah roaster. Sebagai tempat kopi terbesar di Asia, aku menjadi bebas bereksperimen meroasting kopi. Kopi dengan mudah kudapatkan dari sekelilingku karena merupakan tanaman utama yang ditanam semua tetanggaku, termasuk aku. Rata-rata aku meroasting selama satu jam bahkan lebih, untuk satu kali roasting. Hasilnya, tak kalah dengan roaster manapun. Hanya saja waktu roasting yang demikian lama. Aku sempat berpikir negative terhadap Wiliam. Kok ngak sama dengan spesifikasi yang dia sebut dan cantumkan. Beberapa hasil roastinganku memakai W600, sudah coba diminta beberapa kawan. Baik bubuk atau roastingan. Apalagi aku gencar mempromosikannya di akun fbku. Masalah terlalu lamanya meroasting terjawab, setelah hal ini kutanyakan pada Wiliam yang selalu menunggu dan meminta tanggapanku terhadap hasil karyanya ini. Ternyata, regulator yang kupakai tidaksesuai kebutuhan mesin yang memerlukan tekanan gas sebagai sumber perapiannya dengan tekanan yang lebih tinggi atau besar. Regulator yang kupakai masih standar sehingga gas tidak bisa dinaikkan besar kecilnya. Setelah diberitahu Wiliam, aku langsung mengganti regulator. Hasilnya, luar biasa. Waktu roasting menjadi singkat, kurang dari 20 menit. Tabung mesin roaster dipanaskan dulu sekitar 15 menit. Suhu naik hingga 200 derajat celcius. Barulah kopi hijau atau green bean dimasukkan. Setelah biji kopi masuk, suhu turun hingga ke level 150 derajat celcius dan perlahan naik hingga kembali ke suhu awal dan kopi sudah matang. Hanya saja Wiliam belum melengkapi mesin ini dengan agitator. Sehingga setelah kopi matang di crack kedua, kopi dengan cepat dikeluarkan mengingat tingginya suhu pada kopi. Aku menempatkan kopi yang telah matang ini pada tampan atau alat penampi kemudian menggoyang-goyangkannya agar lebih cepat dingin. Dengan regulator bertekanan tinggi ini, kita dengan jelas bisa mendengar crack kopi dalam drum sehingga sangat mengasyikkan. Apalagi aroma kopi matang begitu terasa mengisi seluruh ruangan rumah kecilku yang terbuat dari bahan kayu. “Baunya terasa hingga ke jalan Ama”, kata Shafa, anak pertamaku. Jarak rumahku ke jalan sekitar lima meter. Tapi bau aroma kopi yang masak menebar jauh. Hasil roasting pertamaku dengan gas bertekanan tinggi ini sedikit gosong. Tapi saat kopi kugigit, terasa sangat garing dan mudah hancur. Sebagai pemula di roasting kopi, kematangan kopi kuukur dengan tingkat kegaringannya. Kopi-kopi yang sudah kuroasting ini dengan mudah bisa langsung kucoba dengan mesin espresso manual BFC Junior Plus. Lengkaplah sudah. Banyaknya varietas kopi arabika di Takengon membuat meroasting dan mencobanya menjadi sebuah sensasi tersendiri yang mengasyikkan sehingga waktu tak terasa demikian cepat berlalu. Selalu saja ada kopi-kopi yang dimiliki kawan-kawan petani kopi di gayo yang minta diroasting dan dicoba bersama. Meroasting, sungguh sebuah keindahan dan seni. Bukan saja tentang sebuah pekerjaan. Tapi juga seni yang menghadirkan rasa, aroma, ketelitian dan waktu-waktu yang semuanya dicatat, diingat karena bisa diwariskan.Indah sekali. Semua produk kopi khusus dan langka, bisa dicoba di Takengon karena dihasilkan dari kebun-kebun kopi petani. Seperti long beans yang biasanya didapat dari kopi tertentu seperti varietas Timtim dan Ramong. Ada kopi Tungel (lanang) yang mudah didadaptdalam jumlah banyak pada varitas Ateng super dan elephant beans serta jenis luwak yang begitu mudah didapat karena kebanyakan kebun kopi rakyat gayo selalu berbatasan dengan hutan. Ada pengalaman menarik menggunakan kopi roaster buatan Wiliam Edison, saat sedang meroasting, listrik padam. Hal itu kerap terjadi. Motor penggerak drum yang berisi kopi tentu saja mati. Sementara gas terus melakukan pengapian dimana drum sudah berhenti. Wiliam sudah mempersiapkan tuas manual yang bisa menggerakkan drum penggorengan menggunakan tangan. Pengalaman ini benar-benar berkesan karena ternyata hasilnya lebih baik dibandingkan menggunakan motor yang digerakkan listrik.. Aku berterima kasih pada Wiliam atas dedikasinya menciptakan mesin mini roaster W600 ini. Wiliam telah lebih cepat mewujudkan mimpiku memiliki mesin roasting, tiga tau empat tahun lebih cepat. Karena aku ingin lebih cepat sukses menjadi orang yang berhasil menjual kopi olahan modern. Seperti halnya para pengusaha kopi lainnya di Kampungku yang memang bermodal lebih besar. Karena mesin roasting mereka didatangkan dari luar negeri dengan harga puluhan hingga ratusan juta. Paling tidak aku bisa menstabilkan kebutuhan ekonomi keluargaku dari kopi. Interaksi dengan dunia kopi yang kulakoni setahun terakhir, membuat pengetahuanku tentang kopi komersial juga menyebar kepada kawan-kawan petani kopi serta beberapa mahasiswa. Kami mulai mengolah kopi dari hulu hingga hilir sesuai spesipikasi atau standar kopi dunia. Seperti hanya memetik buah kopi yang merah saja , proses permentasi yang kurang dari 12 jam, penjemuran diatas para-para hingga menggonseng kopi dengan mesin modern dan terakhir kemasan berbahan alumunium foil agar kopi lebih tahan lama. Keterbukaan, sharing, diskusi , tehnologi terkini tentang kopi menjadi bualan kami. Hal ini penting agar petani kopi di gayo memiliki pandangan luas dan terbuka tentang kopi modern yang merupakan komoditi terbesar nomor dua diperdagangkan di dunia setelah minyak bumi. Beberapa pengusaha kopi olahan yang ada tampaknya lebih tertutup dan tidak terbuka atas pengetahuan mereka dibidang kopi modern. Sehingga transfer pengetahuan modern tentang bisnis kopi menjadi terbatas dikalangan mereka sendiri dan ekslusif. 13302467001079991050 Joanna nikmati kopi gayo Padahal 80 persen masyarakat gayo menggantungkan hidupnya pada kopi. Maka masuklah pengusaha dari luar negeri yang langsung menginvestasikan uangnya dalam jumlah banyak dan mengeksport kopi arabika gayo ke antero dunia. Keadaan ini diperparah tidak jeli dan tidak pinternya Pemda di dua kabupaten pegunungan Aceh , Takengon dan Redlong menyiasati pasar kopi yang ditanam rakyat. SDA kopi yang melimpah dan terbesar di Asia untuk kopi arabika, lemah dibagian hilirnya. Tidak ada regulasi khusus untuk kopi rakyat. Berbeda dengan Vietnam yang menerapkan subsidi bagi petani kopi. Di Takengon dan Bener Meriah tidak ada. Bahkan produk kopi rakyat dibiarkan begitu saja tanpa campur tangan pemda. Pemda di dua kabupaten ini hanya mengambil retribusi dari kopi petani yang dibawa eksport.Tidak lebih. Masuklah perusahaan asing yang yang mengambil bagian disini. Apalagi dengan menjual kata “Kopi Organik”, atau “Fair Trad” maka fee akan mengalir pada perusahaan ini . Padahal memang petani kopi gayo sejak dahulu memang berpola organic mengingat kesuburan tanah disini. fee kopi organic yang tidak sampai ke petani menjadi kisah tersendiri yang ditelantarkan dan dibiarkan begitu saja tanpa terurus. Idealnya, Pemkab masuk dan bermain di kopi arabika gayo. Umpamanya dengan membuat BUMD sebagai penyangga bagi petani kopi. Bisa jadi BUMD yang dibuat pemda setempat tidak hanya satu, tapi banyak BUMD yang berorientasi pasar eksport. Tapi sayangnya hal ini tidak pernah terjadi. BUMD yang ada megap-megap karena tidak dikucurkan dana. Legislatif, setali tiga uang dengan eksekutif. Nuansa politik lebih dominan dari pada mengurusi ekonomi rakyat langsung. Dana aspirasi 30 anggota dewan yang bersumber dari APBK dipakai untuk fisik Karena lebih menguntungkan oknum anggota dewan. Padahal dana aspirasi payung hukumnya tidak jelas. Namun terjadi. Bahkan satu anggota DPRK Aceh Tengah tahun ini mendapat kucuran Rp. 1 milyar/orang. Ruar biasa. Konon, katanya, dewan hanya menunjuk proyek dimaksud, segala keperluan administrasi diurus Dinas PU dan atau Bappeda?. Anggota dewan dan eksekutif di Kabupaten kopi ini, tidak cukup jeli dan cerdas menciptakan visi dan misi daerah kemudian mengawalnya. Padahal Belanda, seratusan tahun lebih yang lalu, sudah menjadikan kopi tanaman eksport dan memetakan kopi sesuai iklim dan tanahnya dengan membuat blok-blok kopi. 13302468141685515714Sampai kapanpun, jika pemda di dua kabupaten kopi di Aceh ini, Takengen dan Redlong tidak mengembalikan visi dan misinya pada kopi, dapat dipastikan orang lain yang mengambil untung dengan orientasi pasar eksp ort. Karena sudah terbukti, selama berdirinya dua kabupaten, Aceh Tengah dan Bener Meriah, sector kopi rakyat paling banyak menyumbang PAD. Sayang seribu kali sayang atas kebodohan berjamaah ini. Politik dan kekuasaan lebih utama disini. Sehingga semua hal, termasuk kopi, tidak seksi secara politik dan tidak menguntungkan dijual. Sehingga hamper semua program para kandidat adalah kabur, tidak jelas, tidak menyentuh langsung ekonomi rakyat petani kopi dan cet langit. Tinggi angan-angan dan pembual. Dalam bahasa agama disebut bohong berjamaah, alias munafikun. Melihat keadaan ini , maka legislative dan eksekutif yang sedang kasmaran politik dengan nafsu syahwat politik sudah berada di ubun-ubun membayangkan telanjangnya kekuasaan, hormat dan harta serta gengsi menjadi pemimpin, maka kekuatan rakyatlah yang tersisa. Masyarakat yang sadar akan potensi dan peduli pada rendahnya kemampuan ekonomi dan keahlian bertani kopi masyarakat gayo, harus bergerak secara sendiri dan kelompok secara nyata memberi bukti. Caranya , dengan mulai menunjukkan cara panen kopi yang hanya mengambil buah merah saja hingga ke proses pengemasan menggunakan penutup kedap udara (berbahan alumunium foil) dimana harga kopi yang diolah dengan cara ini jauh lebih mahal. 13302469871200425823 Bubuk Arabika Menggunakan Mesin Roasting Wiliam Dengan berdiskusi dan tidak menggurui agar petani merasa tidak direndahkan meski hasil produksi rata-rata perhektar pertahun hanya 700-800 kg. serta sejumah cara lain, termasuk memberi penyadaran pada dewan arti dan pentingnya sector kopi bagi masyarakat. Sehingga mau mengalokasikan APBK pada sector perkebunan kopi yang selama jauh lebih rendah dibandingkan pembangunan fisik lainnya. Tidak ada yang akan sia-sia. Berbuat sekecil apapun untuk menaikkan produksi kopi rakyat akan sangat berarti di masa depan. Diperlukan konsistensi dan cara-cara yang cepat lebih memajukan sector perkopian di gayo. Masyarakat gayo dan putra daerah yang peduli dan kini memasuki dunia kopi komersial sudah mulai memproklamirkan dua kabupaten di tengah Aceh ini sebagai “Kabupaten Kopi Gayo’ dan sebutan lain seperti menjadi daerah “Surga Peminum Kopi” serta sejumlah ikon lainnya yang berkaitan dengan kopi. Bahkan kalangan fotographer di gayo sudah menggagas pameran foto kopi. Hasil jefretan fotographer gayo dengan obyek kopi gayo dari hulu hingga hilirr akan dipamerkan sebagai bagian memperkenalkan kopi arabika gayo di tingkat regional , nasional dan dunia. 13302472441603650195 Gayobika Coffee, brandku memakai mesin Wiliam Edison Siapa lagi kalau bukan kita. Kapan lagi kalau bukan sekarang……..Wallahu’alam

Aku ke Koetaradja Bawa Kopi

Aku Kembali Ke Koetaradja Bawa Kopi
Kembali ke Koetaradja. Suasana sudah menjelang magrib saat aku tiba di kota ini. Koetaradja, atau Kutereje, begitu penduduk gayo menyebut Banda Aceh. Suasana sedikit dingin karena gerimis memadamkan kesibukan kota “Seribu Warung Kopi ini”. Lengang. Aku memeriksa dengan teliti setiap bagian gambar kota yang direkam retina mataku. Otomatis memoriku bekerja membandingkan rekaman kota ini saat aku berada disini tahun 1983 hingga 1988 seolah flashback dalam satu kedipan mata. Semuanya masih terekam jelas. Tak banyak yang berubah. Kecuali bangunan batu pualam yang ditinggikan disepanjang kawasan jalan Simpang Surabaya hingga Hotel Lading, tempatku menginap. Mahasiswa tampak jelas mengisi setiap trotoar kota ini. Berjilbab,laki dan perempuan , berkenderaan roda dua, roda empat, dengan style modern. Ada burger disepanjang jalan protocol. Duduk santai dengan kursi plastic menikmati suasana yang dibeli. Gaya hidup. Kota ini menjadi lebih hidup dengan membangun malam menjadi siang, dengan lampu warna-warni. Paska tsunami, Kutereje yang mendapat dana dari MDF (Multi Donor Fund) berkesan lebih millennium. Armada L300 meluncur pelan hingga berhenti di Hotel Lading. Hotel ini sudah lebih bagus dibanding dulu.Apalagi saat tsunami, hotel ini terkena dampaknya. Meski tak rusak parah. Kini hotel ini sudah oke meski terlihat sepi.
Aku bersama Ari Enrico. Keluarga Ari bergerak dibidang kopi bubuk berbasis Robusta yang dijual di antero Aceh dengan mereka Gunung Berapi di Simpang Pinangan. Setiap bulan, tak kurang dari 20-50 kilo dijual keluar dari Takengon berupa bubuk. Murni robusta tanpa campuran dengan harga perkilogramnya dijual Rp.60 ribu. Kedatangan kami ke Banda Aceh dalam rangka pelatihan Industri Kecil Menengah (IKM) khusus kopi dari seluruh wilyah Aceh. Selepas magrib, aku dan Ari Enrico menuju pusat kota Banda Aceh, Rek, demikian tempat ini diberi nama, tempat mangkal para penikmat berbagai penganan. Malam yang dijadikan siang. Suasana Rek di Peunayong masih sepi, segelas kopi kupesan. Rasanya, berbasis robusta dengan berbagai campuran tambahan yang terasa di lidahku yang biasa mengecap arabika. Tapi jadilah, menikmati malam. Dua hari paska tsunami, aku ingat berada di lokasi yang sama tempat aku duduk minum kopi . Berbeda sekali. Dua hari setelah tsunami, aku masih bisa merekam sebuah kapal besar nelayan parkir didepan Hotel Medan. Persis dijalan hitam. Aku masih menyimpan fotonya. Akh…keluhku. Atjeh memang penuh dinamika dan pergolakan sepanjang sejarahnya. Dengan warna merah, hitam, peluru, kematian dan kehancuran ekonomi serta asap dimana rakyat Aceh mengambil disemua peran sejarah. Di semua babak torehan sejarah. Tsunami Aceh merupakan peristiwa luar biasa yang bandingannya hanya ada pada qisasunanbiya, tapi terjadi di Aceh. Sebuah bangunan peradaban dalam satu waktu yang singkat dihancurkan air laut yang menyalami daratan melebihi wilayah toleransi atau takaran normal garis pantai air laut. Kini tak ada lagi ekspatriat yang berkeliaran di Aceh yang jamak terlihat paska tsunami. Kehadiran pekerja inilah yang telah memicu naiknya berbagai harga di Banda Aceh, khususnya rumah sewa.
---- Pelatihan Teknis Mutu dan Diversifikasi Pengolahan Kopi, demikian thema acara yang digelar Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah di Hotel Lading, berlangsung dari Tanggal 28 s/d 3 Maret 2012. Dua pembicara, Eti Trisnawati dari Kementerian Perdagangan dan Agus Sudibyo dari Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor. Eti mengungkapkan bahwa 1000 lebih zat kimia terdapat dalam kopi panggang (roasting) . Separuh dari angka tersebut bersifat karsinogenik. Menurut Eti, jika produk kopi Aceh dijual di pasar local atau dalam negeri sertifikasi halal cukup dikeluarkan oleh MPU Aceh. “Jika 50 persen pasar kopi Aceh dijual ke luar negeri , barulah sertifikasi halal dikeluarkan oleh pusat”, sebut Eti. Eti juga menyarankan, agar koperasi atau perusahaan kopi di Aceh dilengkapi dengan penasehat hokum agar tidak ditipu oleh pembeli atau pemilik sertifikasi kopi. Sementara itu, Agus Sudibyo, lebih banyak mengungkap berbagai hal, seperti, Meningkatkan mutu kopi untuk pasar domestic dan Internasional. Tema lainnya yang dijelaskan Agus Sudibyo adalah pengetahuan bahan kopi, dan tehnologi pengolahan kopi serta cara membuat kopi instant. Menurut Agus Sudibyo, kadar air pada kopi untuk keamanannya harus lebih rendah dari 12 persen. “Kalau kadar air pada kopi lebih tinggi dari 12 persen, bisa berakibat adanya jamur (Aflatoxin) yang disebabkan oleh Aspergilus flavus”, papar Agus Sudibyo. Lebih jauh dijelaskan Agus, konsumsi perkapita kopi di Indonesia saat ini adalah 0.8 kilogram/tahun/ “Konsumsi perkapita bisa dinaikkan dengan cara promosi dan lain-lain. Awalnya Columbia dan Brazil rendah konsumsinya . Tapi dengan promosi bisa naik”, jelas Agus. Ditambahkannya, jika konsumsi perkapita/tahun bisa dinaikkan hingga 1.2 kilogram saja, maka pertumbuhan ekonomi masyarakat di sector kopi akan sangat baik. Yang paling menarik dari pertemuan pengusaha kopi bubuk khususnya di Aceh tersebut adalah terungkapnya betapa potensial harga tawar dari produk kopi Aceh. Kopi robusta umpamanya, bisa ditemukan di berbagai kabupaten di Aceh. Seperti Kutacane, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Pidie hingga Kota Fajar di Aceh Selatan. Sementara kopi arabika gayo, merupakan perkebunan kopi rakyat yang terbesar dan terluas di Asia. Dengan pasar di luar negeri dengan kabupaten penghasilnya hanya ada di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. “Kopi Specialty gayo, ngak ada bandingannya di dunia”, tegas Agus Sudibyo. ---- Dari pertemuan itu, jelas terlihat bagaimana sebuah produk kopi robusta dari Aceh Tenggara yang diproduksi UD Wanbi milik Hasbi Suhaibi, setiap minggunya mampu dijual sekitar 500 kilogram. Demiian halnya produk kopi robusta milik H. Rusmawan dari Bireuen yang diberi label Indaco (Indonesia Aceh Coffee) dan kopi milik Zulfikar yang diberi label Arasco. Beberapa pengusaha kopi bubuk lainnya, juga eksis dengan menjual bubuk kopi dengan bahan robusta, seperti Silawati dari Aceh Tenggara, Mariyani S dari Simpang Balik yang memproduksi kopi home industry, Mahmuddin dari Aceh Tenggara dan sejumlah pengusaha lainnya. Sementara itu, pengusaha Takengon dengan basis kopi arabika gayo, memasuki pasar yang lebih luas bahkan hingga ke luar negeri. Ikrar yang memakai merek kopi olahannya dengan merek Aman Kuba Kopi, telah menembus pasar di Cina dan Malaysia. Serta pasar local di Indonesia , termasuk menjual kopi termahal di dunia, luwak gayo. Menurut Ikrar, harga kopi olahan tidak terkontrol. “Harga jual ditentukan pribadi-pribadi pengusaha. Tidak ada plapon harga yang sama”, kata Ikrar. Menjawab soal keaslian kopi luwak yang dijual demi menjaga keasliannya , menurut Ikrar bisa dilihat secara visual dan melalui tes uji rasa kopi (cupping test). “Kopi luwak lebih soft, rasa asam minim dan sangat tidak berpengaruh terhadap kenaikan asam lambung”, rinci Ikrar. Sementara itu, tambah Ikrar lagi, membedakan keasaman kopi arabika dan robusta, bisa dengan mencicipi langsung. “arabika asamnya di langit-langit mulut. Sementara robusta di dekat leher yang bisa langsung memicu asam lambung”, sebut Ikrar. Ikrar sudah memasuki pasar Internasional dengan perlakuan kopi arabika gayo dari hulu hingga hilir ditangani secara professional karena berstandar Internasional. Tidak heran jika kemudian kopi arabika gayo dijual jauh lebih mahal. Untuk satu kilogram bubuk arabika specialty saja, harga bisa dipasarkan diatas Rp.200 ribu. Hanya saja, menurut Ikrar, produk kopi arabika masih terkendala beberapa kendala menembus pasar dunia. Seperti sertifikasi halal hingga SNI. “Saat mengurus persyaratan tersebut, dinas di daerah cenderung tidak paham dan tidak kooperatif. Seharusnya dinas terkait membantu memudahkan pengurusan berbagai syarat agar kopi arabika bisa menembus pasar Internasional. Di daerah, semua diurus sendiri dengan syarat yang terkadang sulit”, kata Ikrar. Pun begitu, Ikrar dan sejumlah pengusaha Industri Kecil Menengah (IKM) di Takengon yang kini melirik pasar nasional dan Internasional kedepan arabika gayo akan lebih mendaerah menasional karena menjual mutu dan cita rasa kopi. Seperti yang dijelaskan Konadi Simehate. Konadi optimis, seiring waktu, kopi arabika gayo lebih baik dan banyak dilirik peminum kopi karena dinilai berstandar Internasional. Hanya saja, tambah Konadi, semua usaha kopi arabika dilakukan perseorangan yang banyak menghadapi kendala. Berbagai kendala itu, menurutnya antara lain keterbatasan sarana pendukung usaha kopi arabika, antara lain, modal , peralatan dan mesin. “Jika saja Pemda mampu membaca peluang kebutuhan pengusaha IKM seperti, mesin espresso, roasting dan packing, kopi arabika gayo akan lebih cepat berkembang”, kata Konadi. Bahkan, Aceh Tengah dan Bener Meriah, tambahnya akan menjadi surge para peminum kopi dari berbagai belahan dunia yang datang menikmati kopi terbaik ini. Meski masih berskala kecil, Konadi sudah memperlakukan penanganan kopinya dari batang kopi hingga pemerosesan paking berbahan alumunium foil. Kopi arabika gayo, sebutnya, kini banyak dilirik pembeli dari luar.” Jepang yang kini sedang menjajaki pembelian kopi dari Koperasi Asowgo yang menerapkan kopi organic dan fair trade “, ungkap Konadi. Konadi menilai posisi pelaku bisnis kopi berskala IKM masih lemah dan ditelantarkan. Untuk itu Konadi menginisiasi terbentuk komunitas pelaku usaha arabika agar bisa menaikkan posisi tawar yang lebih baik. “Begitu banyak kesempatan pameran dan promosi kopi di luar daerah yang tidak bisa kami ikuti karena keterbatasan dana. Seharusnya disinilah kopi gayo diperkenalkan sehingga dikenal luas”, papar Konadi. --- Agus Sudibyo kepada peserta pelatihan IKM selama satu hari penuh juga mengajarkan bagaimana membuat kopi instant. Caranya, kopi dicampur saripati berbagai bahan tambahan, seperti jahe, ditambahkan gula . Lalu dibuat dengan pemanasan yang bersuhu dibawah 50 derjat celcius selama 5 jam diatas wajan. Jadi. Kopi instant ini menjadi kopi instant yang siap saji dalam bentuk tepung. Paduan kopi, gula dan jahe. “Kopi masuk kebijakan nasional bersama kakao”, . Koetardja kutinggalkan setelah selama seharian menelusuri jejak-jejak tsunami yang nyaris tak terlihat lagi kecuali bangunan modern dan warga Aceh yang tidak terkena tsunami yang coba menatap masa depan dengan berbagai kegiatan dagang dan pertanian serta jasa. Bendera partai local tampak dominan menghiasi jalanan dan kantor partai yang berwarna merah menyala. Aceh memang sangat dinamis dalam pergolakan. Bukan saja pergolakan senjata , tapi juga politik. Betapa tidak, paska gempa dan tsunami, Parlok hadir sebagai syarat damai. Sebuah terobosan berani yang kemudian ditiru banyak daerah di Indonesia. Spekulasi politik tensi tinggi di Aceh memang berhawa panas. Apalagi salakan senjata api yang menggantikan fungsi Izrail, masih menjadi warna politik Aceh dengan style tersendiri yang pelakunya misteri. Aroma dari kopi berbahan arabika, bisa dinikmati paling tidak di tiga tempat atau warung kopi di Koetaradja. Duduk sambil membicarakan banyak hal, dari politik kopi hingga politik Pilkada Aceh dibahas dari tempat duduk di tempat terbuka seribu warung kupi Aceh. Jika tak cukup uang untuk minum kopi, jangan kuatir. Karena kopi masih tetap bisa dinikmati dengan “Kupi Pancung”. --- Aku pulang dari Koetaradja menuju Kabupaten kopi ditengah Aceh yang merupakan dataran tinggi . Sayang memang, kopi arabika gayo yang dikenal luas di antero dunia, di ibukota Provinsi masih belum dikenal luas. Sehingga sulit mencari warung kopi berbasis arabika gayo. Karena semua kopi yang tersedia adalah robusta dengan blendingang bahan tambahan non kopi dengan cirri dan cita rasa yang khas. Selera memang berbeda. Tapi kehadiran kopi arabika di Koetaradja setidaknya menjadi alternative. Peluang begitu terbuka lebar . Seperti Belanda saat menjajah dahulu yang mengultimatum masyarakat petani kopi hanya menanam kopi robusta. Tapi Belanda mengeksport kopi arabika dari tanah jajahannya, Tanoh Gayo. Kini Sumber daya kopi arabika gayo yang merupakan terluas dan terbesar produksinya di Asia belum ditangani secara professional. Akhirnya, dibagian hilir jalur kopi gayo dari petani ke pedagang dilakoni orang lain, termasuk asing. Karena mereka begitu paham kopi gayo yang kaya rasa dan aroma. Dan merupakan komoditi nomor dua yang diperdagangkan secara luas setelah minyak di dunia. Ketika pemangku kepentingan dan kebijakan tidak memiliki visi dan misi yang jelas tentang kopi gayo, masuklah asing mengambil kuntungan terbesar dari kopi. Pemda hanya mengambil retribusi dari kopi yang dikirim ke luar negeri. Nilai retribusi ini mencapai puluhan milyar bahkan dua puluhan milyar. Kopi masih belum dianggap seksi, entah karena kebodohan atau karena lebih menyukai proyek –proyek yang bisa langsung mendapatkan feenya dari pada repot mengurus kopi rakyat. Rakyat petani kopi bagi penguasa di Aceh hanyalah alat politik dan propaganda sesaat yang suaranya diminta dengan menjual diri saat suksesi. Tapi kemudian dibiarkan menepi di kaki-kaki bukit bersimbah tanah dan dibakar matahari. Tak ada lagi yang peduli. Kopi adalah kekuatan ekonomi masa depan Aceh. Meski hanya petani kopi saja yang merasa memiliki kopi. Tidak juga milik Kabupaten atau bahkan milik provinsi. Dan aku meminum segelas espresso dengan takaran 30 ml tanpa gula sekali teguk saat menuliskan ini. Dan adrenalinkupun naik…..(Win Ruhdi Bathin)