Jual Produk Kopi Khas Gayo .Berbagai Jenis produk, arabika green beans, robusta greenbeans dan Kopi Musang atau Luwak.Kami juga menjual mesin espresso, manual dan matic.
Arabika Coffee Gayo
Selasa, 27 Desember 2011
Setengah Hari Bersama Penyelamat Bumi
Petani Itu Adalah Dokter
Setengah hari rasanya tak cukup bersama Aman Tauhid. Apalagi lelaki berputra tiga ini kemana-mana bawa parang yang terasah tajam. Pakaiannya lusuh dan kotor, memakai sepatu boot. Membawa gunting kopi dan gergaji kecil. Terkadang membawa cangkul dan karung tempat buah-buah kopi merah .Merengkuh asa dari usaha tani.
Selalu bergelut dengan yang kotor-kotor. Betap tidak, sepanjang hari dan tahun, Aman Tauhid mendedikasikan harinya, bersama tanah, daun, rumput dan pepohonan lainnya. Aku menyebutnya lelaki hijau. Hijaunya lingkungan keluarga Aman Tauhid, bukan karena teori atau slogan serta kampanye lingkungan.
Mereka tidak pernah tahu teori penghijauan dan penyelamatan lingkungan dengan menanam pohon guna mengurangi resiko Global warming yang ditandai perubahan cuaca ektrim. Tapi keluarga hijau Aman Tauhid dan ratusan ribu penduduk Takengon serta Bener Meriah yang merupakan kawasan perkebunan kopi, selalu menanami lahan mereka , tak ada yang kosong atau tersisa dengan tumbuhan , kopi, naungan, sayuran , pohon buah dan penghijauan lain.
Hidup adalah menanam bumi untuk masa depan. Para petani kopi gayo tidak pernah tahu teori daerah tangkapan air, evaporasi, rain fall dan sejuta teori lingkungan. Tapi semua itu dilakukan keluarga petani kopi gayo termasuk eco farm, kopi organic, perma kultur, deforestasi, dan lain-lain.
Apa yang dilakukan Aman Tauhid dan ratusan ribu petani kopi di Dataran Tinggi Gayo, melakukan apa yang disebut kearifan local dalam praktek. Meski banyak orang, kelompok orang atau pengusaha bahkan eksportir serta konsumen kopi dunia, memanfaatkan kearifan local ini untuk kepentingan keuntungan bagi mereka , umpamanya fee organic, rain forest hingga fair trade.
Bagi petani, yang mereka kenal hanyalah kopi sebagai sumber ekonomi utama. Diperlakukan layaknya mengasuh dan merawat dan memelihara anak sendiri . Tak kenal berbagai macam hal diluar itu. Cukup sederhana dan simple.
-----
Aman Tauhid nama aslinya adalah Dirum Solahri. Berusia 35 tahun. Di budaya gayo, nama seseorang akan digantikan nama anak sulungnya. Jika lelaki si anak sulung tersebut, Dirum Solahri bisa dipanggil Aman Win (Win=anak laki-laki) .
Atau bisa lebih lengkap disapa Aman Tauhid. Jika anak sulunya perempuan, disapa dengan Aman Ipak . “Kopi ini sudah berumur 20 tahun. Saya tanam sebelum menikah”, kata Aman Tauhid kepada saya. Kulitnya lebih legam karena dibakar matahari setiap hari. Tangannya kasar dan tebal karena memegang parang dan cangkul setiap hari
Kopi yang ditanam Aman Tauhid jenisnya adalah Timortimur. Tampak terawat dengan baik. Dipangkas dan selalu mendapat perhatian dari serangan gulma. Dari kebun seluas delapan rante (satu rante 25 X25 meter), Aman tauhid menggantungkan hidup keluarganya.
Di Takengon dan Bener Meriah yang dikenal sentra kopi arabika terbesar di Asia, kopi arabika mendominasi lahan warga. Banyak varietas dari arabika gayo, seperti Lini S (Jember), Ramung, Bergendal, Ateng Super, Ateng Jaluk, Ateng Janda, Borbour, Timtim, Ateng Ilang Pucuk serta kopi kucak (Robusta).
Saat aku tiba ke rumah Aman Tauhid di Wihni Kuli Kecamatan Kebayakan, Aman Tauhid dan keluarganya baru makan pagi di Minggu pagi (25/12). Keluarga Aman tauhdi duduk bersila bersama dua anak lelakinya di dapur rumahnya. Si sulung Tauhid, pelajar SMA kelas 1. Fadil , anak bungsunya pelajar kelas 3 SD.
Sementara seorang anak perempuannya, Nurma berada di Bireuen di sebuah pasantren. Inen Tauhid membereskan bekas makan paginya. Masih bisa kulihat Inen Tauhid membereskan legen, tempat membuat cecah (sambal) dari bahan Agur, dicampur terong kertop.
Sayurnya tampak ludes, tarukni Jepang. Nikmatnya dalam hatiku. Rumah Aman Tauhid dibangun senilai Rp.88 juta. Memiliki sebuah mobil jenis Carry seharga Rp 44 juta. “Semua ini saya peroleh dari hasil berkebun kopi dan hasil beternak sapi bali”, ujar Aman Tauhid.
Dilingkungannya, Aman Tauhid terbilang petani sukses karena ketekunannya berkebun dibandingkan para tetangganya. Aman Tauhid bekerja di kebun kopi seperti layaknya pegawai di perusahaan swasta tau negeri.
Pergi pagi pulang senja hari. Setelah anak-anak mereka berangkat, Aman Tauhid dan Inen Tauhid berangkat ke kebun. Sama halnya saat hari Minggu aku kesana. Inen Tauhid sama dengan Aman Tauhid. Memakai pakaian bekerja di kebun yang tampak berlepotan getah dan warna aslinya sudah kabur.
Inen Tauhid, membawa parang, demikian juga Aman Tauhid, Tauhid dan si bungsu Fadil. “Hari ini munebes (membabat rumput)”, kata Inen Tauhid. Kebun keluarga Aman Tauhid tidak jauh dari rumahnya. Hanya sekitar 300 meter lebih.
Hanya saja lokasi kebun tersebut berada pada lahan miring yang hamper 40 derajat kemiringannya. Menempuh jalur ke kebun ini, diperlukan fisik yang prima dan ekstra hati-hati karena licin setelah hujan dan penuh bebatuan.
Setiap pagi, lokasi kebun keluarga Aman Tauhid disapa awan yang kerap turun dan melewati kebun-kebun kopi petani disana. Ini pula yang membuat rasa kopi dari petani kopi gayo menjadi specialty. Apalagi beberapa kali tes cup di Indonesia, kopi arabika kerap mendapat angka tertinggi.
Kriteria kopi gayo specialty bukan dibuat –buat begitu saja. Tapi dilandasi dasar yang kuat dan ilmiah sebagai pendukungnya. Kopi specialty pertama sekali digunakan pada tahun 1974 oleh Erna Knutsen dalam jurnal perdagangan tentang The dan Kopi.
Knutsen memakai istilah specialty untuk menggambarkan biji dari rasa terbaik yang diproduksi secara khusus. Kata specialty yang dimiliki kopi arabika gayo, didasarkan pada argument lainnya. Seperti, disebutkan Asosiasi Kopi Spesial Amerika (SCAA).
Kopi dengan skor 80 poin atau lebih pada skala poin 100 dinilai sebagai kopi specialty. Kopi specialty memiliki rasa yang khas dan unik. Rasa ini dihasilkan dari kekhasan sifat karakteristik dan komposisi alam dimana kopi itu tumbuh.
Rasa dan aroma ini seperti rasa yang komplek dan body yang kuat. Cupping test diberbagai tempat regional Insonesia dan peserta asing di Takengon dan Bener Meriah, telah membuktikan rasa dan aroma kopi gayo.
Nama kopi gayo sudah mendunia. Trade mark kopi gayo dihasilkan karena kualitas dan spesipikasi wilayah geograpis yang menghasilkan mutu kopi terbaik di Asia. Juga merupakan kawasan kebun kopi arabika paling luas di kawasan ini.
Aman Tauhid memang menghasilkan kopi lebih banyak dari kebun tetangganya yang semuanya menanam kopi yang sama. Tetangga pekebun Aman Tauhid datang ke kebun tak serajin keluarga Aman tauhid. Hal ini berpengaruh nyata dengan hasil panen kopi setiap tahunnya. Kebanyakan petani kopi gayo lemah di perawatan kopi.
Kopi setelah ditanam, jarang dirawat. Seperti perawatan batang kopi dengan pemangkasan, pemanfaatan naungan, hingga menambahkan pupuk organic serta penyiangan rumput.
“kebanyakan petani datang ke kebun saat panen kopi saja tau menyiangi rumput tanpa perawatan lebih intensif”, jelas Aman Tauhid.
Akibatnya para tetangga Aman Tauhid harus mencari kerjaan tambahan selain menjadi petani kopi. Ada yang menjadi kuli bangunan, abang beca atau malah buruh tani. Kedatanganku ke kebun Aman Tauhid karena aku ingin belajar berkebun kopi.
Cekatan, tangan Aman Tauhid memotong cabang kopi yang dianggap tidak menghasilkan memakai gunting kopi. Cabang yang agak besar dipotongnya dengan menggunakan gergaji kecil buatannya sendiri. Atau mengambil gulma diseputaran batang kopi.
Asap mengepul dari mulutnya. Dia merokok rokok kretek tanpa filter bermerek “angka’ yang harga perbungkusnya Rp.3500,. Aman Tauhid memangkas kopinya dengan bagian atasnya lapang dari cabang dan daun. Mirip kepala botak.
Meski telah 20 tahun, Aman Tauhid belum mengganti kopi arabika varietas Timtimnya. “Sayang kalau diganti karena masih menghasilkan”, ujar Aman Tauhid. Aku cemburu melihat kehidupan Aman Tauhid dan keluarganya.
Mengisi hari dan waktu dengan menjadi dokter bagi tanaman. Sahabat kopi dan sayuran. Anak istri Aman Tauhid juga sudah sepaham. Tiap hari sudah terjadwal menuju ke kebun dengan berbagai agenda kegiatan sesuai kebutuhan tanaman.
Meski tak mampu menerangkan secara ilmiah, tapi menurut Aman Tauhid kopi-kopi secara psikologis mampu berbicara. Setiap pertumbuhan dari kopi memunculkan bahasa yang harus dipahami. Tentang kekurangan unsure hara, tentang persaingan merebut sinar matahari atau persaingan dengan gulma.
“Jika ada yang salah, kopi akan merajuk dengan tidak berbuah”, sebut Aman Tauhid. Persoalan kopi lainnya menurut bapak petani ini, ditandai dengan perubahan warna pada daun kopi. Meski begitu, Aman Tauhid lebih menyukai memakai pupuk organic bagi kopinya yang dihasilkan dari kotoran sapi miliknya.
“Kopi adalah mahluk hidup. Semakin sering kita bersentuhan dengan kopi, kopi akan semakin banyak menghasilkan. Terjadi komunikasi secara tidak langsung”, papar Aman Tauhid kepadaku. Aku tampak seperti orang bodoh dengan penjelasan ini.
Di kebun, Aman Tauhid memiliki sebuah Jamur (rumah darurat) yang biasanya berukuran lebih kecil dari rumah tinggal. Disini tersedia air yang bersumber dari air hujan atau dari sumber mata air. Tersedia juga sajadah dan kain sarung untuk shalat.
Meski tidak jauh letak kebun dari rumahnya, Aman Tauhid lebih suka membawa nasi dari rumah sehingga tidak repot lagi memasak di kebun. Hanya untuk kopi , Aman Tauhid dan keluarganya biasanya membuatnya di kebun.
Caranya, air dan kopi dimasak bersamaan menggunakan kayu bakar . setelah mendidih, kopi yang berbuih dan berwarna coklat kehitaman ini kemudian diberi gula. Ah nikmatnya. Setengah hari rasanya tak cukup bersama keluarga Aman Tauhid. Begitu banyak kisah yang seharusnya ditulis, tapi kubiarkan tak kutulis dan hanya mengisi memoriku saja.
Tentang sebuah dunia yang indah dan dilakoni hampir dua ratusan ribu penduduk gayo. Sebuah dunia nyata dan bukan khayal. Kopi-kopi yang dihasilkan petani gayo yang diakui dunia. Berasal dari hasil karya Aman Tahid salah satunya.
Jumat, 09 Desember 2011
Rabu, 30 November 2011
Keep Smile Michiel..
“Keep smile Michiel Tieleman”, kataku pada sahabat baruku dari Belanda. “Tahukah kamu Win, senyum terkadang demikian sulit….”, kata Michiel sambil menyalami aku dan menaiki L300 menuju Belang Kejeren di pagi Senin , pukul 9.45 menit.
Michielpun pergi, mengembara. Dari satu kota ke Kota lainnya. Bukan saja di Sumatera, tapi juga ke bagian lain dunia, membawa diri dan kisahnya…
….
Satu hari satu malam bersama Michiel bagiku merupakan seperti menambah ilmu. Banyak hal yang aku tidak tahu kehidupan di Belanda sana, tergambar jelas dari apa yang diungkapkan lelaki jangkung bujangan ini. Bagiku setiap cerita dan kisah hidupnya menjadi referensiku. Sangat berarti tentang kisah hidup dari ras dan geographis yang berbeda. Tentang cara hidup, berpikir dan bertindak.
Susah dan kerasnya mencari pekerjaan yang baik dengan gaji yang lumayan, tentu menjadi harapan banyak orang. Tak terkecuali Michiel. Berbagai jenis pekerjaan dilakoninya di Belanda. Dari supir Truk hingga desain graphis dan mengantar paket kiriman.
Michiel mengumpulkan dan menyimpan sebagian uangnya. Setelah hampir sepuluh tahun menabung, Michiel mulai pengembaraannya. Srilangka, kemudian Indonesia dijambanginya. Mencari hal baru dan keluar dari rutinitas yang membuat suntuk.
Di Srilangka, Michiel mengaku sangat menyukai teh asal srilangka yang dinilainya merupakan teh terbaik yang pernah diminumnya. Teh di Srilangka ditanam pada Dataran Tinggi yang berkabut dan memiliki kualitas terbaik.
Selepas Srilangka, Michiel, berwisata diseputaran Danau Toba. Kemudian menjajal lokasi wisata Sabang. Di Sabang Michiel bertahan lama. Tiga bulan. Lantas hal apa yang membuatnya betah?. Di Sabang Michiel belajar menyelam.
“Selama tiga bulan belajar menyelam, saya sudah mengantongi predikat sebagai Master Selam. Tinggal satu tingkat lagi saya bisa menjadi instruktur”, kata Michiel. Menyelam menjadi hobi baru lelaki Belanda ini.
Selam menjadi obsesi dan harapan baru Michiel. Tiada hari tanpa menyelam hingga dia bisa mencatat rekor waktu 122 jam penyelaman. Pengalaman menyelam di Sabang menjadikan Michiele sempat menjadi guide bagi penyelam-penyelam yang datang ke Sabang dari berbagai daerah di Indonesia bahkan luar negeri.
—–
Jum’at sore (25/11) Ria Devitariska, seorang anggota CS, sebuah komunitas atau jejaring sosial bagi traveling mengontakku. Ria yang tamatan Planologi Unisba yang kini bekerja di Banda Aceh, juga bekerja sebagai wartawan berita online LG menyatakan seorang wisatawan asal Belanda akan berkunjung ke Takengon.
Ria bertemu Michiel di Banda Aceh setelah mengontak Ria melalui website CS. “Apakah abang bisa menemani atau tinggal dirumah selama Michiel berada di Takengon?”, kata Ria. Aku menyanggupinya setelah pakat dengan istriku.
Karena saat Michiel berada di rumahku, tentu yang menjadi ratunya adalah istriku. Istri yang telah memberiku empat anak dari rahimnya. Istri yang setia menemaniku dari jaman susah dahulu hingga susah sekarang.
Sering saat dirumah atau ketika tidur , aku aku mencuri pandang padanya. Akh betapa cantiknya istriku….gumanku didalam hati dan berucap syukur pada Allah yang telah memberiku seorang istri demikian hebat.
Ternyata istriku setuju Michiel menginap. Dirumah kecilku , ada ruang kosong tempat kami biasa kumpul. Dalam bahasa gayo disebut “Dapur”.
Dapur ini adalah lantai yang diberi papan setinggi lebih kurang satu jengkal dari lantai. Tempat ini biasanya dipakai sebagai tempat anak-anak belajar, mengaji, shalat dan bahkan makan. Ada satu kasur lipat tipis yang diberikan panitia Porda X di Takengon lalu.
Kasur ini diperuntukkan bagi atlit yang ikut Porda di Takengon untuk alas tidur. Di kasur busa tipis ini pula, pernah tidur beberapa wisatawan asing yang berkunjung ke Takengon, seperti dari Ukraina, Itali, Belgia, Jerman, Australia, Afrika Selatan. Switzerland dan Finlandia.
—–
Sabtu sore (26/11/11) Michiel mengontakku setelah mendapat nomor hp dari Ria. Menggunakan bahasa Inggris yang kental dialek England, Michiel menyampaikan maksudnya akan ke Takengon dan meminta alamatku.
Tak semua yang disampaikan Michiel bisa kupahami. Karena bahasa Inggrisku hanya “seridhonya”. Itupun kudapat saat bersekolah di Madrasah Tsanwiyah Negeri BOOM Takengon, Bapakku memerintahkanku kursus belajar Bahasa asing ini di luar jam sekolah.Aku masih ingat gurunya, Pak Abdul Wahid yang kini sudah almarhum.
Menurut Pak Wahid kala itu, bahasa Inggris itu harus sering diucapkan dan menjadi komunikasi diantara teman-teman. Pak Wahid yang tidak memiliki keturunan ini suka anak-anak. “Tidak boleh gengsi berbahasa Inggris. Harus sering diucapkan. Biar dianggap orang gila ngak apa-apa”, kata Pak Wahid, sangat tegas.
Sebagai anak-anak kala itu, tentu saran pak Wahid tak pernah kuikuti. Sepertinya malu atau gengsi harus berbahasa Ingris. Rasa malu lebih besar daripada rasa ingin maju. Belajar bahasa Inggris hanya untuk keperluan ujian sekolah atau memenuhi keinginan orang tua.
Tapi aku masih ingat sebuah tulisan di papan tulis tempat pak Wahid mengajar kursus di Bale Atu. Kira-kira seperti ini. “Non Scholae sedvitac discimus”, artinya, “Belajar bukan untuk sekolah tapi untuk Hidup”.Kata-kata itu masih tersimpan di memoriku hingga kini. “Yaa Allah, muliakanlah pak Wahid yang telah memberi ilmu yang begitu bermanfaat bagiku. Tempatkanlah lelaki hebat dan mulia ini ditempat orang-orang yang Engkau kasihi. Tempat Istimewa”.
Aku kemudian mengirimkan alamat tempatku bekerja sebagai pelayan kepada Michiel. Alamat ini mudah diakses karena berada dipinggir bibir jalan negara Takengon-Bireuen. Tapi aku lupa menyebutkan dalam sms itu bahwa alamat yang kuberikan adalah tempatku bekerja. Bukan rumah tinggalku. Tapi terlanjur sms itu sudah terkirim.
Sementara kalau aku mengirim alamatku, aku kuatir susah bagi Michiel mencarinya karena berada di Kampung, dengan kondisi jalan yang rusak parah. Meski tidak jauh dari tempatku bekerja. Jalan menuju ke rumahku, bisa melewati sebuah baliho bergambar bupati inkamben dengan jalan yang mulus, hot mix tanpa cela, seperti jalan di Negara maju yang ngak ada korupsinya.
Jalan yang bergambar inkamben itu tidak jelas siapa yang bertanggungjawab terhadap promo itu. Jalan tersebut dimana dan dari program apa. Tanpa alamat pemasang, tanpa institusi atau tim sukses.Tidak jelas. Abstrak seperti jumlah penduduk Aceh Tengah yang dipersoalkan hingga pengadilan. Jalan yang bergambar inkamben itu, menurutku seperti sebuah jalan di “Negeri Mimpi”.
—-
Minggu pagi (27/11/11) sekitar pukul 06.00Wib, kakak Iparku menelpon nomor istriku. Karena hpku kumatikan. Kakak Iparku mengatakan ada bule yang menunggu di kantin BK dan tak bisa berbahasa Indonesia.
Aku yang biasa tidur selepas shalat subuh, dibangunkan istriku.”Bang, tamu yang dari Belanda sudah sampai di kantin”, kata istriku menyentuh tubuhku dengan lembut. Aku bergegas. Cuci muka dan menghidupkan kenderaan roda dua menuju kantin.
Michiel kudapati sedang duduk di kursi kantin sambil menikmati makanan ringan. Dia tampak lelah. Michiel kusalami. Dia menghentikan makan. Michiel mewakili karakter Erofa. Berkulit pucat, tinggi hampir dua meter, rambut pirang dengan mata biru.
Backpackernya berat bukan main, lebih dari 40 kg. Ditambah tas rangsel ukuran kecil. Michiel kubawa kerumah mengenderai roda dua. Honda, sebutan kami untuk kenderaan roda dua bermotor, tampak bergerak lambat dengan deru mesin yang kencang menahan beratnya beban penumpang. Setelah kukenalkan pada keluargaku, kami bercerita singkat hingga Michiel tertidur sangking lelahnya di dapur.
Sekitar pukul 9.30.00 Wib, Michiel bangun. Lelaki Belanda sedikit lebih kalem dari tamu-tamu asingku. Sebagai penyelam, Michiel mengajakku menyelam ke Danau. Aku mengontak Munawardi, seorang penyelam dari Gayo Diving Club (GDC).
Michiel mengambil alat selam dari tas besarnya. Munawardi kebetulan sedang berada di pinggir Danau Luttawar. Di Kala Pasir, memindahkan keramba apung yang dibangun beberapa waktu lalu dari sebuah proyek.
MIchiel kutinggalkan bersama Munawardi alias Aman Mayak yang bekerja di Dinas Perikanan. Aman Mayak Muna memiliki seabrek aktipitas sosial. Seperti Fotograpi, menyelam, sepeda gunung hingga menjadi anggota tim SAR. Karakter Muna mirip Michiel. Tak banyak bicara, lebih banyak kerja.
—
Sore Minggu, Michiel diantar ke kantin. Menurut Michiel, tak banyak yang bisa dilihat di Danau. Karena air Danau sedang keruh . “Kondisi perairan di laut bebas dan danau sangat berbeda jauh. Suhu di danau jauh lebih dingin dan gelap”, papar Michiel.
Menjelajah bagian dunia, menurut pendapat Michiel sangat berarti untuknya. Hidup menjadi lebih baik dan indah dan bisa melihat kebudayaan yang berbeda. Rutinitas bekerja diimbangi dengan bertualang sehingga suasana baru tercipta dan menambah gairah kerja kembali, begitu kata lelaki Belanda bermata biru ini.
Aku jadi ingat bahwa negara Belanda adalah negara yang berada dibawah permukaan laut. Saat itu kutanyakan, Michiel membenarkannya. Pemisah kota dengan laut dibangun tembok-tembok berlapis. “Jika tembok pertama jebol, ada penyangga di tembok kedua, begitu seterusnya. Hidup dengan kekuatiran”, ungkap Michiel.
“Takengon merupakan kota yang indah, sangat indah”, ungkap Michiel kepadaku. Aku membenarkannya. Karena banyak foto yang kudapat mendukung pernyataannya. Misalnya foto yang kuambil disuatu pagi disuatu hari, Takengon diselimuti awan. Bukit-bukit seputaran Danau dipenuhi awan putih seolah enggan berpisah dengan gunung tempatnya merekat.
Belum lagi sapaan mentari di pagi hari pada penghuni negeri Antara yang memberi sinar berkilau emas, ditemani suara ayam jantan dan sapaan burung. Belum lagi saat berada di danau, suara desir daun pinus yang berdesir. Seperti jarum-jarum yang melekat pada ranting yang berjumlah ribuan hingga jutaan.
Belum lagi saat nelayan memukulkan bamboo di bibir perahu hingga memercikkan air yang bergetar agar ikan –ikan terjerat jarring…Aku bersyukur pada Allah pada karunia yang besar…tinggal di negeri kepingan tanah surga yang terlempar ke dunia. Negeri di Awan.
Kerap kudengar Michiel mengucap beautiful. Untuk menulis kisah petualangannya, Michiel menulisnya dalam webnya, http://thelowlander.wordpress.com, dan http://thelowlander.org . Didalam blog ini, Michiel yang ahli desain graphis 3 D juga menampilkan karyanya.
—
Selama tinggal bersamaku, Michiel tidak kuberi menu istimewa. Apa yang kami makan, itulah yang kami beri pada Michiel. Agak lucu saat melihat Michiel makan menggunakan tangannya. Selama ini, dia biasa menggunakan sendok dan garpu. Tapi saat berkunjung ke Asia, kebiasaan itu berubah total.
Meski terlihat kaku dan lucu, tapi Michiel tetap menggunakan kebiasaan barunya, makan pakai tangan. Aku kembali mengajarinya makan pakai tangan agar lebih mudah dan cepat. “Awalnya sulit menggunakan tangan. Nasi yang kumakan berjatuhan. Kini tidak lagi”, ujar Michiel tersenyum.
Aku ingat kisah Maja Sontag, tamuku dari Polandia. Maja suatu saat pernah dipukul ibunya dibagian tangan karena makan menggunakan tangan. Bagi kebanyakan orang Barat, menggunakan tangan dianggap tidak steril dan diluar kebiasaan
Tapi saat berada di Indonesia, banyak bule yang kemudian memakai tangannya untuk makan. Bahkan menjilati tangannya saat nasi sudah habis sehingga tangannya terlihat bersih. Sebuah kebiasaan baru yang mengasyikkan bagi mereka.
Saat makan, Michiel tidak memilih-milih menu. Ikan asin juga masuk. Hanya saat makan sambel terasi yang dicampur cabe hijau, Michiel tidak tahan dengan pedasnya. Hingga mulutnya bersuara menahan pedes….
Sore Minggu, aku bersama Michiel menuju terminal berkenderaan roda dua guna memboking tiket menuju Tenggara Aceh. Di loket Bus Argalus, Michiel sempat ragu apakah langsung ke Ketambe atau mampir dulu ke Gayo Lues.
Akhirnya Michiel memilih singgah dulu di Gayo Lues melihat-lihat pemandangan yang ada. Kembali ke Kantin, kami bercerita panjang. Meski tak semua yang dikatakan Michiel kupahami. Dihari Minggu itu, tak banyak tamu yang minum kopi hingga aku agak bebas bercerita.
“Sampai kapan akan bertualang?”. Kataku pada Michiel. “Saya belum tahu sampai kapan”, katanya. Yang pasti katanya, dia masih memiliki agenda mengunjungi beberapa Kabupaten di Aceh. Kemudian ke Siantar kembali bertemu dengan seorang teman wanitanya.
Senin pagi, aku memboyong Michiel ke Kantin dari rumah. Michiel tampak kesusahan menggendong backpackernya yang berat dan berusaha tetap stabil diatas kenderaan. Kamipun sampai. Di kantin, Michiel sempat membuka laptopnya. Lelaki kekar yang jago bela diri ini sesekali tersenyum melihat laptopnya.
Selama mengembara, Michiel membiarkan rambutnya memanjang. Tak lama, L300 jurusan Gayo Lues datang menjemput. Kami bersalaman, “Thank You very much for everything”, ucap Michiel. Aku mengangguk dan memegang erat tangannya.
“Keep smile”, kataku lagi. “You know Win, some times to hard to smile”, balas Michiel. Diapun pergi meneruskan kembaranya entah sampai kapan. Mungkin sampai dia bosan atau menemukan apa yang dicarinya. Aku berharap bisa bertemu lagi. Entah di Belanda atau disini. Karena sebagai sesama anggota CS, aku merasakan arti persahabatan lintas batas tanpa Sara. Persahabatan yang universal yang tidak mengenal kasta. Apalagi beberapa sahabat yang pernah berkunjung ke Takengon, menyatakan pintu rumah mereka terbuka menunggu kehadiranku.
Satu yang kuingat dari kisah para bule yang pernah kujamu. Jika mereka sudah meyakini sesuatu hal untuk dikerjakan, mereka akan konsisten melakukannya. Sepenuh jiwa dan kemampuan. Aku teringat seorang warga Switzerland yang berwisata ke Takengon dan Kota-lain di Sumatera dengan bersepeda. Tak ada rasa takut. Just Do It, kata sebuah iklan.
Padahal kala itu, Aceh baru melakukan MoU setelah berperang sesama bangsa yang menimbulkan derita bagi rakyat yang tidak peranh ikut konplik tapi menerima akibat paling parah. Dibayar darah dan nyawa. Jangan tanya soal air mata.Meski hingga kini Aceh masih “digenggam” politikus Aceh yang demikian piawai memainkan setiap Scene politik yang mereka atur.
Menganggap diri dan partai begitu berkuasa dan elegan atas nama rakyat. Walau ditingkat akar rumput, nama “politik” begitu berbau amis nanah dan bangkai konplik yang menimbulkan rasa mual, meski belum sampai muntah.
Bule Switzerland Gilles B, membawa keperluan hidupnya disepeda. Dimana bertemu malam, disitu dia menancapkan kemah. Begitu seterusnya berkeliling dunia. Demikian halnya Bertuzzi Simone dari Italia. Beli kenderaan roda dua kemudian mengelilingi dunia. “Saya percaya semua orang adalah baik”, kata Bertuzzi kepadaku saat kutanyakan kenekatannya bersepeda motor keliling Sumatera. Atau Alexey Krivopustov yang menikmati pengembaraan dunianya berjalan kaki.
Aku berharap, suatu waktu berkeliling dunia, bersama istriku. Walau entah kapan. Aku ingin membahagiakannya…..(Win Ruhdi Bathin)
Kamis, 24 November 2011
Senin, 21 November 2011
Cara Panen Kopi Gayo
Gayo, Kabupaten Kopi di Indonesia
Kabupatenku ditengah Kebun Kopi
Karena sudah terbiasa hidup ditengah kebun kopi bersama keluarga dan saudara yang menjadi petani kopi. Kopi menjadi biasa saja.Sudah tradisi dimana setiap keluarga di gayo, jika tidak bekerja dengan pemerintah ya, jadi petani kopi.
Membuka lahan perkebunan baru merupakan salah satu kebiasaan warga gayo. Dalam istilah pepatah gayo sering diucapkan, “sempit ngenaken lues. Nyanya ngenaken temas”,. Maksudnya hijrah dari suatu kampong atau keadaan guna merubah hidup lebih baik. uten berpancang, belang bertene.
Jika seorang anak sudah tamat sekolah menengah atas, dan tidak melanjutkan pendidikan, dia akan pergi bersama warga sekampung membuka lahan hutan untuk dijadikan kebun kopi. Biasanya, warga satu Kampung, akan membentuk suatu kelompok mencari lahan baru.
Jamaknya, hutan yang akan di tebang ini dijaga dan dikuasai seorang warga setempat yang telah terlebih dahulu menetap disana. Orang seperti ini disebut Pawang Uten (Hutan) . Siapapun yang akan membuka lahan, akan ditunjukkan sang pawang hutan, kawasan mana yang belum memiliki pemilik.
Pawang hutan tidak membatasi berapa hektar lahan yang akan diklaim. Yang penting uang pancang diberikan pada pawang hutan. Satu pancang ukurannya adalah dua hektar . Biasanya harga satu pancang tidak mahal. Hanya ratusan ribu saja.
Setelah sepakat, mulailah hutan yang sudah dibagikan tersebut dirintis, ditebang. Tak ada pilihan lain. Hanya menjadi petani kebun kopi saja yang menerima lapangan pekerjaan paling besar dan luas. Apalagi topografi Takengon diwilayah tengah Aceh dan merupakan dataran tinggi bagian dari rangkaian Bukit Barisan. Juga sebagian wilayahnya adalah Kawasan Ekosistim Leuser yang megah itu.
Meski aku bukan dari keluarga petani, karena Bapak adalah pns di dinas kesehatan sementara ibu adalah guru, namun berkebun kopi “seperti” sebuah kewajiban. Semac`am faham. Tidak lengkap hidup tanpa kebun kopi.
Bapakku, saat sebelum menjadi pns dan masih lajang (disebut dengan sebutan Pak Mantri atau Menteri). Mengikuti kebiasaan “Munene”, atau mencari lahan perkebunan baru,Puluhan tahun silam. Dari sebuah Kampung tradisional yang hingga kini masih ada, Kebayakan ke wilayah Kabupaten Bener Meriah, di Kampung Bathin Kecamatan Bandar.
Mereka Munene dengan berjalan kaki. Melewati gunung pembatas dua kabupaten Aceh Tengah dan Redelong, Ujung Karang yang kemudian sewaktu masih ada HPH di Takengon disebut dengan Bur Oregon.
Berkebun kopi adalah pilihan hidup utama warga gayo. Ilmu berkebun kopi didapat warga Takengon karena sebelumnya Belanda sudah membuat perkebunan kopi modern. Di lokasi Burni Bius dan Bergendal.
Ilmu tersebut tersebar secara tradisional .Paska Belanda yang hengkang karena masuknya Jepang di era pra kemerdekaan, perkebunan milik Belanda oleh penduduk setempat dibagi-bagikan. Perubahan kepemilikan lahan. Perkebunan Belanda hilang digantikan kebun warga .
Tak ada kawasan Bukit, gunung, dan lembah yang tidak terisi batang kopi. Sepanjang mata memandang. Sepanjang hamparan. Meski semakin jauh kepedalaman sekalipun. Disana aka ada batang kopi dengan naungan batang petai.
Baris-baris kopi ini menjadi sumber utama ekonomi warga. Seperti napas untuk hidup .Di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah serta sebagian Gayo Lues.
-------
Aceh Tengah terletak pada koordinat: 4°10”-4°58” LU dan 96°18”–96°22” BT. Merupakan kawasan pegunungan . Belanda menjadikan kawasan Takengon sebagai kawasan peristirahatan dan perkebunan kopi mereka, seperti ditulis. John R Bowen , Di tahun 1924 Belanda dan investor Eropa telah memulai menjadikan lahan didominasi tanaman kopi, teh dan sayuran (John R Bowen, Sumatran Politics and Poetics, Gayo History 1900-1989, halaman76).
Kemudian, pada Tahun 1933, di Takengon, 13.000 hektar lahan sudah ditanami kopi yang disebut Belanda sebagai komoditas “Product for future”. Masyarakat gayo, tulis John R Bowen, sangat cepat menerima (mengadopsi) tanaman baru dan menanaminya di lahan-lahan terbatas warga. Perkampungan baru di era tersebut, terutama di sepanjang jalan dibersihkan untuk ditanami kopi kualitas ekspor. Tahun 1920 Belanda mulai membawa tenaga kerja kontrak dari Jawa ke Gayo, untuk menjadi pekerja di perusahaan dammar (pinus mercusi).
Beberapa tulisan saya bisa dilihat Tulisan ini juga dimuat di (http://kenigayo.wordpress.com/tag/win-ruhdi-bathin/)dan. Kopi gayo Made In Belanda, pernah saya tulis untuk Pantau Aceh (http://pantau.co.cc/berita-596-.html).
Meski sudah seratusan tahun lebih Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah bergelut dengan kopi, kemajuan dan perkembangan kopi terbilang lambat dan sangat lambat. Kelamnya nasib petani kopi tergambar dalam berbagai tulisan.
Salah bukti ketertinggalan sector kopi paska Belanda ditunjukkan dengan produksi kopi perhektar pertahun masih antara 600-700 Kg/ha/tahun. Semuanya dijual keluar (eksport) dalam bentuk bahan mentah kopi atau green bean.
Negara-negara yang mengimport kopi gayo, menjadikan kopi biji hijau (KBH) atau green bean untuk berbagai kebutuhan komersial. Diantaranya untuk gerai-gerai kedai kopi terkemuka. Seperti Star Buck. Star Buck, selain menyediakan kopi arabika gayo, juga mengambil kopi ternama dari antero dunia.
Pada tahun 2006/2007 eksport kopi arabika dari pelabuhan Belawan Medan, sebanyak 48.637 ton dengan nilai Rp.150,4 juta dolar Amerika.Dataran tinggi gayo diperkirakan menyumbang sekitar 50 persen dari total eksport kopi arabika lewat Belawan dengan nilai sekitar 75,2 juta dolar Amerika atau sekitar Rp.690 milyar.
Kopi arabika gayo dieksport dengan beberapa nama, seperti, Mendheling Coffee, Sumatra Mandheling, Retro Mandheling, Sumatra Gayo, Mandheling Gayo, Super Gayo dan Gayo Mountain Coffee.Segment kopi arabika gayo sebagian besar dipasarkan sebagai kopi spesialti.
Beberapa sertifikat produk yang berprinsip pada pertanian berkelanjutan telah dimiliki seperti, Organik, Fairtrade dan Utz Kapeh.Beberapa eksportir sedang melakukan proses guna mendapatkan sertifikasi CAFE Practices untuk penjualan khusu ke Starbuck Coffee (Panduan Budidaya dan Pengelolaan Kopi Arabika, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, tahun 2008).
--------
Meski kopi arabika gayo lebih popular di luar daerah dan bahkan diluar negeri. Di Takengon dan Bener Meriah sendiri, warga gayo lebih menyukai kopi jenis robusta sebagi menu minuman kopi setiap harinya. Disetiap rumah tangga gayo, kopi arabika berupa bubuk kopi menjadi hidangan utama bagi tamu dan keluarga. Meski luas lahan kopi arabika terus berkurang digantikan arabika yang lebih disukai pasar luar.
Normalnya, warga gayo minum kopi dua kali sehari. Pagi dan petang. Tapi banyak juga yang meminum kopi tiga kali sehari, seperti minum obat bahkan lebih. Setiap kali istirahat bekerja di kebun dan sawah, kopi menjadi minuman saat istirahat. Bukan minum air putih.
Kopi tumbuh hampir disemua kawasan gunung dan lembah kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.Kecuali kawasan hutan lindung. Selebihnya, dijadikan areal perkebunan kopi yang hingga kini masih terus dibuka.(masukkan data ketinggian tempat)
Banyak cara membuka lahan hutan tropis di Takengon dan Bener Meriah untuk kebun kopi..Batang-batang kayu yang kaya varietas ini “mengerang” dibabat mesin chinsaw atau dipatuk-patuk kapak-kapak petani. Rebah mencium bumi. Bersemayam menjadi “beje’ (pupuk) bumi.Muncullah batang kopi yang berasal dari biji yang disemai di tanah subur.
-----
Bermula dari kebun kopi, muncullah rumah-rumah sederhana. Rumah kebun. Semakin lama semakin berkembang. Biasanya, setiap kali membuka lahan baru, petani kopi gayo selalu menyisakan bagian tanahnya untuk dijadikan jalan.
Waktu berubah, hutan menjadi kebun kopi. Rumah semakin banyak, biasanya ditengah kebun kopi atau didekat jalan. Jalan-jalan mulai dikeraskan mencapai areal perkebunan kopi sebagai penghubung dan memobilisasi hasil panen.
Jadilah arela perkebunan kopi menjadi Dusun, Kampung, Kumpulan Kampung-kampung ini menjadi satu Kemukiman dan menginduk ke Kecamatan terdekat. Beginilah pola terciptanya kawasan Kecamatan hingga Kabupaten di Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Tak heran jika keadaan ini membuat sebuah kota Kecamatan sekalipun berada ditengah jutaan hingga ratusan juta batang kopi. Yang menjadi pemisah antara rumah dan kebun biasanya hanyalah jalan. Selebihnya, setelah sedikit halaman, tumbuhan warga gayo adalah kopi dan kopi.
Sama halnya dengan kebun teh jika di seputaran Jawa Barat .Hamparan kebun kopi dipisah oleh baris-baris kopi yang cenderung membentuk pola tersendiri. Jarak antara tanaman kopi dalam baris dan antar baris sangat variatif. Dahulu, jaran antara baris kopi adalah 3 meter. Sementara jarak dalam baris kopi sekitar dua meter.
Di era belakangan ini, jarak ini semakin sempit seiring ditemukannya varitas baru yang naungan kanopinya tidak lebar. Jarak antar baris tidak sampai lagi tiga meter. Demikian halnya jarak dalam baris kopi. Tergantung varietas kopi.
Menurut Uwein, dalam blognya . Awalnya ada beberapa varietas kopi di Dataran Tinggi Gayo, seperti, Bergendal .Varietas Bergendal termasuk varietas atau kultivar kopi Arabika lokal. Dapat tumbuh di ketinggian 1.200 – 1.500 m dpl, sangat rentan terhadap penyakit Karat Daun (Hemileia vastarix, B. et, Br), namun mempunyai mutu yang sangat baik.
Varietas Ramong . Kopi Ramong dicirikan oleh buahnya yang besar dan panjang, buah dan bijinya paling besar di antara kultivar kopi arabika yang ada di Dataran Tinggi Gayo, namun jenis ini sudah mulai jarang dijumpai, karena varietas ini memerlukan tempat yang lebih lebar karna pertumbuhannya yang begitu pesat.
Varietas Sidikalang .Varietas ini sangat rentan terhadap penyakit karat daun (Hemileia vastarix, B. et,Br), dapat tumbuh di ketinggian 1.200 – 1.500 m dpl. Varietas ini mempunyai mutu yang sangat baik sehingga sangat disukai oleh konsumen di luar negeri.
Kopi varietas Jember (Lini. S) .Di Dataran Tinggi Gayo varietas ini banyak di tanam pada ketinggian sedang (800 – 1000 m dpl), tahan terhadap penyakit Karat Daun (Hemileia vastarix, B. et, Br), rentan terhadap serangan hama bubuk buah kopi (Stephanoderes hampei. Ferr) dan hama penggerek batang (Zeuzera Coffeae), selain itu varietas ini juga mempunyai mutu yang kurang baik sehingga sudah mulai ditinggalkan oleh petani
Kopi Varietas Tim Tim Arabusta .Varietas ini berasal dari Timor Timur yang merupakan hasil persilangan alami antara kopi arabika dengan kopi robusta, mempunyai mutu fisik biji yang sangat bagus namun tidak disukai oleh konsumen di luar negeri, karena citarasanya masih diturunkan oleh kopi robusta.
Kopi Varietas Ateng Jaluk ( Catimor Jaluk) .Varietas Catimor Jaluk oleh masyarakat tani lebih sering menyebut dengan nama kopi Ateng. (uwein/the project OSRO). Selain varietas ini masih banyak varietas lain yang muncul belakangan.
Varietas tersebut antara lain, Timortimur, Borbor (Bourbon), Ateng Super (Katimor) , Ateng Ilang Pucuk (Katimor) ,Ateng Super (Katimor), P88 dan sejumlah varietas lainnya.
Dua varietas kopi di Gayo (Takengen dan Redelong) yang sudah dijadikan kopi unggul , dilepas secara resmi oleh pemerintah Indonesia dengan nama Gayo1 untuk Timortimur dan Gayo2 untuk Borbor. Kedua varietas ini sudah melewati serangkaian penelitian ilmiah di Bener Meriah (Redelong) dan memiliki rasa dan aroma yang disukai konsumen.
Jika anda ke Dataran Tinggi Gayo di Aceh, Sumatera, jangan heran jika memasuki wilayah Aceh Tengah dari Pesisir Utara Aceh, Kabupaten Bireuen, yang berjarak 102 kilometer menuju Ibu Kota Aceh Tengah, Takengon, jalan yang dilalui adalah kawasan perbukitan yang terjal dan curam.
Suhu udara akan terus semakin dingin seiring pertambahan ketinggian tempat Aceh Tengah yang berada 1200 Diatas permukaan laut (Dpl). Melewati perbatasan Aceh Tengah dan Bireuen, suasana berubah drastic.
Pemandangan kebun karet, sawit, pinang, kelapa dan coklat, digantikan kebun-kebun kopi disepanjang jalan Negara ini. Petani kopi gayo cenderung menanami kebun mereka dengan mono kultur. Hanya pohon-pohon kopi.
Beberapa tanaman lain yang sering dijadikan tanaman pelengkap selain varietas kopi berskala kecil adalah jeruk. Terutama jeruk Keprok Gayo yang pernah memenangkan buah unggul nasional beberapa tahun silam. Juga ditanami Alpukat. Naungan utama kebun kopi adalah pete dalam bahasa local gayo yang berarti lamtoro.
Tak ada lahan yang kosong kecuali ditanami kopi. Kopi yang merupakan “napas ekonomi” sebagian besar rakyat gayo ditanam karena kemudahan penjualannya. Jika panen tiba, biasanya setahun dua kali Selepas panen petani langsung menjual buah kopinya.
Kopi jenis ini disebut kopi gelondong segar.Biasanya dijual dalam takaran kaleng. Jika dikilogramkan, satu kaleng sekitar 12.1 kg. Satu kaleng sama dengan sepuluh bambo. Satu bambo setara dengan dua liter. Kopi petani langsung dibeli agen kopi di tingkat Kampung langsung dari kebun menggunakan kenderaan roda dua.
Uang “cash” ini langsung dipakai untuk kebutuhan sehari-hari bagi keluarga petani. Begitu seterusnya. Di tingkat agen, pembelian dari kopi-kopi petani setempat diolah. Kopi gelondong merah dipisahkan dari kulit buahnya. Menggunakan sebuah alat giling (pulping)
Kemudian difermentasi selama lebih kurang 12 jam lalu dibersihkan dan dijemur untuk dijadikan kopi labu. Kopi labu adalah kopi tanpa kulit tanduk hasil penggilingan (huller) dengan kadar air sekitar 35-40 persen.
Agen, terkadang biasanya langsung menjual kopi labu ini sesaat setelah penggilingan. Transaksi terjadi di lokasi-lokasi penggilingan kopi. Oleh agen kopi yang lebih besar, biasanya mangkal di mesin kopi , kopi labu dijadikan KBH (Kopi Biji Hijau ) atau kopi beras (green). Kadar airnya sekitar 20 persen keatas. Kopi ini disebut kopi asalan.
Kopi asalan dijual lagi ke pedagang yang akan menjadikannya kopi yang siap diperdagangkan dengan kadar air 14-18 persen. Biasanya kopi ini dijual ke eksportir di Medan Sumatera Utara.
Sangat sedikit persentase petani yang menjadi pedagang kopi dengan cara mengolah kopi gelondong menjadi kopi setengah jadi atau green bean. Konon lagi yang bergerak dibidang pengolahan kopi roasting dan café modern dengan mesin espresso.
Namun di akhir-akhir ini, sekitar tiga tahun belakangan, di Bener Meriah sudah ada warga setempat yang mengolah kopi menjadi kopi roasting dan dijadikan bubuk kopi serta membuat café. Namanya H Yusrin dengan merek Bergendal Kopi.
Selain Haji Yusrin, juga ada Wawan, yang memakai produk Taiwan untuk mesin roastingnya dengan merek Premium Coffee. Segelintir warga lainnya mengolah kopi dijadikan bubuk dengan kemampuan dan pengetahun sendiri.
Sementara di Takengon, saya coba membuat kopi olahan berupa café dengan mesin kopi espresso. Sangat prospek. Hanya saja mimpi saya memiliki mesin roast masih sangat sulit terwujud karena sangat mahal.
Padahal idealnya, selain menyediakan kopi , sangat ideal memiliki mesin roast sehingga bisa memasuki segmen kopi lainnya , yakni kopi bubuk. Karena segmen kopi bubuk dengan bahan baku yang melimpah masih sangat terbuka lebar mengingat kopi gayo sudah mendunia.
Takengon dan Redlong , dua kabupaten di tengah Aceh, NAD, merupakan kawasan yang semua wilayahnya dipagari kopi. Jadi sangat layak jika Pemda kedua Kabupaten ini mulai memproklamirkan diri sebagai kabupaten kopi di Indonesia.
Selain itu, dengan luasnya kopi sepanjang kawasan dan mata memandang bak hamparan permadani hijau, sangatlah layak kalau kawasan ini dijadikan agro wisata kopi. Sayang, Pemda belum bisa membaca dan tertarik melihat potensi ini. Meski Belanda saat menjajah dulu sejak seratusan tahun silam telah menjadikan kopi salah satu komoditi eksport. Sayang sekali, visi dan misi dua kabupaten terbesar penghasil kopi arabika di Asia, tidak jelas dibidang kopi. Sayang seribu sayang . Padahal kedua bupati di kawasan pedalaman Aceh itu adalah sarjana pertanian.
Belum lagi jika bertani tradisional gayo, yakni membajak sawah menggunakan hewan untuk mengolah sawah hingga panen memakai cara tradisional , sangat layak dijadikan obyek wisata bagi turis asing yang menyukai kearifan local yang tidak mereka dapat di negara maju.
Semua Potensi ini belum dijadikan “Modal” untuk dijadikan sumber lain bagi penduduk local dan PAD bagi Pemda. Semuanya memerlukan sentuhan dan kebijakan pro rakyat , bukan pro proyek yang bernilai fee bagi pemangku kepentingan serta alat politik penguasa untuk tebar pesona . Tinggal nawaitu dan aksi.(Win Ruhdi Bathin)
Yuk Wisata Kopi di Gayo
Wisata Kopi Gayo, Mengasyikkan !
Pernahkah anda membayangkan melakukan agro wisata di Takengon?. Lantas agro wisata apa yang paling “wajib” di lakukan di Dataran Tingga Gayo ( Datiga) ?. Jika anda tak menemukan jawaban pasti, barangkali anda lupa, bahwa Takengen adalah Kabupaten Kopi di Indonesia bersama Kabupaten Bener Meriah, pecahan dari Kabupaten Aceh Tengah.
Jika di daerah lain, perkebunan hanya berada disebuah kawasan khusus, karena kopi menginginkan geografis di dataran tinggi, maka sepanjang kawasan Aceh Tengah dan Bener Meriah, hamper semua kawasannya adalah dataran tinggi, tempat paling ideal bagi kopi.
Maka, janganlah heran, di Takengon dan Bener Meriah, sepanjang mata memandang, sepanjang kawasan gunung dan bukit, hanya ada satu komoditi andalan, yakni Kopi an kopi. Sejarah kopi di Gayo, berusia seratusan tahun lebih sejak diintroduksi Belanda pertama sekali.
Menurut Wiknyo, seorang pensiunan Penyuluh Pertanian di Takengon, Belanda saat menjajah sudah melakukan kajian ilmiah tentang peta lahan kopi paling ideal di gayo. Berdasarkan kajian ilmiah Belanda ini, dengan parameter diantaranya, ketinggian tempat dan kandungan hara tanah, Belanda membuat perkebunan resmi negara dibawah controlnya.
Maka dikenallah perkebunan kopi Paya Tumpi hingga Redines (Kelupak Mata) , seterusnya ke Bergendal yang kini masuk wilayah Bener Meriah. Sementara di kawasan Barat Takengen, Belanda memetakan Belang Gele, Burni Bies, Pucuk Deku, Tapak Moge, Burni Bius, Arul Gele yang masih satu kawasan perbukitan Gunung Berapi, Bur Salah Nama.
Di bagian Utara hingga ke Timur , gunung Berapi Salah Nama, merupakan kawasan perkebunan kopi rakyat, seperti perkampungan Bukit Menjangan, Tawardi 1 dan 2, Win Nongkal , Sukajadi, Jaluk hingga Kute Panang.
Semua kawasan ini , merupakan kawasan perkebunan kopi rakyat di kemiringan tebing Bukit dan Gunung, dimana kopi adalah tumbuhan utama sebagai sumber nomor satu ekonomi warga.
----
Selasa (8/11) Ba’da Zuhur, perjalanan agrowisata kopi dimulai dari Paya Tumpi. Menggunakan kenderaan roda dua, bersama Wiknyo yang kini meneliti berbagai varietas kopi di gayo, kenderaan bergerak melewati jalan elak Paya Tumpi –Tan Saril.
Beberapa puluh meter dari Jalan Takengon-Bireun kearah Bebesen, jalan elak ini sdah diaspal dan diberi lampu jalan yang menyala.Dari Bebesen selanjutnya menuju Umang-Belang Gele, yang tersisa hanya kawasan perumahan warga dan jalan.
Selebihnya, disetiap rumah tangga yang ada, langsung diisi batang kopi dengan pelindungn petai dan jarang-jarang diselingi pohon jeruk, alpukat dan beberapa jenis tanaman keras lainnya.Rumah penduduk Kabupaten kopi gayo, berada disisi jalan yang umumnya sudah diaspal.
Selebihnya, adalah perkebunan kopi. Kopi tumbuh disepanjang kawasan bukit dan gunung, kecuali yang berada diatas kemiringan diatas 40 derajat yang tidak mungkin ditanami kopi karena terlalu terjal. Kawasan seperti ini biasanya adalah hutan lindung yang masih terjaga.
Memasuki kawasan perkampungan Burni Bies, kopi-kopi terlihat berdaun sangat hijau dengan baris-baris yang rapi an teratur.Mersah-mersah atau langgar terlihat disetiap tumpuk kampong disepanjang sentra kopi specialty ini.
“Dari daun kopi kita mampu membaca bahwa kawasan Burni Bies ini merupakan kawasan yang ideal bagi kopi dengan suhu optimum”, papar Wiknyo sambil mengamati daun dan buah kopi yang tertutup daun.
Sepertinya, tak ada kawasan yang benar-benar datar disini. Kalaupun ada lahan yang datar, biasanya dijadikan sekolah, mersah, Pustu atau fasilitas public lainnya tempat warga biasanya berkumpul.
“Umumnya kopi disini adalah jenis arabika (Coffea Arabica) varietas Timor-timur”, ungkap Wiknyo. Kopi arabika gayo, merupakan salah satu varietas kopi terkenal dunia bersama puluhan varietas kopi dunia lainnya.
Varietas kopi dunia yang terkenal antara lain seperti, - Kopi Kolombia (Colombian coffee) - pertama kali diperkenalkan di Kolombia pada awal tahun 1800. Saat ini kultivar Maragogype, Caturra, Typica dan Bourbon ditanam di negeri ini. Jika langsung digoreng, kopi Kolombia memiliki rasa dan aroma yang kuat. Kolombia adalah penghasil kopi kedua terbesar di dunia setelah Brasilia. Sekitar 12% kopi di dunia dihasilkan di negara ini.
Colombian Milds — Varietas ini termasuk kopi dari Kolombia, Kenya dan Tanzania. Semuanya adalah jenis kopi arabica yang telah dicuci. Biji kopi yang belum digoreng dari varietas C. arabica
• Costa Rican Tarrazu — dari (en)"San Marcos de Tarrazu valley" di pegunungan di luar San JosĂ©, Costa Rica.
• Guatemala Huehuetenango — Ditanam di ketinggian 5000 kaki di bagian utara Guatemala.
• Ethiopian Harrar — dari Harar, Ethiopia
• Ethiopian Yirgacheffe — dari daerah di kota Yirga Cheffe di provinsi Sidamo (Oromia) di Ethiopia.
• Hawaiian Kona coffee — ditanam di kaki pegunungan Hualalai di distrik Kona di Hawaii. Kopi diperkenalkan pertama kali di kepulauan ini oleh Chief Boki. Ia adalah gubernur Oahu pada tahun 1825.
• Jamaican Blue Mountain Coffee — dari Blue Mountains di Jamaika. Kopi ini memiliki harga yang mahal karena kepopulerannnya.
• Kopi Jawa (Java coffee) — dari pulau Jawa di Indonesia. Kopi ini sangatlah terkenal sehingga nama Jawa menjadi nama identitas untuk kopi.
• Kenyan — terkenal karena tingkat keasamannya dan rasanya.
• Mexico - memproduksi biji kopi yang keras.
• Mocha — Kopi dari Yemen dahulunya diperdagangkan di pelabuhan Mocha di Yemen. Jangan disalahartikan dengan cara penyajian kopi dengan coklat.
• Santos - dari Brasilia. Memiliki tingkat keasaman yang rendah. (en) Sumatra Mandheling dan Sumatra Lintong — Mandheling dinamakan menurut suku Batak Mandailing di Sumatra utara di Indonesia. Kopi Lintong dinamakan menurut nama tempat Lintong di Sumatra utara.
• Kopi Gayo (Gayo Coffee) — berasal dari Dataran Tinggi Gayo — Gayo adalah nama Suku Asli di Aceh — yang meliputi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah dan Gayo Lues.
Kopi gayo kini sudah dilindungi secara hokum dengan perlindungan Indikasi Geografis (IG) sehingga klaim atas merek kopi gayo tidak bisa dilakukan oleh perseorangan atau perusahaan manapun karena Kopi Gayo merupakan kawasan geografis khusus dimana kopi gayo tumbuh . Merek Kopi gayo adalah merek Geografis yang dimiliki oleh masyarakat petani kopi gayo.
• Sulawesi Toraja Kalosi — Ditanam di daerah pegunungan tinggi di Sulawesi. Kalosi adalah nama kota kecil di Sulawesi, yang merupakan tempat pengumpulan kopi dari daerah sekitarnya. Toraja adalah daerah pegunungan di Sulawesi tempat tumbuhnya kopi ini. Kopi dari Sulawesi ini memiliki aroma yang kaya, tingkat keasaman yang seimbang (agak sedikit lebih kuat dari kopi Sumatra) dan memiliki ciri yang multidimensional. Warnanya coklat tua. Kopi ini cocok untuk digoreng hingga warnanya gelap. Karena proses produksinya, kopi ini dapat mengering secara tidak teratur. Walau demikian biji yang bentuknya tidak teratur ini dapat memperkaya rasanya.
• Tanzania Peaberry — di tanam di Gunung Kilimanjaro di Tanzania. "Peaberry" artinya biji kopi ini hanya satu dalam setiap buah. Tidak seperti layaknya dua dalam satu buah. Ini biasanya tumbuh secara alami pada 10% dari hasil panen kopi.
• Uganda - Meskipun sebagian besar penghasil kopi robusta. Ada juga kopi arabika berkualitas yang dikenal sebagai Bugishu.
• Kopi Luwak- salah satu varietas kopi Arabika yang telah dimakan oleh luwak (Musang) kemudian dikumpulkan dan diolah. Rasa dan aroma kopi ini khas dan menjadi kopi termahal di dunia.
----
Memasuki kawasan Burni Bius, sebuah lokasi perkebunan kopi milik Dinas Perkebunan Aceh Tengah, menarik perhatian. Konon lagi, Dinas Perkebunan mengelola lebih dari 60 hektar.
Jumlah lahan milik Pemda ini terus menyusut. Sebelumnya tidak kurang dari 80 hektar kebun kopi dikelola Disbun. Meski dikelola dinas perkebunan, lahan perkebunan ini tidak berbeda nyata dengan kebun warga setempat.
Malah kopi yang berada di komplek perkebunan ini tampak tak terawat. Menurut penjaga “Kebun Pemda” ini, penguasaan lahan berupa pinjam pakai lahan perkebunan ini dipegang kelompok tani warga setempat.
“Hampir seratusan warga Burni Bius dari berbagai kampong mengelola kebun ini”, kata penjaga kebun ini. Parahnya, hingga menjelang akhir tahun 2011 ini, Dinas Perkebunan baru memperoleh pemasukan dari puluhan hektar kebun kopi ini hanya Rp.12 juta.
Tidak adanya pengawasan yang ketat dan peraturan terhadap para pengelola kebun daerah ini membuat petani yang mengerjakan lahan pemda ini menyetor sesuka hatinya terhadap hasil kopi.
Padahal dalam ikat kontrak dengan Dinas Perkebunan, hasil kopi yang dikelola warga dibagi dua hasil kopi. Alhasil, tidak ada hal yang membanggakan yang dihasilkan dari asset pemda ini kecuali berbagai masalah dalam pengelolaan kebun.
Selain tidak jelasnya pemasukan PAD dari sector perkebunan kopi milik Pemda ini, kebun kopi ini juga bukan merupakan lokasi penelitian kopi. Konon lagi berharap adanya penangkaran kopi atau plasma nutfah kopi disini. Serta berbagai kajian ilmiah tentang kopi gayo.
Aceh Tengah sebagai Kabupaten Kopi di Aceh, tidak memiliki data base kopi serta pusat pengkajian serta penelitian kopi. Padahal keberadaan kopi gayo sudah melewati masa 100 tahun lebih sejak Zaman Belanda.
Pemda tampaknya belum mengurusi sector kopi secara ilmiah dengan perencanaan yang berkelanjutan serta dukungan SDM serta dana yang memadai setiap tahunnya. Masalah persoalan di kebun daerah ini saja tidak mampu diselesaikan sehingga puluhan hektar kebun daerah tak berarti banyak bagi petani kopi gayo serta kemajuan penelitian kopi yang dampaknya langsung kepada perekonomian petani kopi.
Padahal, Belanda sudah menjadikan kawasan Burni Bius sebagai sebuah lokasi perkebunan kopi dengan kualitas terbaik dari segi rasa dan aroma ke pasar Erofa kala itu. Penelitian Balai Arkeologi Medan (Balar) menunjukkan bahwa di Burni Bius pernah menjadi pusat pengolahan kopi Belanda yang ditandai dengan berbagai beka peninggalan bangunan Belanda.
Tak jauh dari lokasi perkebunan Pemda, sebuah mata air panas kini menjadi lokasi pemandian warga setempat. “Menurut cerita orang tua, lokasi pemandian air panas ini sudah dipakai Belanda sebagai tempat pemandian. Namun hingga pemandian ini tidak terurus dan ditelantarkan”, kata seorang warga setempat.
“Adanya sumber air panas menunjukkan adanya aktipitas gunung berapi di lokasi ini sehingga kopi yang dihasilkan sangat special”, kata Wiknyo. Di lokasi ini juga ditemukan bunker tempat Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara mengamankan diri dari kejaran Belanda di era awal kemerdekaan.
Dari lokasi Jamur Barat, Burni Biuslah , Syafruddin Prawiranegara kemudian pindah ke Rime Raya Bener Meriah dan mendirikan pemancar Radio Rime Raya yang mengumandangkan bahwa Indonesia masih ada dan sudah merdeka. Karena Belanda sudah mengetahui keberadaan Syfaruddin di Jamur Barat Burni Bius.
Bersebelahan dengan komplek perkebunan Pemda di Burni Bius, yang berada di pinggir Jalan Takengon-Angkup sedang dibangun komplek perkantoran serta perumahan pekerja bagi perusahaan asing dan dalam negeri yang memenangkan tender Proyek PLTA 1 dan 2 yang tampak dipagari seng serta dijaga ketat.
----
Selepas Shalat Ashar, perjalanan dilanjutkan menuju Kampung Arul Gele. Sebuah kawasan pegunungan yang dipenuhi kebun kopi dan kawasan hutan yang masih asli. Perpaduan perkebunan kopi dan hutan ini menciptakan iklim mikro yang sangat ideal sehingga dihasilkan kopi specialty juga.
Wiknyo memeriksa sebuah batang kopi jenis Timtim. “Melihat buah dan cabang kopi ini, saya yakin perbatang kopi disini bisa menghasilkan tidak kurang dari satu kaleng kopi”, jelas Wiknyo.
Asumsi ini didasari pada penelitian Wiknyo yang menghitung bahwa dalam satu gugus (bongkol) buah kopi terdapat 18 buah kopi. Dalam satu cabang kopi terdapat rata-rata delapan bongkol.
Angka ini tinggal dikalikan berapa cabang yang terdapat dalam satu batang kopi sehingga bisa diprediksi hasil kopi dari satu batang. “Dalam satu bamboo takaran kopi dengan buah kopi ukuran normal, terdapat 700 buah kopi. Khusus untuk kopi timtim ukuran besar, satu bamboo kopi berisi 450 buah kopi”, ulas Wiknyo.
Di lokasi ini, satu hektar kebun petani kopiyang terawat dengan baik mampu menghasilkan 100 kaleng lebih persekali panen dengan jarak waktu setiap panennya rata-rata 2 minggu.
Jika dikalikan harga kopi sekarang perkaleng gelondong merah Rp.110 ribu, maka setiap panen petani menghasilkan tidak kurang dari Rp. 11 juta. “Ada petani kopi yang menghasilkan hingga 400 kaleng sekali panen”, ujar Wiknyo.
Sepanjang lokasi perkebunan kopi rakyat yang dipetakan Belanda ini, tampak kemandirian warga secara ekonomi yang ditandai dengan bentuk bangunan permanen dan semi permanen.
“Rumah tangga dari keluarga yang baru menikah, ditandai dengan rumah sederhana yang terbuat dari bahan kayu dan berukuran lebih kecil. Ini dalam bahasa gayo disebut Jawe (pisah) dari keluarga induk dan mulai menggarap kehidupan yang mandiri dari perkebunan kopi “, kata Wiknyo.
Memasuki kawasan perkampungan Wihni Doren, Kecamatan Silih Nara, menurut warga setempat, akses jalan yang dipakai dari Wihni Doren ke Atu Gajah Belang Gele merupakan jalan yang pernah dipakai Belanda dahulu menuju Takengon.
“Belanda memakai jalan ini dari Pesisir – Ketol- Wihni Doren-Belang Gele-Takengon”, ujar Awan Hendra, seorang kakek warga setempat. Meski begitu, kata Awan Hendra, jalan ini terlambat dibangun Pemda.
Padahal jika memakai jalaur jalan ini ke Takengon dari Kecamatan Silih Nara, dapat menghemat waktu. Magrib, tiba di Atu Gajah . Kawasan ini merupakan kawasan perkebunan tertinggi untuk Kampung Belang Gele dan Kecamatan Silih Nara.
Kawasan hutan masih terjaga di Atu Gajah meski beberapa lokasi di kemiringan lahan ini sudah mulai juga dirambah untuk dijadikan kebun kopi. Udara sangat menusuk dan angin bertiup lebih kencang di puncak Atu Gajah.
Di beberapa View Kawasan Pegunungan Atu Gajah, tak kalah indahnya dengan Gunung Gede di kawasan puncak Bogor. Di Atu Gajah sangat ideal dijadikan kawasan perkemahan dan outbound lainnya karena perpaduan hutan dan perkebunan kopi.
Masih banyak kawasan lain yang indah dan eksotik di Dataran Tinggi gayo yang belum diolah dan dijadikan kawasan wisata. Menunggu sentuhan tangan-tangan terampil yang paham SDM dan menjadikannya lokasi agrowisata menarik dan menantang yang memacu adrenalin.
Pulang setelah Magrib dari Atu Gajah yang indah dan begitu dekat dengan langit.Dari Atu Gajah, Takengon terlihat begitu kecil dengan penerangan lampu yang memenuhi lembah Takengon.
Suara binatang malam Atu Gajah yang berkabut dan dingin, digantikan deru kenderaan memasuki Belang Gele. Beberapa warga tampak menggiling kopi buah merah untuk dijadikan kopi gabah dihalaman rumahnya yang ditemani temaram lampu. Panen kopi di pagi hingga sore hari. Malam diolah dan difermentasikan untuk keesokan harinya dijemur dan dijadikan kopi labu dan green bean. Begitu aktipitas petani setipa hari sepanjang tahun di gayo.
Segelas espresso kopi arabika yang berasal dari kawasan Bergendal Simpang Teritit dengan pemanis Gula aren Serule Kecamatan Bintang menutup malam Rabu dan berusaha menepis dingin dengan pahitnya kafein . Meneguk kopi dari tanah tinggi yang kaya rasa dan aroma. Kopi specialty yang memacu adrenalin dan merengkuh asa tentang kopi di hario esok. Selamat malam Gayo.(Win Ruhdi Bathin)
Selasa, 13 September 2011
Arabika
Arabika gayo, menantang dengan rasa dan aroma
Aku Belajar Roasting
Aku Belajar Meroasting
Aku memelototi buah kopi kering yang disebut di Gayo Kopi Biji Hijau (KBH).Biji-biji pilihan arabika yang akan diroast. Warnanya memang hijau. Keras, setelah coba digigit untuk meyakinkan kadar airnya sudah mati. Kadar air mati sebutan local (Weh mate) untuk kadar air greenbeans yang dibawah 14 persen.
Kemudian sekitar 200 gram kbh ini kumasukkan kedalam drum mesin roasting Gene Café.Kuatur suhu dan lamanya penggongsengan. Tekan tombol, mulailah gc bekerja. Berputar menggulirkan buah kopi secara lambat dan merata dengan motor drum yang digerakkan listrik.
Suara biji kopi beradu dan desing halus suara mesin gc menjadi bagian irama roasting.Warna kopi hijau berubah perlahan menjadi coklat muda. Semakin lama semakin mengarah pada coklat tua. Aroma kopi yang terbakar keluar dari cerobong asap kecil gc. Aroma khas kopi yang dipanaskan.
Hmmmm. Bau yang kukenali dari kecil saat para ibu-ibu di antero Gayo menggonseng kopi di kuali. Terkadang digonseng diluar rumah dengan perapian kayu. Aroma menyebar . Aku meroasting arabika didalam ruangan kantin tempatku bekerja sebagai pelayan kopi.
Aku bermain dengan suhu, waktu dan biji-biji kopi yang menjadi sumber napas ekonomi rakyat gayo sejak zaman penjajahan Belanda.Tak terbayangkan semula.Aku mulai mengenali warna-warna kopi yang dibakar listrik. Coklat hingga mengarah ke hitam. Juga kulihat kopi yang berminyak pada suhu tinggi. Seperti kopi diminyaki mentega.
Aku juga mulai menggunakan indera penciuman guna mengetahui bau kopi selepas diroasting. Dunia baru. Meski harus belajar dari nol tentang roasting. Tapi, sumpah, aku mulai mencintai pekerjaan ini. Belum lagi soal berbagai cita rasa kopi. Akh….kopi, terlambat aku mengenalimu…….Bismillah.
——
Setelah menjadi pelayan bagi para peminum kopi arabika hasil kebun kopi rakyat Gayo, selama empat bulan, kini aku belajar menggonseng kopi. Istilah umumnya disebut meroasting kopi. Ada beberapa alas an kenapa harus menjadi seorang roaster.
Pertama, ketergantungan pada produsen kopi roasting di Takengon sangat berdampak negatip pada kantin tempatku bekerja. Apalagi jika kopi roastingnya tidak ada saat kantin sedang perlu. Akibatnya peminum kopi terpaksa kecewa karena bahan baku kopi tidak ada. Sudah banyak warga local yang kecanduan kopi arabika yang disajikan melewati mesin espresso manual dan otomatis.
Pecandu kopi ini kemudian menjadi pelanggan tetapku. Ada yang sehari minum dua kali. Pagi dan petang. Ada yang sekali duduk minum dua sampai tiga gelas kopi dengan menu berbeda. Alasan lainnya adalah harga kopi roasting terus naik.
Jika awalnya satu kilogram kopi roasting masih kubeli Rp.180 ribu /kg, kini naik menjadi Rp.225 ribu. Harga yang menurutku mahal di sentra kopi arabika terbesar di Asia. Dataran Tinggi Gayo. Setelah berkonsultasi dengan beberapa rekan-rekan penikmat kopi dan melihat berbagai jenis mesin roasting di internet, akhirnya pilihan jatuh pada mesin Gene Café.
Pilihan pada Gene Café model CBR-101 karena praktisnya dan harga yang relative terjangkau. Meski kapasitasnya tergolong kecil, 300 gram. Apalagi, seorang teman dijejaring social fb, Budiono Kwee sudah menggunakan mesin ini untuk cafenya.
Maka mulailah aku mencoba menjadi roaster. Bismillah. Dunia roaster ternyata sangat menarik. Permainan suhu dan limit waktu meroaster menjadi kata kunci yang harus dicermati dan dicatat. Pertama meroaster, aku mengambil sampel kopi dari kebunku sendiri.Kebun ini berisi kopi arabika. Paling tidak ada tiga varietas yang kutemukan di kebun yang kubeli dari hasil menjual sapi bali yang kupelihara sejak beberap tahun silam dan satu-satunya modalku. Varitas tersebut antara lain, timtim, arab jemen dan ateng.
Guna menghilangkan cacat rasa, aku hanya memetik kopi buah merah saja. Buah kopi yang benar-benar sudah masak. Pengetahuan ini kuperoleh setelah banyak berdiskusi dan mengekplore internet. Salah satu sumber diskusiku adalah Yusrin dari Bergendal Kopi yang sudah terlebih dahulu menjadi roaster di Bener Meriah. Dan berhasil menjadi jutawan dari bisinis kopi.
Khususnya kopi bubuk, cafĂ© dan kopi roasting. Bergendal kopi bisa menghasilkan puluhan hingga ratusan juta dari usaha kopi ini. “Saya terlambat terjun ke dunia bisnis kopi. Kalau dari dulu saya tahu bisnis kopi sangat prospek , saya sudah keluar dari pns dari dulu”, kata haji Yusrin suatu kali kepadaku.
Haji Yusrin memiliki alat roasting berkapasitas 5 kg yang telah membuatnya menjadi satu-satunya roaster di Takengon dan Bener Meriah kala itu. Meski kini sudah ada beberapa roaster lainnya. Salah satunya Premium kopi milik Wawan. Di Kampung Tingkeum Kecematan Bukit Kabupaten Bener Meriah.
Premium Kopi menyediakan kopi kemasan bubuk untuk luwak dan non luwak. Juga menjual kopi roast kepada pelanggannya. Premium Kopi, kata Wawan tidak dijual di super market. Tapi di pasar terbatas khusus pelanggannya saja , meski beberapa super market di Takengon meminta produk ini.
Guna menjamin kualitas kopi yang dihasilkan, Premium Kopi hanya mengambil kopi dari Tiga lokasi di Bener Meriah dan Takengon berupa kopi merah gelondongan yang kemudian diolah dengan mesin roaster berkapasitas 5 Kg yang didatangkan Wawan dari Taiwan.
Pasaran kopi olahan Premium Kopi sudah memasuki pasaran Asia. Premium Kopi juga ikut pameran di beberapa negara tetangga Indonesia.
————————-
Dari hasil meroaster kopi dari kebun milikku, aku menggunakan level roasting city roast. Yakni pada suhu 250 derajat celcius dengan waktu 17 menit. Hasilnya, oke. Keasaman kopi tidak terasa dan menghasilkan taste yang kusukai.
Warna kopi roasting dari city roast ini coklat. Agak coklat tua. Menurut petunjuk buku manual Gene Café, City Roast menghasilkan kopi standar dengan rasa dan aroma seimbang. Aku mulai meroaster beberapa wilayah penghasil kopi di Takengon.
Salah satunya dari daerah perkampungan Tawardi II. Sebuah lokasi penghasil kopi ternama di Takengon di daerah Kecamatan Kute Panang Takengon yang berada diatas 1200 dpl. Daerah ini menghasilkan kopi yang banyak diburu para pembeli kopi eksport karena besarnya biji yang dihasilkan.
Kopi milik Mursada Muhammad Rasyid Ahmad, petani kopi di Tawardi II, varietas ateng super yang sedang dikembangkan dalam jumlah banyak. Coba diroast. Hasilnya aroma kurang terasa namun rasanya lebih ringan.
Mursada dan keluarganya , petani kopi di Kampung Tawardi II, pernah disebut petani setempat “gila” karena melakukan revolusi dibidang penanaman kopi. Revolusi kopi oleh keluarga Mursada adalah dengan menanam kopi ateng super dalam satu hektar sebanyak 7000 batang.
Mursada mengaku memiliki beberapa tehnik agar 7000 kopi ateng supernya mendapat jatah cahaya matahari dan unsure hara. Cara atau tehnik ala Mursada tidak bisa disebutkan disini karena merupakan “rahasia perusahaan”.
Sekitar 7000 batang kopi ateng jaluk milik Mursada kini sudah mulai panen dan Mursada terus melakukan ekspansi penanaman di beberapa lokasi di Takengon dan Bener Meriah. Selain berevolusi dibidang penanaman kopi, Mursada juga membuat pupuk kimia.
Uji coba meroaster kopi kemudian dilakukan dengan meroaster kopi dari daerah Atu Lintang Kecamatan Atu Lintang Aceh Tengah. Di Daerah Atu Lintang Takengon, saya mengunjungi sebuah lokasi penangkaran kopi musang sebutan warga Gayo untuk kopi luwak.
Apalagi, konon, kopi dari daerah ini pernah memenangkan test cup kopi di Bali tahun 2010 lalu. Penangkaran kopi luwak di Atu Lintang , Despot, ini berada di lokasi transmigrasi. Dengan varietas kopi ateng. Benara kopi. Begitu nama produk kemasan kopi dari daerah Atu Lintang ini.
Benara kopi memiliki lahan kopi ateng seluas 4 hektar. Benara Kopi sudah mengemas kopi yang dihasilkannya dalam bentuk kopi bubuk dan roasting untuk civet kopi. Saya mencoba membeli kopi roasting luwak dalam kemasan ekslusif yang sudah memakai alumunium foil dan dilengkapi lubang udara.
Hasilnya, rasa dari civet kopi Atu Lintang kena dilidah. Walau lagi-lagi menurut saya aroma dari kopi luwak ini tak begitu kentara. Testing kopi kemudian dilanjutkan kedaerah Jagong Jeget Kecamatan Jagong Aceh Tengah.
Jagong berada dibagian Selatan Aceh Tengah . Merupakan kawasan transmigrasi lainnya. Dilokasi ini ada penangkaran luwak milik seorang transmigran, Sarjiman. Sarjiman memiliki 24 ekor luwak. Tidak kurang dari 100-200 kilogram kopi luwak bisa dihasilkan Sarjiman dari penangkarannya.
Tergantung musim kopi. Karena bila kopi sudah mulai panen raya, hasil kopi luwak juga lebih banyak. Dari 2 kilogram luwak Sarjiman yang diroasting dengan Gene café, dicoba dengan beberapa level suhu.
Suhu yang dipakai antara lain, 245 derajat celcius dengan waktu 15 menit. Warna kopi coklat muda. Dan suhu 250 derajat celcius dengan waktu 17 menit. Warna kopi roaster coklat tua. Dari variant suhu dan waktu ini, rasa khas kopi luwak terasa. Namun Aroma tidak muncul atau tidak terlalu kentara di hidung.
Sarjiman mengaku belum memiliki pasaran kopi luwaknya secara kontinyu dan pasti. “Siapa saja yang pesan akan diberikan. Belum ada pasaran tetap”, kata Sarjiman. Dikatakan, varietas kopi yang diberikan pada luwak adalah varietas ateng jaluk dan satu jenis kopi lainnya.
Beberapa konsumen luwak dari Sumetara Utara sudah mulai meminta dan mencoba merasakan kopi luwak Sarjiman. Diantaranya pengusaha keturunan China dari Medan. Tapi pengusaha ini meminta Sarjiman melakukan fermentasi ulang kopi luwak yang dihasilkan dengan mengemasnya dalam plastic besar.
Kopi luwak yang dikemas dalam plastic ini setiap hari diaduk-aduk sebelum dikeluarkan dan dikeringkan. Sarjiman berharap memiliki pasaran yang kontinyu dari kopi luwak yang dihasilkan. Karena bila tidak, seorang penangkar luwak di Despot Linge Kecamatan Atu Lintang Takengon, kisahnya sangat miris.
Begini kisahnya. Warga Transmigran ini sebut saja Narto oleh seorang kerabatnya dibelikan dua ekor luwak untuk dijadikan luwak tangkaran penghasil kopi luwak yang terkenal mahal. Sayang setelah memproduksi kopi luwak dari dua musang yang dipeliharanya, Narto tidak memperoleh pasar yang pasti dari produknya.
Akhirnya Narto menjual kedua luwaknya yang merupakan hibah kerabatnya dan menjual kopi luwaknya dengan harga standar kopi sisa atau lelesen dalam bahasa local gayo. Apalagi saat memlihara luwak, Narto harus setiap hari menyediakan berbagai jenis buah selain kopi yang biasa dikonsumsi luwak.
Hal itu memberatkan Narto dan keluarganya yang masih hidup pas-pasan dari hasil kopi. Apalagi dari pengamatan visualku, lokasi transmigran di Despot Linge ini , kopi yang ditanam kurang baik karena keadaan topografi daerahnya.
Angin di daerah Despot Linge bertiup sangat kencang dengan suhu yang sangat dingin. Keadaan ini diperparah tidak adanya naungan kopi seperti pohon ptai atau lamtoro. Akibatnya, amatanku, buah dan daun kopi jauh lebih kecil dibandingkan daerah lain di Takengon dengan varietas yang sama.
Menurut penelitian DR Surip Mawardi dari Jember beberapa tahun lalu, yang kemudian melaunching varietas kopi Gayo 1 dan 2. Untuk rasa dan aroma kopi, disarankan menggunakan varietas Timtim dan Borbor.
Benar apa yang diungkapkan Wiknyo, seorang peneliti kopi di Paya Tumpi Takengon. Menurut Wiknyo, Belanda sudah memplot kawasan kopi yang ideal di Takengon. “Semua lokasi kopi terbaik di Takengon biasanya diseputaran gunung api. Seperti kawasan Paya Tumpi, Burni Bius, Arul Gele, Atu Gajah dan sejumlah lokasi lainnya”, kata Wiknyo.
Lokasi-lokasi ini merupakan lokasi bekas perkebunan Belanda yang berada dibawah kawasan Gunung Berapi Bur Salah Nama (Bur Susu) atau lebih dikenal dengan Bur Pepanyi. Dari hasil tes cup, kopi dari daerah ini memiliki rasa dan aroma yang kentara. Terutama jenis timtim.
Menilik hasil kopi dari Takengon, rata-rata produksi arabika kopi gayo masuk dalam kategori kopi spesialti. Apalagi banyak kawasan perkebunan kopi berada diatas ketinggian 1200 dpl. Bahkan ada yang diatas 1600 dpl.
Meroasting kopi ternyata bukan saja perkara suhu dan lamanya waktu satu periode meroasting. Serta sejumlah teori baku meroasting , seperti cara Italy dan Amerika. Tapi juga harus dimasuki dengan “perasaan” alias seni menggonseng.
Apalagi kopi yang diroast kadar airnya masih sangat variatif dan cenderung tidak sama. Akibat tidak samanya kadar air ini, rasa dan aroma bisa tidak sama dan berubah tidak sesuai yang diinginkan. Perhatian sebelum meroaster harus memasuki pengetahuan kadar air kopi.
Seni meroasting baru didapat jika “jam terbang’ meroasting sudah tinggi. Dengan begini, teori dalam buku tentang roasting bisa jadi tidak dipakai tapi sudah menggunakan cara dan gaya local sesuai sikon. Tapi hasil roaster tentu harus sesuai selera konsumen, penikmat kopi. Tidak asam dan terlalu hangus sehingga berakibat pada naiknya asam lambung.
Munculnya keluhan pelanggan terhadap kopi yang diminum merupakan indikasi ada masalah dalam meroasting kopi. Keluhan ini biasanya lebih pada kopi yang terasa “asam”. Banyak pelanggan yang mengatakan bahwa mereka segan minum kopi karena bermasalah dengan asam lambung mereka.
Hal ini dapat dimengerti karena kebanyakan kopi bubuk yang dikonsumsi peminum kopi di Takengon bersumber dari kopi robusta. Padahal pengopi dunia lebih menyukai kopi arabika. Meski kapasitas roasting Gene café sangat kecil, namun dunia roaster kopi sudah mulai kumasuki.
Sama halnya dengan meracik kopi, bukan saja perkara kerja tapi juga bernilai seni. Meroasting juga ternyata menyediakan dunia “perasaan” atau seni bagi mereka yang menekuninya. Semoga aku juga menjadi roaster, bukan saja pelayan atau barista. (Win Ruhdi Bathin)
Aku memelototi buah kopi kering yang disebut di Gayo Kopi Biji Hijau (KBH).Biji-biji pilihan arabika yang akan diroast. Warnanya memang hijau. Keras, setelah coba digigit untuk meyakinkan kadar airnya sudah mati. Kadar air mati sebutan local (Weh mate) untuk kadar air greenbeans yang dibawah 14 persen.
Kemudian sekitar 200 gram kbh ini kumasukkan kedalam drum mesin roasting Gene Café.Kuatur suhu dan lamanya penggongsengan. Tekan tombol, mulailah gc bekerja. Berputar menggulirkan buah kopi secara lambat dan merata dengan motor drum yang digerakkan listrik.
Suara biji kopi beradu dan desing halus suara mesin gc menjadi bagian irama roasting.Warna kopi hijau berubah perlahan menjadi coklat muda. Semakin lama semakin mengarah pada coklat tua. Aroma kopi yang terbakar keluar dari cerobong asap kecil gc. Aroma khas kopi yang dipanaskan.
Hmmmm. Bau yang kukenali dari kecil saat para ibu-ibu di antero Gayo menggonseng kopi di kuali. Terkadang digonseng diluar rumah dengan perapian kayu. Aroma menyebar . Aku meroasting arabika didalam ruangan kantin tempatku bekerja sebagai pelayan kopi.
Aku bermain dengan suhu, waktu dan biji-biji kopi yang menjadi sumber napas ekonomi rakyat gayo sejak zaman penjajahan Belanda.Tak terbayangkan semula.Aku mulai mengenali warna-warna kopi yang dibakar listrik. Coklat hingga mengarah ke hitam. Juga kulihat kopi yang berminyak pada suhu tinggi. Seperti kopi diminyaki mentega.
Aku juga mulai menggunakan indera penciuman guna mengetahui bau kopi selepas diroasting. Dunia baru. Meski harus belajar dari nol tentang roasting. Tapi, sumpah, aku mulai mencintai pekerjaan ini. Belum lagi soal berbagai cita rasa kopi. Akh….kopi, terlambat aku mengenalimu…….Bismillah.
——
Setelah menjadi pelayan bagi para peminum kopi arabika hasil kebun kopi rakyat Gayo, selama empat bulan, kini aku belajar menggonseng kopi. Istilah umumnya disebut meroasting kopi. Ada beberapa alas an kenapa harus menjadi seorang roaster.
Pertama, ketergantungan pada produsen kopi roasting di Takengon sangat berdampak negatip pada kantin tempatku bekerja. Apalagi jika kopi roastingnya tidak ada saat kantin sedang perlu. Akibatnya peminum kopi terpaksa kecewa karena bahan baku kopi tidak ada. Sudah banyak warga local yang kecanduan kopi arabika yang disajikan melewati mesin espresso manual dan otomatis.
Pecandu kopi ini kemudian menjadi pelanggan tetapku. Ada yang sehari minum dua kali. Pagi dan petang. Ada yang sekali duduk minum dua sampai tiga gelas kopi dengan menu berbeda. Alasan lainnya adalah harga kopi roasting terus naik.
Jika awalnya satu kilogram kopi roasting masih kubeli Rp.180 ribu /kg, kini naik menjadi Rp.225 ribu. Harga yang menurutku mahal di sentra kopi arabika terbesar di Asia. Dataran Tinggi Gayo. Setelah berkonsultasi dengan beberapa rekan-rekan penikmat kopi dan melihat berbagai jenis mesin roasting di internet, akhirnya pilihan jatuh pada mesin Gene Café.
Pilihan pada Gene Café model CBR-101 karena praktisnya dan harga yang relative terjangkau. Meski kapasitasnya tergolong kecil, 300 gram. Apalagi, seorang teman dijejaring social fb, Budiono Kwee sudah menggunakan mesin ini untuk cafenya.
Maka mulailah aku mencoba menjadi roaster. Bismillah. Dunia roaster ternyata sangat menarik. Permainan suhu dan limit waktu meroaster menjadi kata kunci yang harus dicermati dan dicatat. Pertama meroaster, aku mengambil sampel kopi dari kebunku sendiri.Kebun ini berisi kopi arabika. Paling tidak ada tiga varietas yang kutemukan di kebun yang kubeli dari hasil menjual sapi bali yang kupelihara sejak beberap tahun silam dan satu-satunya modalku. Varitas tersebut antara lain, timtim, arab jemen dan ateng.
Guna menghilangkan cacat rasa, aku hanya memetik kopi buah merah saja. Buah kopi yang benar-benar sudah masak. Pengetahuan ini kuperoleh setelah banyak berdiskusi dan mengekplore internet. Salah satu sumber diskusiku adalah Yusrin dari Bergendal Kopi yang sudah terlebih dahulu menjadi roaster di Bener Meriah. Dan berhasil menjadi jutawan dari bisinis kopi.
Khususnya kopi bubuk, cafĂ© dan kopi roasting. Bergendal kopi bisa menghasilkan puluhan hingga ratusan juta dari usaha kopi ini. “Saya terlambat terjun ke dunia bisnis kopi. Kalau dari dulu saya tahu bisnis kopi sangat prospek , saya sudah keluar dari pns dari dulu”, kata haji Yusrin suatu kali kepadaku.
Haji Yusrin memiliki alat roasting berkapasitas 5 kg yang telah membuatnya menjadi satu-satunya roaster di Takengon dan Bener Meriah kala itu. Meski kini sudah ada beberapa roaster lainnya. Salah satunya Premium kopi milik Wawan. Di Kampung Tingkeum Kecematan Bukit Kabupaten Bener Meriah.
Premium Kopi menyediakan kopi kemasan bubuk untuk luwak dan non luwak. Juga menjual kopi roast kepada pelanggannya. Premium Kopi, kata Wawan tidak dijual di super market. Tapi di pasar terbatas khusus pelanggannya saja , meski beberapa super market di Takengon meminta produk ini.
Guna menjamin kualitas kopi yang dihasilkan, Premium Kopi hanya mengambil kopi dari Tiga lokasi di Bener Meriah dan Takengon berupa kopi merah gelondongan yang kemudian diolah dengan mesin roaster berkapasitas 5 Kg yang didatangkan Wawan dari Taiwan.
Pasaran kopi olahan Premium Kopi sudah memasuki pasaran Asia. Premium Kopi juga ikut pameran di beberapa negara tetangga Indonesia.
————————-
Dari hasil meroaster kopi dari kebun milikku, aku menggunakan level roasting city roast. Yakni pada suhu 250 derajat celcius dengan waktu 17 menit. Hasilnya, oke. Keasaman kopi tidak terasa dan menghasilkan taste yang kusukai.
Warna kopi roasting dari city roast ini coklat. Agak coklat tua. Menurut petunjuk buku manual Gene Café, City Roast menghasilkan kopi standar dengan rasa dan aroma seimbang. Aku mulai meroaster beberapa wilayah penghasil kopi di Takengon.
Salah satunya dari daerah perkampungan Tawardi II. Sebuah lokasi penghasil kopi ternama di Takengon di daerah Kecamatan Kute Panang Takengon yang berada diatas 1200 dpl. Daerah ini menghasilkan kopi yang banyak diburu para pembeli kopi eksport karena besarnya biji yang dihasilkan.
Kopi milik Mursada Muhammad Rasyid Ahmad, petani kopi di Tawardi II, varietas ateng super yang sedang dikembangkan dalam jumlah banyak. Coba diroast. Hasilnya aroma kurang terasa namun rasanya lebih ringan.
Mursada dan keluarganya , petani kopi di Kampung Tawardi II, pernah disebut petani setempat “gila” karena melakukan revolusi dibidang penanaman kopi. Revolusi kopi oleh keluarga Mursada adalah dengan menanam kopi ateng super dalam satu hektar sebanyak 7000 batang.
Mursada mengaku memiliki beberapa tehnik agar 7000 kopi ateng supernya mendapat jatah cahaya matahari dan unsure hara. Cara atau tehnik ala Mursada tidak bisa disebutkan disini karena merupakan “rahasia perusahaan”.
Sekitar 7000 batang kopi ateng jaluk milik Mursada kini sudah mulai panen dan Mursada terus melakukan ekspansi penanaman di beberapa lokasi di Takengon dan Bener Meriah. Selain berevolusi dibidang penanaman kopi, Mursada juga membuat pupuk kimia.
Uji coba meroaster kopi kemudian dilakukan dengan meroaster kopi dari daerah Atu Lintang Kecamatan Atu Lintang Aceh Tengah. Di Daerah Atu Lintang Takengon, saya mengunjungi sebuah lokasi penangkaran kopi musang sebutan warga Gayo untuk kopi luwak.
Apalagi, konon, kopi dari daerah ini pernah memenangkan test cup kopi di Bali tahun 2010 lalu. Penangkaran kopi luwak di Atu Lintang , Despot, ini berada di lokasi transmigrasi. Dengan varietas kopi ateng. Benara kopi. Begitu nama produk kemasan kopi dari daerah Atu Lintang ini.
Benara kopi memiliki lahan kopi ateng seluas 4 hektar. Benara Kopi sudah mengemas kopi yang dihasilkannya dalam bentuk kopi bubuk dan roasting untuk civet kopi. Saya mencoba membeli kopi roasting luwak dalam kemasan ekslusif yang sudah memakai alumunium foil dan dilengkapi lubang udara.
Hasilnya, rasa dari civet kopi Atu Lintang kena dilidah. Walau lagi-lagi menurut saya aroma dari kopi luwak ini tak begitu kentara. Testing kopi kemudian dilanjutkan kedaerah Jagong Jeget Kecamatan Jagong Aceh Tengah.
Jagong berada dibagian Selatan Aceh Tengah . Merupakan kawasan transmigrasi lainnya. Dilokasi ini ada penangkaran luwak milik seorang transmigran, Sarjiman. Sarjiman memiliki 24 ekor luwak. Tidak kurang dari 100-200 kilogram kopi luwak bisa dihasilkan Sarjiman dari penangkarannya.
Tergantung musim kopi. Karena bila kopi sudah mulai panen raya, hasil kopi luwak juga lebih banyak. Dari 2 kilogram luwak Sarjiman yang diroasting dengan Gene café, dicoba dengan beberapa level suhu.
Suhu yang dipakai antara lain, 245 derajat celcius dengan waktu 15 menit. Warna kopi coklat muda. Dan suhu 250 derajat celcius dengan waktu 17 menit. Warna kopi roaster coklat tua. Dari variant suhu dan waktu ini, rasa khas kopi luwak terasa. Namun Aroma tidak muncul atau tidak terlalu kentara di hidung.
Sarjiman mengaku belum memiliki pasaran kopi luwaknya secara kontinyu dan pasti. “Siapa saja yang pesan akan diberikan. Belum ada pasaran tetap”, kata Sarjiman. Dikatakan, varietas kopi yang diberikan pada luwak adalah varietas ateng jaluk dan satu jenis kopi lainnya.
Beberapa konsumen luwak dari Sumetara Utara sudah mulai meminta dan mencoba merasakan kopi luwak Sarjiman. Diantaranya pengusaha keturunan China dari Medan. Tapi pengusaha ini meminta Sarjiman melakukan fermentasi ulang kopi luwak yang dihasilkan dengan mengemasnya dalam plastic besar.
Kopi luwak yang dikemas dalam plastic ini setiap hari diaduk-aduk sebelum dikeluarkan dan dikeringkan. Sarjiman berharap memiliki pasaran yang kontinyu dari kopi luwak yang dihasilkan. Karena bila tidak, seorang penangkar luwak di Despot Linge Kecamatan Atu Lintang Takengon, kisahnya sangat miris.
Begini kisahnya. Warga Transmigran ini sebut saja Narto oleh seorang kerabatnya dibelikan dua ekor luwak untuk dijadikan luwak tangkaran penghasil kopi luwak yang terkenal mahal. Sayang setelah memproduksi kopi luwak dari dua musang yang dipeliharanya, Narto tidak memperoleh pasar yang pasti dari produknya.
Akhirnya Narto menjual kedua luwaknya yang merupakan hibah kerabatnya dan menjual kopi luwaknya dengan harga standar kopi sisa atau lelesen dalam bahasa local gayo. Apalagi saat memlihara luwak, Narto harus setiap hari menyediakan berbagai jenis buah selain kopi yang biasa dikonsumsi luwak.
Hal itu memberatkan Narto dan keluarganya yang masih hidup pas-pasan dari hasil kopi. Apalagi dari pengamatan visualku, lokasi transmigran di Despot Linge ini , kopi yang ditanam kurang baik karena keadaan topografi daerahnya.
Angin di daerah Despot Linge bertiup sangat kencang dengan suhu yang sangat dingin. Keadaan ini diperparah tidak adanya naungan kopi seperti pohon ptai atau lamtoro. Akibatnya, amatanku, buah dan daun kopi jauh lebih kecil dibandingkan daerah lain di Takengon dengan varietas yang sama.
Menurut penelitian DR Surip Mawardi dari Jember beberapa tahun lalu, yang kemudian melaunching varietas kopi Gayo 1 dan 2. Untuk rasa dan aroma kopi, disarankan menggunakan varietas Timtim dan Borbor.
Benar apa yang diungkapkan Wiknyo, seorang peneliti kopi di Paya Tumpi Takengon. Menurut Wiknyo, Belanda sudah memplot kawasan kopi yang ideal di Takengon. “Semua lokasi kopi terbaik di Takengon biasanya diseputaran gunung api. Seperti kawasan Paya Tumpi, Burni Bius, Arul Gele, Atu Gajah dan sejumlah lokasi lainnya”, kata Wiknyo.
Lokasi-lokasi ini merupakan lokasi bekas perkebunan Belanda yang berada dibawah kawasan Gunung Berapi Bur Salah Nama (Bur Susu) atau lebih dikenal dengan Bur Pepanyi. Dari hasil tes cup, kopi dari daerah ini memiliki rasa dan aroma yang kentara. Terutama jenis timtim.
Menilik hasil kopi dari Takengon, rata-rata produksi arabika kopi gayo masuk dalam kategori kopi spesialti. Apalagi banyak kawasan perkebunan kopi berada diatas ketinggian 1200 dpl. Bahkan ada yang diatas 1600 dpl.
Meroasting kopi ternyata bukan saja perkara suhu dan lamanya waktu satu periode meroasting. Serta sejumlah teori baku meroasting , seperti cara Italy dan Amerika. Tapi juga harus dimasuki dengan “perasaan” alias seni menggonseng.
Apalagi kopi yang diroast kadar airnya masih sangat variatif dan cenderung tidak sama. Akibat tidak samanya kadar air ini, rasa dan aroma bisa tidak sama dan berubah tidak sesuai yang diinginkan. Perhatian sebelum meroaster harus memasuki pengetahuan kadar air kopi.
Seni meroasting baru didapat jika “jam terbang’ meroasting sudah tinggi. Dengan begini, teori dalam buku tentang roasting bisa jadi tidak dipakai tapi sudah menggunakan cara dan gaya local sesuai sikon. Tapi hasil roaster tentu harus sesuai selera konsumen, penikmat kopi. Tidak asam dan terlalu hangus sehingga berakibat pada naiknya asam lambung.
Munculnya keluhan pelanggan terhadap kopi yang diminum merupakan indikasi ada masalah dalam meroasting kopi. Keluhan ini biasanya lebih pada kopi yang terasa “asam”. Banyak pelanggan yang mengatakan bahwa mereka segan minum kopi karena bermasalah dengan asam lambung mereka.
Hal ini dapat dimengerti karena kebanyakan kopi bubuk yang dikonsumsi peminum kopi di Takengon bersumber dari kopi robusta. Padahal pengopi dunia lebih menyukai kopi arabika. Meski kapasitas roasting Gene café sangat kecil, namun dunia roaster kopi sudah mulai kumasuki.
Sama halnya dengan meracik kopi, bukan saja perkara kerja tapi juga bernilai seni. Meroasting juga ternyata menyediakan dunia “perasaan” atau seni bagi mereka yang menekuninya. Semoga aku juga menjadi roaster, bukan saja pelayan atau barista. (Win Ruhdi Bathin)
Rabu, 07 September 2011
Rabu, 24 Agustus 2011
Kopi Gayo, Warisan Belanda yang Menghidupi
Kopi Gayo, Warisan yang Menghidupi
Menyebut nama kopi gayo, terbayang dalam benak kita nikmatnya kopi arabika pegunungan yang telah hampir seabad ini mendunia. Namun, bagi warga di Dataran Tinggi Gayo, Aceh, tempat kopi ini ditanam sejak 1918, kopi arabika itu bukan sekadar rasa, melainkan warisan jiwa.
Di tanah bergunung itu, mereka menanam kopi bercita rasa tinggi yang menghidupi. Ada tiga kabupaten di dalamnya: Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Total luasan tanam pada tahun 2010 mencapai sekitar 94.500 hektar (ha), terdiri dari 48.500 ha di Aceh Tengah, 39.000 ha di Bener Meriah, dan 7.000 ha di Gayo Lues.
Kopi gayo ibarat nyawa bagi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Tercatat, jumlah petani kopi di Aceh Tengah 34.476 keluarga. Jika satu keluarga diasumsikan beranggotakan 4 orang, sebanyak 137.904 orang di sana yang menggantungkan hidup pada kebun kopi. Jumlah itu setara dengan hampir 90 persen total penduduk Aceh Tengah yang mencapai 149.145 jiwa (2010).
Kondisi yang sama juga terjadi di Bener Meriah. Jumlah petani kopi mencapai sekitar 21.500 keluarga atau sekitar 84.000 jiwa orang. Itu artinya sekitar 75 persen penduduk di Bener Meriah (111.000 jiwa tahun 2010) menggantungkan hidup pada kebun kopi.
”Itu baru di petani, belum termasuk pedagang, tauke, agen kopi, dan warga yang bekerja di pengolahan kopi. Kopi memang nyawa di Gayo,” kata Kepala Bidang Produksi dan Perlindungan Tanaman Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Tengah Hermanto.
Tak heran, dalam sosio-kultural masyarakat Gayo pun sangat dikenal petatah-petitih ini: ”Maman ilang maman ijo, beta pudaha, beta besilo”—siapa pun orang di Gayo tak akan pernah lepas hidupnya dari kopi pada awalnya. Kopi menghidupi mereka. ”Saya bisa menyekolahkan enam anak saya ke perguruan tinggi. Semuanya dari kopi,” tutur Surahman (57), petani kopi asal Desa Kebayakan, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah.
Sejarah dan cita rasa
Rendah asam, aroma wangi, dan rasa gurih, itulah cita rasa yang melekat pada kopi arabika gayo. Dengan cita rasanya itulah, sejak dahulu, kopi gayo melanglang buana ke pasar mancanegara. Tanah yang tak asam dan ketinggian lahan yang rata-rata di atas 1.200 meter di atas permukaan laut membuat kopi gayo bercita rasa berbeda.
Di hampir semua franchise kopi internasional, semacam Starbucks, kita akan mudah mendapati menu kopi gayo terpampang di sana. Bahkan, kopi gayo masuk kategori kopi kelas premium setingkat dengan kopi kenamaan dunia lainnya, seperti Brazilian blue mountain ataupun Ethiopian coffee.
Win Ruhdi Bathin, tokoh Komunitas Penikmat Kopi Gayo Aceh Tengah, mengungkapkan, citra sebagai kopi berkelas dan permintaan pasar internasional yang masih mengalir itulah yang membuat eksistensi kopi gayo masih bertahan hingga saat ini. Sebagian besar produk kopi gayo pun berorientasi ekspor.
”Kopi gayo ini anugerah. Dari dulu hingga saat ini kualitasnya tak berubah. Permintaan dari luar selalu ada,” katanya.
Keberadaan kopi gayo tak lepas dari kehadiran Belanda di Aceh bagian tengah pada awal abad XX. Menurut Deni Sutrisna, peneliti dari Balai Arkeologi Medan, dalam makalahnya, Komoditas Unggulan dari Masa Kolonial (2010), kopi arabika di Gayo sebenarnya sisa penanaman besar-besaran varietas kopi arabika di Sumatera yang masih bertahan dari hama penyakit pada masa itu.
Pada tahun 1918, Belanda mulai mencanangkan kopi gayo sebagai produk masa depan seiring dengan tingginya minat pasar mancanegara terhadap rasa kopi gayo yang berbeda. Kopi kemudian sedikit demi sedikit menggeser tanaman lada, teh, getah pinus, dan sayuran yang semula menjadi sandaran warga di Dataran Tinggi Gayo.
Seiring itu, ribuan pekerja perkebunan—yang sebagian besar dari Jawa—didatangkan. Sejak itu, Dataran Tinggi Gayo tak hanya mengalami perubahan pola ekonomi, tetapi juga budaya seiring dengan berubahnya komposisi etnis yang ada.
Produk kopi yang kian diminati pasar mancanegara dan tenaga kerja yang melimpah membuat pemerintah kolonial Belanda terus mendatangkan investor masuk ke Aceh Tengah. Pemerintah Belanda mengontrol setiap varietas yang ditanam dan mengontrol kualitas tanaman.
Namun, orientasi pada kontrol kualitas tersebut justru hilang saat masa kemerdekaan tiba. Ladang kopi sempat terbengkalai lama. Apalagi saat masa pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) bergolak.
Baru pada akhir 1950-an, perkebunan kopi mulai digarap kembali. Permintaan pasar internasional mendorong mereka terus membuka lahan baru. Hingga 1972, pembukaan lahan hutan untuk kebun kopi telah meluas hingga 19.962 ha di Aceh Tengah saja. Di Dataran Tinggi Gayo terdapat 94.500 ha lahan kopi arabika, meningkat hampir 19 kali lipat dibandingkan dengan kondisi tahun 1920-an.
Sayangnya, tingginya permintaan pasar ekspor, potensi alam, dan kesuburan lahan yang menunjang produksi itu tak dibarengi peningkatan produksi dan penataan distribusi. Meski luasan tanam terus meningkat, kapasitas produksi per ha atas kopi gayo tergolong rendah. Hanya 721 kilogram per ha per tahun. Bandingkan dengan rata-rata produksi kopi arabika di Jember yang mencapai 1.500 kilogram per ha per tahun.
Mustofa (34), petani di Desa Bandar, Kecamatan Bandar, Bener Meriah, mengaku tak pernah sekali pun mendapatkan penyuluhan, apalagi pengarahan, dari pemerintah mengenai kopi. Cara penanaman kopi yang dilakukan Mustofa murni dia pelajari dari orangtuanya.
Citra yang tinggi dan tingginya produksi akibat pembukaan lahan yang semakin luas tersebut mendorong kian besarnya ekspansi kopi gayo. Dari 59 perusahaan pengekspor kopi via Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara, sekitar 40 eksportir kopi berasal dari Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Volume ekspor kopi via Belawan tahun 2008 tercatat 54.402 ton dan lebih dari setengahnya berasal dari Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.
”Ini yang sekarang kami khawatirkan. Kami terus menanam. Hutan-hutan ditebang. Petani bekerja keras, tetapi yang menikmati kopi kami orang luar daerah, tauke-tauke besar. Sementara pemerintah diam saja. Padahal, kopi nyawa kami,” tutur Win Ruhdi.
Source : Kompas.com
Menyebut nama kopi gayo, terbayang dalam benak kita nikmatnya kopi arabika pegunungan yang telah hampir seabad ini mendunia. Namun, bagi warga di Dataran Tinggi Gayo, Aceh, tempat kopi ini ditanam sejak 1918, kopi arabika itu bukan sekadar rasa, melainkan warisan jiwa.
Di tanah bergunung itu, mereka menanam kopi bercita rasa tinggi yang menghidupi. Ada tiga kabupaten di dalamnya: Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Total luasan tanam pada tahun 2010 mencapai sekitar 94.500 hektar (ha), terdiri dari 48.500 ha di Aceh Tengah, 39.000 ha di Bener Meriah, dan 7.000 ha di Gayo Lues.
Kopi gayo ibarat nyawa bagi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Tercatat, jumlah petani kopi di Aceh Tengah 34.476 keluarga. Jika satu keluarga diasumsikan beranggotakan 4 orang, sebanyak 137.904 orang di sana yang menggantungkan hidup pada kebun kopi. Jumlah itu setara dengan hampir 90 persen total penduduk Aceh Tengah yang mencapai 149.145 jiwa (2010).
Kondisi yang sama juga terjadi di Bener Meriah. Jumlah petani kopi mencapai sekitar 21.500 keluarga atau sekitar 84.000 jiwa orang. Itu artinya sekitar 75 persen penduduk di Bener Meriah (111.000 jiwa tahun 2010) menggantungkan hidup pada kebun kopi.
”Itu baru di petani, belum termasuk pedagang, tauke, agen kopi, dan warga yang bekerja di pengolahan kopi. Kopi memang nyawa di Gayo,” kata Kepala Bidang Produksi dan Perlindungan Tanaman Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Tengah Hermanto.
Tak heran, dalam sosio-kultural masyarakat Gayo pun sangat dikenal petatah-petitih ini: ”Maman ilang maman ijo, beta pudaha, beta besilo”—siapa pun orang di Gayo tak akan pernah lepas hidupnya dari kopi pada awalnya. Kopi menghidupi mereka. ”Saya bisa menyekolahkan enam anak saya ke perguruan tinggi. Semuanya dari kopi,” tutur Surahman (57), petani kopi asal Desa Kebayakan, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah.
Sejarah dan cita rasa
Rendah asam, aroma wangi, dan rasa gurih, itulah cita rasa yang melekat pada kopi arabika gayo. Dengan cita rasanya itulah, sejak dahulu, kopi gayo melanglang buana ke pasar mancanegara. Tanah yang tak asam dan ketinggian lahan yang rata-rata di atas 1.200 meter di atas permukaan laut membuat kopi gayo bercita rasa berbeda.
Di hampir semua franchise kopi internasional, semacam Starbucks, kita akan mudah mendapati menu kopi gayo terpampang di sana. Bahkan, kopi gayo masuk kategori kopi kelas premium setingkat dengan kopi kenamaan dunia lainnya, seperti Brazilian blue mountain ataupun Ethiopian coffee.
Win Ruhdi Bathin, tokoh Komunitas Penikmat Kopi Gayo Aceh Tengah, mengungkapkan, citra sebagai kopi berkelas dan permintaan pasar internasional yang masih mengalir itulah yang membuat eksistensi kopi gayo masih bertahan hingga saat ini. Sebagian besar produk kopi gayo pun berorientasi ekspor.
”Kopi gayo ini anugerah. Dari dulu hingga saat ini kualitasnya tak berubah. Permintaan dari luar selalu ada,” katanya.
Keberadaan kopi gayo tak lepas dari kehadiran Belanda di Aceh bagian tengah pada awal abad XX. Menurut Deni Sutrisna, peneliti dari Balai Arkeologi Medan, dalam makalahnya, Komoditas Unggulan dari Masa Kolonial (2010), kopi arabika di Gayo sebenarnya sisa penanaman besar-besaran varietas kopi arabika di Sumatera yang masih bertahan dari hama penyakit pada masa itu.
Pada tahun 1918, Belanda mulai mencanangkan kopi gayo sebagai produk masa depan seiring dengan tingginya minat pasar mancanegara terhadap rasa kopi gayo yang berbeda. Kopi kemudian sedikit demi sedikit menggeser tanaman lada, teh, getah pinus, dan sayuran yang semula menjadi sandaran warga di Dataran Tinggi Gayo.
Seiring itu, ribuan pekerja perkebunan—yang sebagian besar dari Jawa—didatangkan. Sejak itu, Dataran Tinggi Gayo tak hanya mengalami perubahan pola ekonomi, tetapi juga budaya seiring dengan berubahnya komposisi etnis yang ada.
Produk kopi yang kian diminati pasar mancanegara dan tenaga kerja yang melimpah membuat pemerintah kolonial Belanda terus mendatangkan investor masuk ke Aceh Tengah. Pemerintah Belanda mengontrol setiap varietas yang ditanam dan mengontrol kualitas tanaman.
Namun, orientasi pada kontrol kualitas tersebut justru hilang saat masa kemerdekaan tiba. Ladang kopi sempat terbengkalai lama. Apalagi saat masa pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) bergolak.
Baru pada akhir 1950-an, perkebunan kopi mulai digarap kembali. Permintaan pasar internasional mendorong mereka terus membuka lahan baru. Hingga 1972, pembukaan lahan hutan untuk kebun kopi telah meluas hingga 19.962 ha di Aceh Tengah saja. Di Dataran Tinggi Gayo terdapat 94.500 ha lahan kopi arabika, meningkat hampir 19 kali lipat dibandingkan dengan kondisi tahun 1920-an.
Sayangnya, tingginya permintaan pasar ekspor, potensi alam, dan kesuburan lahan yang menunjang produksi itu tak dibarengi peningkatan produksi dan penataan distribusi. Meski luasan tanam terus meningkat, kapasitas produksi per ha atas kopi gayo tergolong rendah. Hanya 721 kilogram per ha per tahun. Bandingkan dengan rata-rata produksi kopi arabika di Jember yang mencapai 1.500 kilogram per ha per tahun.
Mustofa (34), petani di Desa Bandar, Kecamatan Bandar, Bener Meriah, mengaku tak pernah sekali pun mendapatkan penyuluhan, apalagi pengarahan, dari pemerintah mengenai kopi. Cara penanaman kopi yang dilakukan Mustofa murni dia pelajari dari orangtuanya.
Citra yang tinggi dan tingginya produksi akibat pembukaan lahan yang semakin luas tersebut mendorong kian besarnya ekspansi kopi gayo. Dari 59 perusahaan pengekspor kopi via Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara, sekitar 40 eksportir kopi berasal dari Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Volume ekspor kopi via Belawan tahun 2008 tercatat 54.402 ton dan lebih dari setengahnya berasal dari Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.
”Ini yang sekarang kami khawatirkan. Kami terus menanam. Hutan-hutan ditebang. Petani bekerja keras, tetapi yang menikmati kopi kami orang luar daerah, tauke-tauke besar. Sementara pemerintah diam saja. Padahal, kopi nyawa kami,” tutur Win Ruhdi.
Source : Kompas.com
Kopi Gayo, Warisan Belanda yang Menghidupi
Kopi Gayo, Warisan yang Menghidupi
Menyebut nama kopi gayo, terbayang dalam benak kita nikmatnya kopi arabika pegunungan yang telah hampir seabad ini mendunia. Namun, bagi warga di Dataran Tinggi Gayo, Aceh, tempat kopi ini ditanam sejak 1918, kopi arabika itu bukan sekadar rasa, melainkan warisan jiwa.
Di tanah bergunung itu, mereka menanam kopi bercita rasa tinggi yang menghidupi. Ada tiga kabupaten di dalamnya: Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Total luasan tanam pada tahun 2010 mencapai sekitar 94.500 hektar (ha), terdiri dari 48.500 ha di Aceh Tengah, 39.000 ha di Bener Meriah, dan 7.000 ha di Gayo Lues.
Kopi gayo ibarat nyawa bagi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Tercatat, jumlah petani kopi di Aceh Tengah 34.476 keluarga. Jika satu keluarga diasumsikan beranggotakan 4 orang, sebanyak 137.904 orang di sana yang menggantungkan hidup pada kebun kopi. Jumlah itu setara dengan hampir 90 persen total penduduk Aceh Tengah yang mencapai 149.145 jiwa (2010).
Kondisi yang sama juga terjadi di Bener Meriah. Jumlah petani kopi mencapai sekitar 21.500 keluarga atau sekitar 84.000 jiwa orang. Itu artinya sekitar 75 persen penduduk di Bener Meriah (111.000 jiwa tahun 2010) menggantungkan hidup pada kebun kopi.
”Itu baru di petani, belum termasuk pedagang, tauke, agen kopi, dan warga yang bekerja di pengolahan kopi. Kopi memang nyawa di Gayo,” kata Kepala Bidang Produksi dan Perlindungan Tanaman Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Tengah Hermanto.
Tak heran, dalam sosio-kultural masyarakat Gayo pun sangat dikenal petatah-petitih ini: ”Maman ilang maman ijo, beta pudaha, beta besilo”—siapa pun orang di Gayo tak akan pernah lepas hidupnya dari kopi pada awalnya. Kopi menghidupi mereka. ”Saya bisa menyekolahkan enam anak saya ke perguruan tinggi. Semuanya dari kopi,” tutur Surahman (57), petani kopi asal Desa Kebayakan, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah.
Sejarah dan cita rasa
Rendah asam, aroma wangi, dan rasa gurih, itulah cita rasa yang melekat pada kopi arabika gayo. Dengan cita rasanya itulah, sejak dahulu, kopi gayo melanglang buana ke pasar mancanegara. Tanah yang tak asam dan ketinggian lahan yang rata-rata di atas 1.200 meter di atas permukaan laut membuat kopi gayo bercita rasa berbeda.
Di hampir semua franchise kopi internasional, semacam Starbucks, kita akan mudah mendapati menu kopi gayo terpampang di sana. Bahkan, kopi gayo masuk kategori kopi kelas premium setingkat dengan kopi kenamaan dunia lainnya, seperti Brazilian blue mountain ataupun Ethiopian coffee.
Win Ruhdi Bathin, tokoh Komunitas Penikmat Kopi Gayo Aceh Tengah, mengungkapkan, citra sebagai kopi berkelas dan permintaan pasar internasional yang masih mengalir itulah yang membuat eksistensi kopi gayo masih bertahan hingga saat ini. Sebagian besar produk kopi gayo pun berorientasi ekspor.
”Kopi gayo ini anugerah. Dari dulu hingga saat ini kualitasnya tak berubah. Permintaan dari luar selalu ada,” katanya.
Keberadaan kopi gayo tak lepas dari kehadiran Belanda di Aceh bagian tengah pada awal abad XX. Menurut Deni Sutrisna, peneliti dari Balai Arkeologi Medan, dalam makalahnya, Komoditas Unggulan dari Masa Kolonial (2010), kopi arabika di Gayo sebenarnya sisa penanaman besar-besaran varietas kopi arabika di Sumatera yang masih bertahan dari hama penyakit pada masa itu.
Pada tahun 1918, Belanda mulai mencanangkan kopi gayo sebagai produk masa depan seiring dengan tingginya minat pasar mancanegara terhadap rasa kopi gayo yang berbeda. Kopi kemudian sedikit demi sedikit menggeser tanaman lada, teh, getah pinus, dan sayuran yang semula menjadi sandaran warga di Dataran Tinggi Gayo.
Seiring itu, ribuan pekerja perkebunan—yang sebagian besar dari Jawa—didatangkan. Sejak itu, Dataran Tinggi Gayo tak hanya mengalami perubahan pola ekonomi, tetapi juga budaya seiring dengan berubahnya komposisi etnis yang ada.
Produk kopi yang kian diminati pasar mancanegara dan tenaga kerja yang melimpah membuat pemerintah kolonial Belanda terus mendatangkan investor masuk ke Aceh Tengah. Pemerintah Belanda mengontrol setiap varietas yang ditanam dan mengontrol kualitas tanaman.
Namun, orientasi pada kontrol kualitas tersebut justru hilang saat masa kemerdekaan tiba. Ladang kopi sempat terbengkalai lama. Apalagi saat masa pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) bergolak.
Baru pada akhir 1950-an, perkebunan kopi mulai digarap kembali. Permintaan pasar internasional mendorong mereka terus membuka lahan baru. Hingga 1972, pembukaan lahan hutan untuk kebun kopi telah meluas hingga 19.962 ha di Aceh Tengah saja. Di Dataran Tinggi Gayo terdapat 94.500 ha lahan kopi arabika, meningkat hampir 19 kali lipat dibandingkan dengan kondisi tahun 1920-an.
Sayangnya, tingginya permintaan pasar ekspor, potensi alam, dan kesuburan lahan yang menunjang produksi itu tak dibarengi peningkatan produksi dan penataan distribusi. Meski luasan tanam terus meningkat, kapasitas produksi per ha atas kopi gayo tergolong rendah. Hanya 721 kilogram per ha per tahun. Bandingkan dengan rata-rata produksi kopi arabika di Jember yang mencapai 1.500 kilogram per ha per tahun.
Mustofa (34), petani di Desa Bandar, Kecamatan Bandar, Bener Meriah, mengaku tak pernah sekali pun mendapatkan penyuluhan, apalagi pengarahan, dari pemerintah mengenai kopi. Cara penanaman kopi yang dilakukan Mustofa murni dia pelajari dari orangtuanya.
Citra yang tinggi dan tingginya produksi akibat pembukaan lahan yang semakin luas tersebut mendorong kian besarnya ekspansi kopi gayo. Dari 59 perusahaan pengekspor kopi via Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara, sekitar 40 eksportir kopi berasal dari Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Volume ekspor kopi via Belawan tahun 2008 tercatat 54.402 ton dan lebih dari setengahnya berasal dari Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.
”Ini yang sekarang kami khawatirkan. Kami terus menanam. Hutan-hutan ditebang. Petani bekerja keras, tetapi yang menikmati kopi kami orang luar daerah, tauke-tauke besar. Sementara pemerintah diam saja. Padahal, kopi nyawa kami,” tutur Win Ruhdi.
Source : Kompas.com
Menyebut nama kopi gayo, terbayang dalam benak kita nikmatnya kopi arabika pegunungan yang telah hampir seabad ini mendunia. Namun, bagi warga di Dataran Tinggi Gayo, Aceh, tempat kopi ini ditanam sejak 1918, kopi arabika itu bukan sekadar rasa, melainkan warisan jiwa.
Di tanah bergunung itu, mereka menanam kopi bercita rasa tinggi yang menghidupi. Ada tiga kabupaten di dalamnya: Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Total luasan tanam pada tahun 2010 mencapai sekitar 94.500 hektar (ha), terdiri dari 48.500 ha di Aceh Tengah, 39.000 ha di Bener Meriah, dan 7.000 ha di Gayo Lues.
Kopi gayo ibarat nyawa bagi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Tercatat, jumlah petani kopi di Aceh Tengah 34.476 keluarga. Jika satu keluarga diasumsikan beranggotakan 4 orang, sebanyak 137.904 orang di sana yang menggantungkan hidup pada kebun kopi. Jumlah itu setara dengan hampir 90 persen total penduduk Aceh Tengah yang mencapai 149.145 jiwa (2010).
Kondisi yang sama juga terjadi di Bener Meriah. Jumlah petani kopi mencapai sekitar 21.500 keluarga atau sekitar 84.000 jiwa orang. Itu artinya sekitar 75 persen penduduk di Bener Meriah (111.000 jiwa tahun 2010) menggantungkan hidup pada kebun kopi.
”Itu baru di petani, belum termasuk pedagang, tauke, agen kopi, dan warga yang bekerja di pengolahan kopi. Kopi memang nyawa di Gayo,” kata Kepala Bidang Produksi dan Perlindungan Tanaman Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Tengah Hermanto.
Tak heran, dalam sosio-kultural masyarakat Gayo pun sangat dikenal petatah-petitih ini: ”Maman ilang maman ijo, beta pudaha, beta besilo”—siapa pun orang di Gayo tak akan pernah lepas hidupnya dari kopi pada awalnya. Kopi menghidupi mereka. ”Saya bisa menyekolahkan enam anak saya ke perguruan tinggi. Semuanya dari kopi,” tutur Surahman (57), petani kopi asal Desa Kebayakan, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah.
Sejarah dan cita rasa
Rendah asam, aroma wangi, dan rasa gurih, itulah cita rasa yang melekat pada kopi arabika gayo. Dengan cita rasanya itulah, sejak dahulu, kopi gayo melanglang buana ke pasar mancanegara. Tanah yang tak asam dan ketinggian lahan yang rata-rata di atas 1.200 meter di atas permukaan laut membuat kopi gayo bercita rasa berbeda.
Di hampir semua franchise kopi internasional, semacam Starbucks, kita akan mudah mendapati menu kopi gayo terpampang di sana. Bahkan, kopi gayo masuk kategori kopi kelas premium setingkat dengan kopi kenamaan dunia lainnya, seperti Brazilian blue mountain ataupun Ethiopian coffee.
Win Ruhdi Bathin, tokoh Komunitas Penikmat Kopi Gayo Aceh Tengah, mengungkapkan, citra sebagai kopi berkelas dan permintaan pasar internasional yang masih mengalir itulah yang membuat eksistensi kopi gayo masih bertahan hingga saat ini. Sebagian besar produk kopi gayo pun berorientasi ekspor.
”Kopi gayo ini anugerah. Dari dulu hingga saat ini kualitasnya tak berubah. Permintaan dari luar selalu ada,” katanya.
Keberadaan kopi gayo tak lepas dari kehadiran Belanda di Aceh bagian tengah pada awal abad XX. Menurut Deni Sutrisna, peneliti dari Balai Arkeologi Medan, dalam makalahnya, Komoditas Unggulan dari Masa Kolonial (2010), kopi arabika di Gayo sebenarnya sisa penanaman besar-besaran varietas kopi arabika di Sumatera yang masih bertahan dari hama penyakit pada masa itu.
Pada tahun 1918, Belanda mulai mencanangkan kopi gayo sebagai produk masa depan seiring dengan tingginya minat pasar mancanegara terhadap rasa kopi gayo yang berbeda. Kopi kemudian sedikit demi sedikit menggeser tanaman lada, teh, getah pinus, dan sayuran yang semula menjadi sandaran warga di Dataran Tinggi Gayo.
Seiring itu, ribuan pekerja perkebunan—yang sebagian besar dari Jawa—didatangkan. Sejak itu, Dataran Tinggi Gayo tak hanya mengalami perubahan pola ekonomi, tetapi juga budaya seiring dengan berubahnya komposisi etnis yang ada.
Produk kopi yang kian diminati pasar mancanegara dan tenaga kerja yang melimpah membuat pemerintah kolonial Belanda terus mendatangkan investor masuk ke Aceh Tengah. Pemerintah Belanda mengontrol setiap varietas yang ditanam dan mengontrol kualitas tanaman.
Namun, orientasi pada kontrol kualitas tersebut justru hilang saat masa kemerdekaan tiba. Ladang kopi sempat terbengkalai lama. Apalagi saat masa pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) bergolak.
Baru pada akhir 1950-an, perkebunan kopi mulai digarap kembali. Permintaan pasar internasional mendorong mereka terus membuka lahan baru. Hingga 1972, pembukaan lahan hutan untuk kebun kopi telah meluas hingga 19.962 ha di Aceh Tengah saja. Di Dataran Tinggi Gayo terdapat 94.500 ha lahan kopi arabika, meningkat hampir 19 kali lipat dibandingkan dengan kondisi tahun 1920-an.
Sayangnya, tingginya permintaan pasar ekspor, potensi alam, dan kesuburan lahan yang menunjang produksi itu tak dibarengi peningkatan produksi dan penataan distribusi. Meski luasan tanam terus meningkat, kapasitas produksi per ha atas kopi gayo tergolong rendah. Hanya 721 kilogram per ha per tahun. Bandingkan dengan rata-rata produksi kopi arabika di Jember yang mencapai 1.500 kilogram per ha per tahun.
Mustofa (34), petani di Desa Bandar, Kecamatan Bandar, Bener Meriah, mengaku tak pernah sekali pun mendapatkan penyuluhan, apalagi pengarahan, dari pemerintah mengenai kopi. Cara penanaman kopi yang dilakukan Mustofa murni dia pelajari dari orangtuanya.
Citra yang tinggi dan tingginya produksi akibat pembukaan lahan yang semakin luas tersebut mendorong kian besarnya ekspansi kopi gayo. Dari 59 perusahaan pengekspor kopi via Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara, sekitar 40 eksportir kopi berasal dari Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Volume ekspor kopi via Belawan tahun 2008 tercatat 54.402 ton dan lebih dari setengahnya berasal dari Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.
”Ini yang sekarang kami khawatirkan. Kami terus menanam. Hutan-hutan ditebang. Petani bekerja keras, tetapi yang menikmati kopi kami orang luar daerah, tauke-tauke besar. Sementara pemerintah diam saja. Padahal, kopi nyawa kami,” tutur Win Ruhdi.
Source : Kompas.com
Langganan:
Postingan (Atom)