Arabika Coffee Gayo

Arabika Coffee Gayo
Barista Gayo

Selasa, 13 September 2011

Aku Belajar Roasting

Aku Belajar Meroasting

Aku memelototi buah kopi kering yang disebut di Gayo Kopi Biji Hijau (KBH).Biji-biji pilihan arabika yang akan diroast. Warnanya memang hijau. Keras, setelah coba digigit untuk meyakinkan kadar airnya sudah mati. Kadar air mati sebutan local (Weh mate) untuk kadar air greenbeans yang dibawah 14 persen.

Kemudian sekitar 200 gram kbh ini kumasukkan kedalam drum mesin roasting Gene Café.Kuatur suhu dan lamanya penggongsengan. Tekan tombol, mulailah gc bekerja. Berputar menggulirkan buah kopi secara lambat dan merata dengan motor drum yang digerakkan listrik.

Suara biji kopi beradu dan desing halus suara mesin gc menjadi bagian irama roasting.Warna kopi hijau berubah perlahan menjadi coklat muda. Semakin lama semakin mengarah pada coklat tua. Aroma kopi yang terbakar keluar dari cerobong asap kecil gc. Aroma khas kopi yang dipanaskan.

Hmmmm. Bau yang kukenali dari kecil saat para ibu-ibu di antero Gayo menggonseng kopi di kuali. Terkadang digonseng diluar rumah dengan perapian kayu. Aroma menyebar . Aku meroasting arabika didalam ruangan kantin tempatku bekerja sebagai pelayan kopi.

Aku bermain dengan suhu, waktu dan biji-biji kopi yang menjadi sumber napas ekonomi rakyat gayo sejak zaman penjajahan Belanda.Tak terbayangkan semula.Aku mulai mengenali warna-warna kopi yang dibakar listrik. Coklat hingga mengarah ke hitam. Juga kulihat kopi yang berminyak pada suhu tinggi. Seperti kopi diminyaki mentega.

Aku juga mulai menggunakan indera penciuman guna mengetahui bau kopi selepas diroasting. Dunia baru. Meski harus belajar dari nol tentang roasting. Tapi, sumpah, aku mulai mencintai pekerjaan ini. Belum lagi soal berbagai cita rasa kopi. Akh….kopi, terlambat aku mengenalimu…….Bismillah.
——

Setelah menjadi pelayan bagi para peminum kopi arabika hasil kebun kopi rakyat Gayo, selama empat bulan, kini aku belajar menggonseng kopi. Istilah umumnya disebut meroasting kopi. Ada beberapa alas an kenapa harus menjadi seorang roaster.

Pertama, ketergantungan pada produsen kopi roasting di Takengon sangat berdampak negatip pada kantin tempatku bekerja. Apalagi jika kopi roastingnya tidak ada saat kantin sedang perlu. Akibatnya peminum kopi terpaksa kecewa karena bahan baku kopi tidak ada. Sudah banyak warga local yang kecanduan kopi arabika yang disajikan melewati mesin espresso manual dan otomatis.

Pecandu kopi ini kemudian menjadi pelanggan tetapku. Ada yang sehari minum dua kali. Pagi dan petang. Ada yang sekali duduk minum dua sampai tiga gelas kopi dengan menu berbeda. Alasan lainnya adalah harga kopi roasting terus naik.

Jika awalnya satu kilogram kopi roasting masih kubeli Rp.180 ribu /kg, kini naik menjadi Rp.225 ribu. Harga yang menurutku mahal di sentra kopi arabika terbesar di Asia. Dataran Tinggi Gayo. Setelah berkonsultasi dengan beberapa rekan-rekan penikmat kopi dan melihat berbagai jenis mesin roasting di internet, akhirnya pilihan jatuh pada mesin Gene Café.

Pilihan pada Gene Café model CBR-101 karena praktisnya dan harga yang relative terjangkau. Meski kapasitasnya tergolong kecil, 300 gram. Apalagi, seorang teman dijejaring social fb, Budiono Kwee sudah menggunakan mesin ini untuk cafenya.

Maka mulailah aku mencoba menjadi roaster. Bismillah. Dunia roaster ternyata sangat menarik. Permainan suhu dan limit waktu meroaster menjadi kata kunci yang harus dicermati dan dicatat. Pertama meroaster, aku mengambil sampel kopi dari kebunku sendiri.Kebun ini berisi kopi arabika. Paling tidak ada tiga varietas yang kutemukan di kebun yang kubeli dari hasil menjual sapi bali yang kupelihara sejak beberap tahun silam dan satu-satunya modalku. Varitas tersebut antara lain, timtim, arab jemen dan ateng.

Guna menghilangkan cacat rasa, aku hanya memetik kopi buah merah saja. Buah kopi yang benar-benar sudah masak. Pengetahuan ini kuperoleh setelah banyak berdiskusi dan mengekplore internet. Salah satu sumber diskusiku adalah Yusrin dari Bergendal Kopi yang sudah terlebih dahulu menjadi roaster di Bener Meriah. Dan berhasil menjadi jutawan dari bisinis kopi.

Khususnya kopi bubuk, café dan kopi roasting. Bergendal kopi bisa menghasilkan puluhan hingga ratusan juta dari usaha kopi ini. “Saya terlambat terjun ke dunia bisnis kopi. Kalau dari dulu saya tahu bisnis kopi sangat prospek , saya sudah keluar dari pns dari dulu”, kata haji Yusrin suatu kali kepadaku.

Haji Yusrin memiliki alat roasting berkapasitas 5 kg yang telah membuatnya menjadi satu-satunya roaster di Takengon dan Bener Meriah kala itu. Meski kini sudah ada beberapa roaster lainnya. Salah satunya Premium kopi milik Wawan. Di Kampung Tingkeum Kecematan Bukit Kabupaten Bener Meriah.

Premium Kopi menyediakan kopi kemasan bubuk untuk luwak dan non luwak. Juga menjual kopi roast kepada pelanggannya. Premium Kopi, kata Wawan tidak dijual di super market. Tapi di pasar terbatas khusus pelanggannya saja , meski beberapa super market di Takengon meminta produk ini.

Guna menjamin kualitas kopi yang dihasilkan, Premium Kopi hanya mengambil kopi dari Tiga lokasi di Bener Meriah dan Takengon berupa kopi merah gelondongan yang kemudian diolah dengan mesin roaster berkapasitas 5 Kg yang didatangkan Wawan dari Taiwan.

Pasaran kopi olahan Premium Kopi sudah memasuki pasaran Asia. Premium Kopi juga ikut pameran di beberapa negara tetangga Indonesia.

————————-

Dari hasil meroaster kopi dari kebun milikku, aku menggunakan level roasting city roast. Yakni pada suhu 250 derajat celcius dengan waktu 17 menit. Hasilnya, oke. Keasaman kopi tidak terasa dan menghasilkan taste yang kusukai.

Warna kopi roasting dari city roast ini coklat. Agak coklat tua. Menurut petunjuk buku manual Gene Café, City Roast menghasilkan kopi standar dengan rasa dan aroma seimbang. Aku mulai meroaster beberapa wilayah penghasil kopi di Takengon.

Salah satunya dari daerah perkampungan Tawardi II. Sebuah lokasi penghasil kopi ternama di Takengon di daerah Kecamatan Kute Panang Takengon yang berada diatas 1200 dpl. Daerah ini menghasilkan kopi yang banyak diburu para pembeli kopi eksport karena besarnya biji yang dihasilkan.

Kopi milik Mursada Muhammad Rasyid Ahmad, petani kopi di Tawardi II, varietas ateng super yang sedang dikembangkan dalam jumlah banyak. Coba diroast. Hasilnya aroma kurang terasa namun rasanya lebih ringan.

Mursada dan keluarganya , petani kopi di Kampung Tawardi II, pernah disebut petani setempat “gila” karena melakukan revolusi dibidang penanaman kopi. Revolusi kopi oleh keluarga Mursada adalah dengan menanam kopi ateng super dalam satu hektar sebanyak 7000 batang.

Mursada mengaku memiliki beberapa tehnik agar 7000 kopi ateng supernya mendapat jatah cahaya matahari dan unsure hara. Cara atau tehnik ala Mursada tidak bisa disebutkan disini karena merupakan “rahasia perusahaan”.

Sekitar 7000 batang kopi ateng jaluk milik Mursada kini sudah mulai panen dan Mursada terus melakukan ekspansi penanaman di beberapa lokasi di Takengon dan Bener Meriah. Selain berevolusi dibidang penanaman kopi, Mursada juga membuat pupuk kimia.

Uji coba meroaster kopi kemudian dilakukan dengan meroaster kopi dari daerah Atu Lintang Kecamatan Atu Lintang Aceh Tengah. Di Daerah Atu Lintang Takengon, saya mengunjungi sebuah lokasi penangkaran kopi musang sebutan warga Gayo untuk kopi luwak.

Apalagi, konon, kopi dari daerah ini pernah memenangkan test cup kopi di Bali tahun 2010 lalu. Penangkaran kopi luwak di Atu Lintang , Despot, ini berada di lokasi transmigrasi. Dengan varietas kopi ateng. Benara kopi. Begitu nama produk kemasan kopi dari daerah Atu Lintang ini.

Benara kopi memiliki lahan kopi ateng seluas 4 hektar. Benara Kopi sudah mengemas kopi yang dihasilkannya dalam bentuk kopi bubuk dan roasting untuk civet kopi. Saya mencoba membeli kopi roasting luwak dalam kemasan ekslusif yang sudah memakai alumunium foil dan dilengkapi lubang udara.

Hasilnya, rasa dari civet kopi Atu Lintang kena dilidah. Walau lagi-lagi menurut saya aroma dari kopi luwak ini tak begitu kentara. Testing kopi kemudian dilanjutkan kedaerah Jagong Jeget Kecamatan Jagong Aceh Tengah.

Jagong berada dibagian Selatan Aceh Tengah . Merupakan kawasan transmigrasi lainnya. Dilokasi ini ada penangkaran luwak milik seorang transmigran, Sarjiman. Sarjiman memiliki 24 ekor luwak. Tidak kurang dari 100-200 kilogram kopi luwak bisa dihasilkan Sarjiman dari penangkarannya.

Tergantung musim kopi. Karena bila kopi sudah mulai panen raya, hasil kopi luwak juga lebih banyak. Dari 2 kilogram luwak Sarjiman yang diroasting dengan Gene café, dicoba dengan beberapa level suhu.

Suhu yang dipakai antara lain, 245 derajat celcius dengan waktu 15 menit. Warna kopi coklat muda. Dan suhu 250 derajat celcius dengan waktu 17 menit. Warna kopi roaster coklat tua. Dari variant suhu dan waktu ini, rasa khas kopi luwak terasa. Namun Aroma tidak muncul atau tidak terlalu kentara di hidung.

Sarjiman mengaku belum memiliki pasaran kopi luwaknya secara kontinyu dan pasti. “Siapa saja yang pesan akan diberikan. Belum ada pasaran tetap”, kata Sarjiman. Dikatakan, varietas kopi yang diberikan pada luwak adalah varietas ateng jaluk dan satu jenis kopi lainnya.

Beberapa konsumen luwak dari Sumetara Utara sudah mulai meminta dan mencoba merasakan kopi luwak Sarjiman. Diantaranya pengusaha keturunan China dari Medan. Tapi pengusaha ini meminta Sarjiman melakukan fermentasi ulang kopi luwak yang dihasilkan dengan mengemasnya dalam plastic besar.

Kopi luwak yang dikemas dalam plastic ini setiap hari diaduk-aduk sebelum dikeluarkan dan dikeringkan. Sarjiman berharap memiliki pasaran yang kontinyu dari kopi luwak yang dihasilkan. Karena bila tidak, seorang penangkar luwak di Despot Linge Kecamatan Atu Lintang Takengon, kisahnya sangat miris.

Begini kisahnya. Warga Transmigran ini sebut saja Narto oleh seorang kerabatnya dibelikan dua ekor luwak untuk dijadikan luwak tangkaran penghasil kopi luwak yang terkenal mahal. Sayang setelah memproduksi kopi luwak dari dua musang yang dipeliharanya, Narto tidak memperoleh pasar yang pasti dari produknya.

Akhirnya Narto menjual kedua luwaknya yang merupakan hibah kerabatnya dan menjual kopi luwaknya dengan harga standar kopi sisa atau lelesen dalam bahasa local gayo. Apalagi saat memlihara luwak, Narto harus setiap hari menyediakan berbagai jenis buah selain kopi yang biasa dikonsumsi luwak.

Hal itu memberatkan Narto dan keluarganya yang masih hidup pas-pasan dari hasil kopi. Apalagi dari pengamatan visualku, lokasi transmigran di Despot Linge ini , kopi yang ditanam kurang baik karena keadaan topografi daerahnya.

Angin di daerah Despot Linge bertiup sangat kencang dengan suhu yang sangat dingin. Keadaan ini diperparah tidak adanya naungan kopi seperti pohon ptai atau lamtoro. Akibatnya, amatanku, buah dan daun kopi jauh lebih kecil dibandingkan daerah lain di Takengon dengan varietas yang sama.

Menurut penelitian DR Surip Mawardi dari Jember beberapa tahun lalu, yang kemudian melaunching varietas kopi Gayo 1 dan 2. Untuk rasa dan aroma kopi, disarankan menggunakan varietas Timtim dan Borbor.

Benar apa yang diungkapkan Wiknyo, seorang peneliti kopi di Paya Tumpi Takengon. Menurut Wiknyo, Belanda sudah memplot kawasan kopi yang ideal di Takengon. “Semua lokasi kopi terbaik di Takengon biasanya diseputaran gunung api. Seperti kawasan Paya Tumpi, Burni Bius, Arul Gele, Atu Gajah dan sejumlah lokasi lainnya”, kata Wiknyo.

Lokasi-lokasi ini merupakan lokasi bekas perkebunan Belanda yang berada dibawah kawasan Gunung Berapi Bur Salah Nama (Bur Susu) atau lebih dikenal dengan Bur Pepanyi. Dari hasil tes cup, kopi dari daerah ini memiliki rasa dan aroma yang kentara. Terutama jenis timtim.

Menilik hasil kopi dari Takengon, rata-rata produksi arabika kopi gayo masuk dalam kategori kopi spesialti. Apalagi banyak kawasan perkebunan kopi berada diatas ketinggian 1200 dpl. Bahkan ada yang diatas 1600 dpl.

Meroasting kopi ternyata bukan saja perkara suhu dan lamanya waktu satu periode meroasting. Serta sejumlah teori baku meroasting , seperti cara Italy dan Amerika. Tapi juga harus dimasuki dengan “perasaan” alias seni menggonseng.

Apalagi kopi yang diroast kadar airnya masih sangat variatif dan cenderung tidak sama. Akibat tidak samanya kadar air ini, rasa dan aroma bisa tidak sama dan berubah tidak sesuai yang diinginkan. Perhatian sebelum meroaster harus memasuki pengetahuan kadar air kopi.

Seni meroasting baru didapat jika “jam terbang’ meroasting sudah tinggi. Dengan begini, teori dalam buku tentang roasting bisa jadi tidak dipakai tapi sudah menggunakan cara dan gaya local sesuai sikon. Tapi hasil roaster tentu harus sesuai selera konsumen, penikmat kopi. Tidak asam dan terlalu hangus sehingga berakibat pada naiknya asam lambung.

Munculnya keluhan pelanggan terhadap kopi yang diminum merupakan indikasi ada masalah dalam meroasting kopi. Keluhan ini biasanya lebih pada kopi yang terasa “asam”. Banyak pelanggan yang mengatakan bahwa mereka segan minum kopi karena bermasalah dengan asam lambung mereka.

Hal ini dapat dimengerti karena kebanyakan kopi bubuk yang dikonsumsi peminum kopi di Takengon bersumber dari kopi robusta. Padahal pengopi dunia lebih menyukai kopi arabika. Meski kapasitas roasting Gene café sangat kecil, namun dunia roaster kopi sudah mulai kumasuki.

Sama halnya dengan meracik kopi, bukan saja perkara kerja tapi juga bernilai seni. Meroasting juga ternyata menyediakan dunia “perasaan” atau seni bagi mereka yang menekuninya. Semoga aku juga menjadi roaster, bukan saja pelayan atau barista. (Win Ruhdi Bathin)


1 komentar: